Serba-Serbi Badal Haji

Badal haji berarti menggantikan haji orang lain yang sedang uzur atau sudah wafat.

Republika/Muhyiddin
Jamaah haji menyentuh dinding Kabah yang terbuka pada Kamis (23/5/2024). Kain Kiswah telah diangkat agar tidak tersentuh tangan-tangan jamaah.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibadah haji adalah dambaan setiap hamba Allah. Namun, berbagai kondisi bisa menghalangi seseorang untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci, Makkah al-Mukarramah.

Seseorang yang memiliki uzur untuk berangkat haji kadang menunjuk seseorang untuk berangkat haji menggantikan dirinya. Hal ini kerap disebut dengan badal haji. Niat dan ibadah hajinya diperuntukkan bagi seseorang yang batal berangkat dan mengamanahkannya kepada orang lain.

Badal haji telah menjadi perbincangan di kalangan ahli fikih. Ada yang berpendapat, haji tidak bisa dibadalkan. Sebab, menurut perspektif ini, tiap insan akan dihisab karena amal perbuatannya sendiri, bukan orang lain.

Namun, ada juga perspektif lain yang membolehkan badal haji. Sebab, ada dalil (nash) khusus dalam hadis yang mengizinkan seseorang menghajikan orang lain.

Bagi yang berpendapat bahwa badal haji tidak sah, pegangannya adalah tafsir atas beberapa ayat Alquran. Di antaranya adalah surah al-Baqarah ayat ke-286. Artinya, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya."

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "(Yaitu) bahwasannya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasannya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya" (QS an-Najm: 38-39).

Adapun bagi yang membolehkan badal haji, mengambil dalil dari beberapa hadis sahih. Di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Dahulu, ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata, "Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tetapi belum sempat pergi hingga wafat. Apakah saya harus berhaji untuknya?"

Rasulullah SAW menjawab, "Ya, pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya utang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah utang kepada Allah karena utang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan" (HR Bukhari).

Dalam hadis lain, seorang wanita dari Khas'am berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung unta."

Nabi SAW bersabda kepada wanita itu, "Hajikanlah dia (si ayah wanita)" (HR Muslim).

Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menjelaskan, ada ulama yang berpendapat jika hadis-hadis soal badal haji bertentangan dengan ayat-ayat Alquran soal amalan seseorang. Pendapat ini didukung ulama dari kalangan Hanafiyah. Maka, kelompok atau mazhab ini berpendapat, hukum dalam hadis-hadis tersebut tidak bisa berlaku.

Sementara, ulama lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa hadis ahad mempunyai kekuatan qath'i sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat Alquran.

Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama-ulama Mutakallimin, khususnya fukaha Syafi'iyah, yang mengatakan bahwa hadis ahad, apalagi hadis mutawatir, dapat men-takhsis atau mengecualikan ayat-ayat Alquran. Oleh karena itu, menurut mereka, anak atau bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang tuanya atau orang lain.

Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengambil pendapat bahwa hadis-hadis di atas bisa diamalkan karena menjelaskan lebih perinci soal ayat-ayat Alquran. Jadi, boleh seseorang membadalkan haji untuk orang lain.

Lantas, apakah yang membadalkan haji harus berangkat dari negara orang yang digantikan ataukah bebas dari mana saja? Jumhur ulama membolehkan orang yang menggantikan haji bebas berangkat dari negara mana saja. Tidak harus dari asal orang yang digantikan.

Namun, ada ulama dari kalangan Hanabilah yang mempersyaratkan bahwa haji yang digantikan oleh orang lain itu harus dilakukan dengan berangkat dari negeri orang tersebut. Karena menurut mereka, kewajiban haji bagi orang tersebut adalah dari negerinya, maka bila karena suatu alasan harus digantikan oleh orang lain, harus juga berangkat dari negeri tempat dia tinggal.

Kesimpulan

Dengan memperhatikan ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis serta keterangan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Badal haji berkaitan dengan seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji, tetapi tidak dapat melakukan ibadah ke Tanah Suci tersebut karena uzur atau sudah meninggal dunia, padahal ia telah berniat atau bahkan bernazar untuk menunaikan ibadah haji.

Badal haji hanya dapat dilakukan oleh ahli warisnya, yakni anak dan saudaranya, pada musim haji (asyhuru al-hajj). Akan tetapi, si pengganti atau yang akan melakukan badal itu harus telah berhaji terlebih dahulu, sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah:

Baca Juga

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِسْمَعِيلَ الطَّالَقَانِيُّ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ قَالَ إِسْحَقُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَزْرَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ [رواه أبو داود وابن ماجه]

Artinya, "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW mendengar seseorang berkata 'Labbaik (aku datang memenuhi panggilan-Mu) dari (untuk) Syubrumah.' Rasulullah SAW bertanya, 'Siapakah Syubrumah itu?'

Ia menjawab, 'Saudaraku atau kerabatku.' Kemudian, Rasulullah SAW bertanya, 'Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu?'

Ia menjawab, 'Belum.' Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu), kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah.'"

Terakhir, badal haji bisa dilakukan oleh orang yang memenuhi kriteria tersebut dari yang berasal dari negeri manapun. Jadi, ia tak mesti berangkat dari negara tempat asalnya orang yang di-badal-kan. Demikian pendapat mayoritas ulama.

 
Berita Terpopuler