Skema Murur dan Kebaikan untuk Jamaah Haji

Murur merupakan salah satu solusi untuk jamaah haji yang memiliki keterbatasan fisik.

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Skema Murur untuk Kebaikan Jamaah Haji. Foto: Pekerja menyelesaikan persiapan untuk puncak ibadah haji di Arafah, Arab Saudi.
Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhyiddin dan Karta Raharja Ucu dari Makkah, Arab Saudi

 

Baca Juga

Petugas Penyelenggara Haji Indonesia (PPIH) Arab Saudi 2024 sudah menyiapkan skema murur (melintas) bagi jamaah haji yang kondisinya tidak memungkinkan untuk turun dari bus saat mabit di Muzdalifah. Ini berlaku untuk jamaah haji yang kondisinya sakit, jamaah lansia, jamaah risti, dan jamaah yang tidak memungkinkan untuk berlama-lama di Mudzdalifah.

"Sehingga kondisi jamaah tetap menjadi prioritas, supaya kesehatan jamaah haji tetap terjaga," ujar Pembimbing Haji PPIH Arab Saudi, Prof KH Aswadi Syuhadak belum lama ini.

Menag Yaqut Cholil Qoumas menyatakan skema Murur saat mabit (menginap) di Muzdalifah telah dikaji dengan mempertimbangkan aspek hukum fikih dan keamanan jamaah.

"Sudah ada beberapa pilihan skema Murur. Karena memang kita tidak hanya boleh bicara sekadar bagaimana Murur itu bisa dilaksanakan dengan mudah. Di situ ada hukum fikih yang saya kira juga perlu didiskusikan," kata Menag Yaqut di Jeddah.

Mabit di Muzdalifah dengan cara Murur adalah mabit yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah.

Jamaah saat melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di atas bus (tidak turun dari kendaraan), lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.

"Tadi teman-teman sudah berdiskusi dengan Mustasyar Diny, tim para ulama, yang memberikan justifikasi secara hukum dan kesimpulannya diperbolehkan," kata Menag Yaqut.

Sejalan dengan itu, kata dia, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) tengah mengatur skema Murur yang paling memungkinkan. Sejumlah teknis pergerakan jamaah dikaji dan diperhitungkan.

"Insya Allah segera difinalisasi skemanya, termasuk mempertimbangkan animo yang besar sekali dari jamaah haji untuk mengikuti Murur ini. Mudah-mudahan hari ini bisa kami rumuskan yang terbaik buat jamaah dan memastikan bahwa Murur itu bisa berjalan dengan lancar," kata Menag.

Skema Murur menjadi ijtihad dan ikhtiar bersama dalam menjaga keselamatan jiwa jamaah calon haji Indonesia di tengah keterbatasan area di Muzdalifah, area yang diperuntukkan bagi jamaah Indonesia seluas 82.350 m2.

Pada 2023 area ini ditempati sekitar 183.000 jamaah Indonesia yang terbagi dalam 61 maktab. Sementara ada sekitar 27.000 peserta haji Indonesia (9 maktab) yang menempati area Mina Jadid, sehingga setiap orang saat itu hanya mendapatkan ruang atau tempat sekitar 0,45 m2 di Muzdalifah.

Sementara pada  2024 Mina Jadid tidak lagi ditempati jamaah Indonesia, sehingga 213.320 peserta dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah.

Padahal tahun ini juga ada pembangunan toilet yang mengambil tempat di Muzdalifah seluas 20.000 m2, sehingga ruang yang tersedia untuk setiap orang jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah, 82.350 m2 - 20.000 m2 atau sama dengan 62.350 m2/213.320 = 0,29 m2.

Dengan demikian, kata dia, tempat di Muzdalifah menjadi semakin sempit dan ini berpotensi sangat padat luar biasa yang jika dibiarkan akan dapat membahayakan jamaah.

Skema Murur diprioritaskan bagi jamaah yang mengalami risiko tinggi (risti) secara medis, lanjut usia (lansia), disabilitas, berkursi roda, serta para pendamping jemaah (risti, lansia, disabilitas, dan berkursi roda).

Demi Kemaslahatan Jamaah

 Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (FK KBIHU), Sunidja menyambut baik skema murur (melintas) yang akan diberlakukan tahun ini di Muzdalifah pada Puncak Haji 2024. Menurut dia, kebijakan murur ini diberlakukan demi kemaslahatan jamaah haji.

"Saya sangat menyambut baik tentang program murur. Kenapa? Karena ini demi kemaslahatan bagi jamaah haji. Karena murur itu 25 persen akan menyiapkan untuk para lansia dan disabilitas dan sebagainya," ujar Sunidja saat diwawancara di Makkah, Ahad (9/6/2024).

Berdasarkan penyelenggaraan haji tahun lalu, jamaah haji Indonesia sempat tertahan di Muzdalifah. Karena itu, menurut dia, kebijakan murur ini menjadi solusi untuk kelancaran ibadah jamaah, khususnya jamaah risiko tinggi, jamaah lansia, jamaah disabilitas, dan para pendamping jamaah tersebut.

"Ini sangat penting karena pengalaman yang lalu ini berakibat terlambatnya untuk mengangkut jamaah-jamaah sebelumnya. Dan gerakannya ini agak lambat sehingga kami sangat menyambut baik," ucap dia.

Puncak Haji sendiri akan dimulai pada 9 Dzulhijjah atau 15 Juni 2024 mendatang. Empat hari sebelum itu, layanan bus sholawat yang selama ini melayani jamaah ke Masjidil Haram juha akan dihentikan sementara pada 5 Dzulhijjah 1445 H atau 11 Juni 2024 pada 12.00 Waktu Arab Saudi (WAS).

Dia pun mengimbau kepada jamaah haji Indonesia untuk mengikuti aturan dan imbauan yang dikelurkan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi tersebut.

"Selama bus ini tidak jalan, kami imbau untuk jamaah tetap berada di hotel.  Dan sholatnya tentunya bisa di masjid di hotel atau masjid yang dekat dengan hotel," kata dia.

Karena, tambah dia, untuk mengikuti rangkaian ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) membutuhkan kondisi yang prima. "Untuk mempersiapkan puncak haji, memerlukan kondisi yang prima, memerlukan stamina, memerlukan kesehatan yang prima. Sehingga perlu ada waktu untuk istirahat, untuk menyiapkan tenaga," jelas dia.

Sebelumnya, Direktur Bina Haji Ditjen PHU Kemenag, Arsyad Hidayat meminta kepada KBIHU untuk mengedukasi jamaah terkait kebijakan murur (melintas) di Muzdalifah yang mulai diberlakukan pada tahun ini. Menurut dia, kebijakan murur ini diambil dalam rangka menjaga dan menyelamatkan jiwa seluruh jamaah haji Indonesia serta kemaslahatan bersama.  

Namun, lanjut dia, sebaik apapun kebijakan ini disusun, jika tidak didukung oleh seluruh mitra, maka tidak akan berhasil dengan baik. "FK KBIHU adalah mitra Kemenag. Karenanya, kami berharap Bapak dan Ibu dapat turut serta memberikan edukasi  bagi jamaah terkait murur ini,” ujar Arsyad saat silaturrahim dengan pimpinan KBIHU di Masjid Hotel 602, Makkah, Sabtu (25/5/2024).

Sikap Muhammadiyah dan NU

Kebijakan murur di Muzdalifah menjadi pembahasan di kalangan para ulama yang tergabung dalam ormas Islam. Salah satu ormas besar di Indonesia, Persyarikatan Muhammadiyah juga mengeluarkan fatwa terkait masalah murur ini.  

Dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, sebanyak 25 persen jamaah haji atau sekitar 55 ribu jamaah akan mengikuti murur, khususnya jamaah yang risti, lansia, disabiltas, serta para pendamping lansia.

Menyikapi hal ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar sidang fatwa di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan KH Ahmad Dahlan pada Jumat (7/6/2024). Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ruslan Fariadi.

Kepadatan jamaah yang dibarengi dengan sempitnya ruang gerak di Armuzna meningkatkan potensi masalah kesehatan bagi jamaah lansia, rentan sakit, dan difabel. Dalam sidang ini, salah satu solusi yang diusulkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah skema murur di Muzdalifah.

Seperti dilansir laman resmi Muhammadiyah, Sabtu (8/6/2024), skema ini dirancang untuk meminimalisir potensi risiko bagi jamaah yang rentan. Setelah wukuf di Arafah, jamaah akan melakukan murur di Muzdalifah dengan cara melintasi lokasi tersebut tanpa turun dari bus. Mereka tetap berada di dalam bus selama perjalanan ke Muzdalifah, dan kemudian bus akan membawa mereka langsung ke Mina.

Rincian skema ini adalah jamaah haji yang melintasi Muzdalifah setelah tengah malam, meskipun hanya sebentar, telah memenuhi kriteria dan syarat mabit, sehingga mabitnya sah dan tidak terkena dam isa’ah. Pandangan ini didasarkan pada prinsip taysir atau kemudahan.

Dalam kaidah hukum dikatakan: “Jika sesuatu itu dirasakan sulit maka beralih kepada yang mudah.”

 

Jika terjadi udzur syar’i, seperti kemacetan atau kondisi darurat yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan mabit, maka murur menjadi rukhshah (keringanan) tanpa membedakan waktu awal atau tengah malam, dan jamaah tidak terkena dam isa’ah. Hal ini berdasarkan kaidah:

“Apabila hukum asal sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada pengganti.” Diperkuat pula dengan kaidah kedaruratan: “Keadaan yang perlu penanganan khusus sama dengan kedaruratan.”

Sedangkan PBNU memutuskan bahwa pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan cara murur dapat menjadi solusi fiqih atas kepadatan jamaah di area mabit.

Dalam putusannya, PBNU menyatakan, “Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika dilakukan setelah melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah karena memenuhi syarat wajib mabit di Muzdalifah,” demikian tertulis dalam putusan PBNU yang ditetapkan di Jakarta pada Selasa, 19 Dzulqa'dah 1445 H/28 Mei 2024 M.

Menurut PBNU, mabit di Muzdalifah dengan murur di atas tengah malam sudah cukup secara syariat. Jamaah haji yang melakukan murur tidak terkena kewajiban dam dalam pandangan ulama yang mensyaratkan pelaksanaan mabit di Muzdalifah di atas tengah malam 10 Dzulhijjah Waktu Arab Saudi.

Selain itu, PBNU juga menyebutkan bahwa pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan murur sebelum tengah malam juga sah secara syariat dengan mengikuti pandangan sebagian ulama yang menganggap mabit di Muzdalifah sebagai sunnah haji. Oleh karena itu, jamaah haji yang melakukan murur sebelum tengah malam tidak terkena kewajiban dam karena tidak melanggar wajib haji. “Jika mabit di Muzdalifah secara murur tersebut belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah,” tulis putusan Syuriyah PBNU.

 
Berita Terpopuler