Umat Islam RI Puasa Arafah Saat Idul Adha di Saudi, Benarkah Dilarang Nabi?

Ulama Saudi malah menyarankan kita untuk tetap mengikuti keputusan lokal

dokrep
Jutaan jamaah haji seluruh dunia mulai berkumpul di padang Arafah (10/05/1995). Mereka melaksanakan Wukuf sebagai puncak pelaksanaan ibadah haji .Foto: BAkhtiar Phada/Republika
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, umat Islam di berbagai belahan dunia  yang tidak melaksanakan ibadah haji akan melaksanakan puasa sunah Arafah. Puasa tersebut lazim dilakukan ketika jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di Arafah.

Baca Juga

Permasalahannya, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menetapkan 10 Dzulhijjah yang merupakan hari raya Idul Adha 1445 pada tanggal 16 Juni 2024. Sementara, Kementerian Agama RI bersama dua ormas terbesar di Indonesia yakni PBNU dan Muhammadiyah memutuskan Idul Adha serentak pada 17 Juni 2024.

Umat Islam di Indonesia pun akan melakukan puasa sunah Arafah pada 16 Juni yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha di Arab Saudi. Pertanyaan yang kerap berulang tengah publik adalah bukankah seharusnya umat Islam berpuasa Arafah saat jamaah haji melaksanakan wukuf? Bukankah jika kita berpuasa sesuai dengan keputusan sidang isbat di Indonesia maka akan bertepatan dengan hari raya Idul Adha di Arab Saudi? Sebagaimana diketahui, seperti pada hari Idul Fitri,  hari raya Idul Adha merupakan hari dimana Rasulullah SAW melarang umatnya untuk berpuasa.

Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu. ‘Umar pun mengatakan,

هذان يومان نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صيامهما: يوم فطركم من صيامكم، واليوم الآخر تأكلون فيه من نُسُكِكُم.

“Dua hari ini adalah hari yang Rasulullah SAW larang untuk berpuasa di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian.” (HR. Bukhari, no. 1990 dan Muslim, no. 1137).

Dalam opininya di Republika pada 30 Juni 2022 lalu, Ustaz Hasan Yazid Al Palimbangy mengungkapkan, Hari Arafah adalah hari di mana semua jamaah haji melakukan puncak ritual haji dengan melakukan wukuf di Arafah, inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW bahwa ‘Al-Hajju Arafah’ Haji itu Arafah.

Infografis hikmah puasa Arafah. - (Dok rep)

Hari Arafah itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Karena itu, Ustaz Hasan Yazid menjelaskan,  wukuf di Arafah itu harus bertepatan dengan dua hal; waktu dan tempat. Waktunya pada tangal 9 Dzulhijjah, dan tempatnya adalah di Arafah.

Sementara itu, puasa Arafah adalah puasa sunah yang dilakukan oleh mereka yang tidak sedang melaksanakan wukuf di mana waktunya bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, waktu di mana mereka yang sedang menunaikan ibadah haji melaksanakan wukuf di Arafah.

Jadi ada titik temu antara dua jenis ibadah ini (wukuf dan puasa) yaitu waktunya bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Menurut dia, dua ibadah ini tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Ibadah wukuf akan tetap sah walaupun orang-orang di luar Makkah sana tidak sedang melaksanakan ibadah puasa. Sebaliknya ibadah puasa sunah tanggal 9 itu tetap sah walaupun orang yang sedang berhaji itu tidak wukuf.

Jadi sekali lagi puasa Arafah bukan karena mereka wukuf, tapi puasa itu dilakukan karena ia bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sebaliknya, wukuf itu dilakukan bukan karena orang di luar sana puasa, tapi karena ia bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah mengingat standar ibadah kita adalah waktu.

Ketika Nabi Muhammad SAW puasa tanggal 9 Dzulhijjah ternyata belum ada umat Islam yang wukuf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah. Sementara itu, puasa 9 Dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah menurut sebagian riwayat. Jadi beliau SAW bukan puasa Arafah, tetapi puasa 9 Dzulhijjah.

Bagaimana menentukan 9 Dzulhijjah?

 

Lantas, bagaimanakah menentukan tanggal 9 Dzulhijjah? Di sinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah. Dan semua ulama menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan.

Maka cara menentukannya sudah pasti dengan terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 Dzulhijjah. Dalam hal ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan. Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun hisab; Hisab Wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari keduanya.

Bagaimana jika penetapan tanggal 1 Dzulhijah ternyata berbeda dengan negeri lainnya? Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini setiap negeri boleh untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya keputusan ini bukan dengan semaunya kita, tetap harus melalui metode yang benar.

Hal ini disandarkan dengan hadits Kuraib yang sudah masyhur, diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya: “Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya pulang ke  Madinah. Setibanya di  Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku."

“Kapan kalian melihat hilal ?” tanya Ibnu Abbas. “Kami melihatnya malam Jumat”, jawab Kuraib. “Kamu melihatnya sendiri ?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa”, jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan: “Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”.

Jawab Ibnu Abbas, “Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580).

Dari cerita Kuraib di atas bisa diambil beberapa pelajaran, bahwa walaupun pada waktu itu umat Islam masih berada dalam satu kepemimpinan (khilafah) namun memungkinkan bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan keputusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari mereka yang ‘membangkang’ dari kepemimpinan Muawiyah.

Jadi jika kita tarik ke zaman sekarang maka sebagaimana pemerintah Arab Saudi boleh memutuskan sendiri perihal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.

Tidak harus mengikuti Arab Saudi...

 

Lalu timbul pertanyaan mau ikut Arab Saudi atau pemerintah Indonesia? Ada pendapat yang bisa dijadikan patokan, yang bersumber dari salah seorang ulama terkemuka Saudi sendiri malah meyarankan kepada kita untuk tetap mengikuti hasil keputusan lokal (negeri tempat tinggalnya), dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi.

Syekh Ibnu Utsaimin mengemukakan dalam fatwanya, artinya: “Dan yang benar itu adalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Makkah, sehingga hari wukuf Arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka. Demikian pula sebaliknya, ketika di Makkah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Makkah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Makkah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan berbukalah” (Majmu’ Fatwa Ibnu Utsaimin).

Jamaah haji melakukan tawaf ifadah mengelilingi ka’bah di Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi, Sabtu (1/7/2023). Jutaan jamaah haji melakukan tawaf ifadah yang menjadi rukun haji usai melakukan wukuf di Arafah dan lempar jamrah di Jamarat. - (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Menurut Ustaz Hasan Yazid, permasalahan tersebut ternyata sangat longgar. Dia menegaskan, tidak ada yang salah dengan pemerintah kita yang sudah bersusah payah melakukan usaha dalam penentuan awal Dzulhijjah, walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah Arab Saudi.

Untuk mereka yang sekarang berada di Arab Saudi, dari manapun asalnya, maka mereka terikat dengan waktu Saudi dalam hal apa saja; sholat, puasa, berbuka, wukuf, dan idul adha, namun untuk mereka yang berada di luar Saudi, mereka juga baiknya mengikut penjadwalan waktu setempat. Walaupun khusus untuk perkara puasa Ramadhan, puasa 9 Dzulhijjah dan dua lebaran “boleh-boleh” saja mengkuti keputusan Saudi. 

 
Berita Terpopuler