Fatwa Penghasilan Konten Kreator Bisa Haram, Ini Delapan Dalilnya

Penghasilan pelaku ekonomi kreatif digital yang bertentangan dengan syariat haram.

Instagram/@mrbeast
Youtuber MrBeast.
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Fenomena pengguna media sosial yang semakin marak dimanfaatkan konten kreator sebagai sarana mencari cuan. Meski ada banyak konten kreator dari berbagai platform baik Youtube, Tiktok hingga Instagram membuat konten positif, tidak jarang diantara mereka yang menebar informasi negatif.

Baca Juga

Mereka bahkan mengabaikan perinsip syariah cara interaksi (muamalah) di media media, seperti menjadikan sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax ̧ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.

Untuk menjawab pertanyaan umat soal kehalalan penghasilan konten kreator tersebut, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2024 yang berlangsung di Bangka, 28-31 Mei 2024, mengungkapkan, penghasilan dari Youtuber, Tiktoker dan pelaku ekonomi kreatif digital lainnya yang kontennya bertentangan dengan ketentuan syariat adalah haram. Penghasilan mereka pun tidak boleh dibayarkan untuk zakat.

Ilustrasi. - (dok Cyber University)

Untuk menguatkan putusan tersebut, Ijtima Ulama mendasarkan dalam beberapa dalil dari nash Alquran hingga ijtihad ulama.

Berikut delapan dalilnya...

Dalil Alquran Terkait Fatwa Penghasilan Konten Kreator Bisa Haram

1. QS Ali Imran ayat 104

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

2. QS. Al-Hujurat ayat 6

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

3. QS. An-Nur ayat 16

Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar”.

4.QS. An-Nur: 19

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sa- ngat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.

5. QS. Al-Hujurat: 12

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

6. Hadis Abdullah bin Mas'ud

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wajib atas kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api Ne- raka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu ber- dusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim)

7. Pendapat Imam al-Qurthubi

Imam al-Qurthubi dalam menafsirkan ayat Alquran terkait ghibah:

Mengenai firman Allah SWT, (“Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?”) Allah SWT mengumpamakan mengenai kejahatan ghibah dengan memakan daging orang mati karena orang mati tidak dapat mengetahui kalau dagingnya dimakan orang lain, seperti saat ia hidup tidak mengetahui orang mempergunjingkannya.

8. Pendapat Imam An-Nawawi

Imam An-Nawawi dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, juz 1 halaman 75 memberikan penjelasan hadis terkait dengan perilaku penyebaran berita yang datang kepadanya.

“Adapun makna hadits ini dan makna atsar-atsar yang semisalnya adalah, peringatan dari menyampaikan setiap informasi yang didengar oleh seseorang, karena biasanya ia mendengar kabar yang benar dan yang dusta, maka jika ia menyampaikan setiap yang ia dengar, berarti ia telah berdusta karena menyampaikan sesuatu yang tidak terjadi.”

 

 
Berita Terpopuler