Cemasnya Generasi Emas Akibat Kenaikan Uang Kuliah

Menilik akibat yang ditimbulkan dari kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa dan orang tua serta respons dari pihak terkait yang kontradiktif terhadap kewajiban konstitusi yang diemban.

retizen /Siti Zulaikha
.
Rep: Siti Zulaikha Red: Retizen

Baru-baru ini, berbagai kampus di Indonesia ramai melakukan aksi demonstrasi kepada pihak kampus karena kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang sangat tinggi dan tidak wajar. Video viral di media sosial, BEM Universitas Jenderal Soedirman yang pertama kali melakukan demonstrasi kenaikan UKT sukses menjadi sorotan sekaligus memantik isu ini ke publik. Pasalnya, setelah BEM Universitas Jenderal Soedirman melakukan aksi, muncul di berbagai universitas lain di Indonesia mengeluhkan hal yang sama. Ternyata banyak universitas di Indonesia menaikkan uang kuliah tunggal para mahasiswanya dengan kenaikan yang tidak wajar. Sebagai contoh, UKT di Universitas Jenderal Soedirman. Menurut Presiden BEM Unsoed dalam rapat bersama Komisi X DPR RI pada Kamis, (16/5/2024) kenaikan UKT di Unsoed mencapai 300-500 persen.

Fenomena kenaikan uang kuliah tunggal para mahasiswa ini menimbulkan banyak pertanyaan sekaligus beban besar bagi masyarakat, khususnya menengah ke bawah. Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kenaikan UKT para mahasiswa ini? Apakah para mahasiswa? Tentu tidak sama sekali. Kalau mereka merasa diuntungkan, jelas tidak akan terselenggara aksi-aksi demonstrasi di berbagai kampus seperti sekarang ini. Mahasiswa yang seharusnya fokus untuk belajar dan mengembangkan nilai diri untuk masa depan mereka dan negara ini, justru dibebani dengan pikiran mengenai biaya UKT mahal yang bisa mengancam kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan meraih cita-cita mereka.

Jika mereka memaksa kuliah dengan biaya yang tidak wajar ini, maka banyak diantara mereka harus berusaha keras untuk mencari pendanaan biaya kuliah. Beberapa mungkin mendapat beasiswa, tetapi bagaimana nasib yang tidak bisa mendapatkan beasiswa?. Pada kenyataanya, beasiswa-beasiswa yang ada hanya bisa menyerap sebagian kecil saja dari orang-orang yang membutuhkan. Tidak jarang sebagian yang lain memutuskan untuk kuliah sambil bekerja yang akan membuat perkuliahan mahasiswa-mahasiswa tersebut terganggu. Selain itu, tidak banyak sektor kerja yang mau menerima mahasiswa yang sedang berkuliah karena dinilai tidak efisien. Tidak sampai di situ, gaji yang bisa dihasilkan para mahasiswa itu pun tidak banyak bisa menutupi biaya kuliah yang tinggi itu.

Namun, yang paling menyedihkan di antara kerugian tersebut adalah terhentinya kesempatan para mahasiswa untuk berkuliah. Mereka takut jika terus memaksa, maka akan berdampak pada keluarga di rumah, adik-adik yang masih sekolah, dan banyak pertimbangan lainnya. Menurut keterangan para ketua BEM yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), setidaknya ada sekitar 150 calon mahasiswa baru yang telah dinyatakan lulus dari beberapa universitas yang memutuskan untuk tidak lanjut menjadi mahasiswa karena ketidakmampuan orang tua mereka untuk memenuhi biaya UKT.

Apakah kenaikan UKT ini akan menguntungkan para orang tua? Justru selain mahasiswa, pihak orang tualah yang akan sangat terbebani. Kenaikan biaya-biaya tidak hanya di sektor pendidikan tinggi saja, tapi biaya hidup juga naik akhir-akhir ini. Kebutuhan-kebutuhan hidup seperti beras, gula, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya berlomba-lomba untuk naik harga. Situasi terjepit yang dialami para orang tua ini mau tidak mau harus mengorbankan mimpi-mimpi anaknya.

Fenomena ini tentu sangat disayangkan. Jika kita menilik lebih dalam, sebenarnya apa yang menyebabkan kampus ramai-ramai menaikkan UKT menjadi sangat tinggi? Jawabannya adalah karena Menteri Pendidikan Indonesia merilis dua peraturan ini, yaitu Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 dan Kepmendikbudristek Nomor 54/P/2024. Dua peraturan ini menjadi jawaban andalan para rektor ketika para mahasiswa menuntut kejelasan atas kenaikan UKT nya.

Baik dari pihak kampus maupun pemerintah, keduanya memberikan respons yang sangat tidak berempati dan sangat mengecewakan atas kejadian ini. Ketika diwawancarai, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menjawab bahwa UKT adalah kebijakan masing-masing kampus. Namun, penjelasan dari para rektor mengatakan kenaikan UKT ini atas peraturan yang telah diterbitkan oleh Kemendikbud. Dua respons ini seakan-akan lepar melempar tanggung jawab tanpa solusi yang konkret. Padahal menurut Peraturan Mendikbud Nomor 2 Tahun 2024, penentuan UKT harus berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari Kemendikbudristek. Artinya, kenaikan-kenaikan UKT yang meresahkan sekarang ini telah secara sadar disetujui oleh pihak kampus dan Kemendikbud.

Tidak sampai di situ, reaksi arogan dan tidak mencerminkan akdemikus yang baik pun ditunjukkan oleh pihak kampus dan pemerintah, dalam hal ini adalah Kemendikbud. Seperti yang terjadi pada salah satu mahasiswa pertanian di Universitas Riau, Khariq Anhar yang dilaporkan ke Polda Riau oleh Rektor Unri Sri Indarti setelah mengkritik besarnya UKT di Unri. Tidak hanya itu, ketika Sesdikjen Dikti Kemendikbud Tjitjik Sri Tjahjandarie dimintai keterangan tentang kenaikan UKT ini, beliau malah mengatakan kuliah itu tidak wajib atau hanya pilihan. Sebab kuliah adalah kebutuhan tersier dalam pendidikan sehingga uang kuliah menjadi mahal karena tidak masuk dalam wajib belajar yang diakomodasi oleh pemerintah. Pernyataan ini sungguh tidak menjawab sama sekali dari permasalahan yang ada. Bagaimana bisa Kemendikbud mengatakan seperti ini ketika sektor-sektor pekerjaan strategis dan layak memberikan syarat melamar minimal S1? Bagaimana bisa Kemendikbud mengatakan seperti ini ketika pemerintah dan Kemendikbud punya kewajiban konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan tertuang di pembukaan UUD 1945?

Menyikapi fenomena ini, tentu pemerintah dan pihak kampus seharusnya bisa memikirkan lebih bijak lagi atas kebijakan yang telah dibuat. Permasalahan ini adalah permasalahan yang serius dan butuh penyelesaian yang konkret, bukan malah konferensi pers dengan pernyataan yang normatif dan bertentangan dengan kenyataan. Bahkan belum lama ini, di Acara Forum Rektor Indonesia, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekhawatirannya terhadap rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 yang sangat rendah sekali, yaitu di angka 0,45 persen saja. Jika pemerintah benar-benar khawatir, maka tidak seharusnya membuat kebijakan-kebijakan yang justru mempersulit para anak bangsa untuk berkuliah. Tidak heran jika angka lulusan magister dan doktor kita rendah, jika kebijakan pendidikan di negara ini tidak membantu para mahasiswanya untuk bisa sampai pada tahap itu. Semua berharap Presiden Jokowi mengambil langkah yang konkret dengan memberikan perintah kepada Kemendikbud untuk mencabut atau merevisi kebijakan kenaikan UKT ini.

Pemerintah dan kampus juga sudah saatnya memandang pendidikan sebagai investasi, bukan sebagai produk komersialisasi. Kebijakan-kebijakan kontroversi seperti ini akan menurunkan optimisme kita terhadap generasi emas yang sering digembar-gemborkan itu. Di saat semua negara maju dan berkembang berlomba-lomba menaikkan kualitas SDM masyarakatnya melalui pendidikan, kita juga seharusnya punya semangat yang sama. Bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2045 akan terus semakin dekat. Jika ingin bonus demografi tersebut benar-benar memberikan efek positif kepada negara ini, maka sudah sepantasnya pendidikan, dalam hal ini pendidikan tinggi harus menjadi fokus serius dan bisa dijangkau oleh semua kalangan.

 
Berita Terpopuler