Cetak Sejarah, 'Pejuang' Palestina Lolos ke Babak Akhir Kualifikas Piala Dunia

Di tegah bombardir Israel, Timnas Palestina jadi harapan dan pemersatu bangsa.

Republika/Putra M. Akbar
Pesepakbola Palestina Abdallatif Albahdari melakukan selebrasi usai pertandingan melawan Timnas Indonesia di Stadion Patriot, Bekasi, Jawa Barat.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA – Di tanah air mereka, sepak bola Palestina babak belur dihajar pemboman brutal oleh Israel. Namun di tengah nelangsa itu, al-Fida’i alias Para Pejuang, julukan yang kini sangat pas bagi Tim Nasional Sepak Bola Palestina, justru mencatatkan sejarah lolos ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026.

Baca Juga

Palestina menciptakan sejarah itu menyusul hasil imbang tanpa gol pada Kamis melawan Lebanon di Stadion Jassin al Hammad di Doha. Palestina, yang memasuki pertandingan Grup I dengan tujuh poin, hanya membutuhkan hasil imbang untuk lolos. Permainan kasar Lebanon, yang mendapatkan tujuh kartu kuning, tak berhasil menembus pertahanan Para Pejuang. 

Catatan ini juga akan menandai keempat kalinya berturut-turut Palestina mengamankan tempat mereka di putaran final Piala Asia AFC, yang akan diselenggarakan oleh Arab Saudi pada tahun 2027. Pasukan manajer Makram Daboub akan menghadapi Australia pada 11 Juni mendatang untuk menentukan nasib mereka selanjutnya dalam upaya meraih tiket ke Piala Dunia 2026.

Capaian Palestina ini tergolong istimewa jika menengok kondisi persepakbolaan mereka di kampung halaman. Sejumlah stadion sepak bola profesional di Gaza tampaknya telah dimasukkan dalam daftar target tentara Israel sejak awal perang. 

Sempat muncul gambar dan video yang memperlihatkan sejumlah besar pemuda Palestina ditelanjangi hingga hanya mengenakan pakaian dalam di bawah todongan senjata oleh tentara Israel di Stadion Yarmuk, di Gaza utara.

Asosiasi Sepak Bola Palestina mengatakan bahwa dalam periode antara 7 Oktober dan 6 Desember, mereka mendokumentasikan pembunuhan 85 atlet Palestina. Sebanyak 55 di antara mereka yang syahid adalah pemain sepak bola dan 30 lainnya adalah atlet cabang olahraga lain.

“Diindikasikan bahwa pasukan pendudukan Israel, dalam agresi berkelanjutan mereka terhadap wilayah utara dan selatan negara itu, menargetkan atlet dan fasilitas olahraga Palestina, terutama pemain sepak bola, dan presiden klub, administrator, wasit, dan lainnya,” tulis asosiasi sepak bola Palestina dalam surat meminta Israel disanksi oleh FIFA.

antor berita resmi Palestina, WAFA bahwa di antara para pemain sepak bola yang terbunuh termasuk 18 anak-anak dan 37 remaja. Dua di antaranya dibunuh di Tepi Barat.

Jauh sebelum dimulainya perang Israel, para pemain sepak bola Palestina kerap menjadi sasaran militer Israel, sering kali dibunuh, disakiti, dan ditahan dengan berbagai alasan. Tim sepak bola Palestina, termasuk tim nasional, sering kali dilarang bergerak bebas antara Tepi Barat yang diduduki dan Gaza yang terkepung. Para pemain Gaza telah berulang kali dilarang bergabung dengan skuad tim nasional dalam pertandingan regional dan internasional.

Bagi tim ini dan pendukungnya, sukar memisahkan antara olahraga dan politik. Bahkan semata keberadaannya tim nasional Palestina adalah sebuah pernyataan. Para pemainnya, yang mengetahui bahwa mantan pelatih Olimpiade mereka, Hani Al-Masdar, terbunuh dalam serangan udara Israel beberapa hari sebelum mereka tiba di Doha, mengetahui bahwa mereka adalah perwakilan dari tekad Palestina untuk merdeka.

Bahkan julukan mereka sudah bicara banyak soal kondisi tersebut. Al Fida’i merujuk pada pejuang kemerdekaan Palestina yang mulai aktif setelah pengusiran oleh Israel pada 1948. Secara harfiah, para Fida’i adalah mereka-mereka yang rela berkorban nyawa untuk perjuangan mereka. Kini istilah itu juga judul lagu kebangsaan Palestina.

"Setiap kami mewakili sesuatu. Tanggung jawab datang dari penderitaan besar yang kami alami. Saat ini, kami tak bermain untuk diri kami sendiri; kami bermain untuk rakyat. Setiap pemain, setiap staf, setiap administrator mewakili Palestina dan penderitaan Palestina,” kata Mousa Farawi (25 tahun), pemain bertahan kelahiran Yerusalem dikutip ESPN.

Posisi Palestina saat ini sungguh unik di antara 211 federasi anggota FIFA. Tidak ada negara lain yang seperti mereka: hanya diakui oleh sebagian dunia, terbagi menjadi dua wilayah dengan dua pemerintahan yang bersaing. 

Sejumlah suporter memberikan dukungan saat pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Palestina pada babak penyisihan Grup A cabang sepak bola Asian Games 2018 di Stadion Patriot, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (15/8). Pada pertandingan tersebut Indonesia kalah dari Palestina dengan skor akhir 2-1. Republika/ Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)
 

Menurut ESPN, seperti kebanyakan tim nasional, Palestina pada dasarnya diawasi oleh pemerintah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat. Setelah bertahun-tahun berada di peringkat separuh terbawah FIFA, tim tersebut saat ini berada di peringkat 97 dan memiliki peluang yang kuat untuk lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya pada 2026, ketika jumlah tim bertambah menjadi 48 tim. 

Palestina kini berkandang di Qatar karena perang di kampung halaman. Mereka tak bisa bermain di stadion nasional di Tepi Barat, apalagi di Gaza yang hancur lebur. “Tim nasional Palestina sudah seperti sebuah keluarga. Kami tidak memiliki fasilitas seperti tim nasional lainnya, kami harus bermain di luar negara kami saat memainkan pertandingan kandang,” kata Yaser Hamed, bek berusia 26 tahun. 

Hamed dibesarkan di Spanyol, tempat ayahnya yang berkewarganegaraan Palestina bertemu dengan ibunya yang berasal dari Basque saat belajar kedokteran. Keduanya adalah dokter. Seluruh keluarga ayahnya berada di Gaza, katanya. 

Ia mengatakan kerap terharu menyaksikan bendera Palestina berkibar di berbagai wilayah di dunia tempat mereka bermain. “Ini bukan hanya tentang rakyat Palestina, tetapi juga tentang semua umat manusia di seluruh dunia." 

Sejarah sepak bola Palestina... baca halaman selanjutnya

 

Palestina tak punya tradisi panjang sepak bola. Kendati demikian, olahraga ini adalah yang paling populer di kalangan warga Palestina, bahkan sebelum berdirinya Israel pada 1948 dan pengusiran warga Palestina, sebuah peristiwa yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai “Nakba,” atau “Malapetaka”. 

Pada kualifikasi Piala Dunia 1934 dan 1938, tim itu bermain di bawah label Wilayah Mandatori Palestina, wilayah yang meliputi seluruh yang dikuasai Israel serta Gaza yang terkepung dan Tepi Barat yang dijajah. 

Sebuah tim yang seluruhnya berasal dari Arab didirikan pada 1931, juga dengan nama Palestina. Meskipun tim tersebut berkompetisi selama beberapa dekade di Pan-Arab Games, tim tersebut tidak diakui di luar wilayah tersebut. Saat ini 139 negara mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Pada 1998, FIFA mengakui Palestina sebagai anggota penuh. Tim muda itu mengejutkan banyak orang pada 1999 ketika menempati posisi ketiga di Pan-Arab Games. 

Sejak 2007, pengelolaan wilayah Palestina terbagi dua setelah Israel dan negara-negara Barat menolak mengakui kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina 2006. Gaza dikelola oleh pemerintahan Hamas sementara Tepi Barat dikelola sebagian oleh Otoritas Palestina sementara tetap diduduki secara militer oleh Israel.

Dengan latar itu, al-Fida’in jadi pemersatu. Ada pemain yang berasal dari Gaza, ada yang dari Tepi Barat, ada juga dari Yerusalem. Ada juga dari warga Arab yang tinggal di garis hijau dan sempat resmi berkewarganegaraan Israel. Lainnya adalah pemain diaspora hasil migrasi setelah pengusiran oleh Israel.

“Singkatnya tim ini adalah juga kisah Palestina selama 76 tahun terakhir,” kata Mikdadi, pendiri laman FootballPalestine.com.

 
Berita Terpopuler