KRIS Diberlakukan, Legislator Khawatirkan Pembiayaan BPJS Peserta Mandiri

Penerapan KRIS masih dalam proses tahap uji coba.

Republika/Thoudy Badai
Petugas melayani masyarakat di Kantor BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (14/5/2024). Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan aturan tentang Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di BPJS Kesehatan sebagai upaya meningkatkan standar kualitas pelayanan di kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan berlaku paling lambat 30 Juni 2025.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo khawatir kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dapat memengaruhi angka bed occupation rate (BOR) atau persentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Sebab, dengan kebijakan itu kamar untuk kelas III yang biasanya berisi enam kasur berkurang menjadi empat kasur saja.

“Karena apa? Karena yang tadinya kelas III yang satu ruangan itu enam bed, sekarang bednya sama dalam satu ruangan menjadi 4 bed. Sehingga terjadi penyempitan, pengurangan dari bed tempat tidur di rumah sakit itu sendiri,” ucap Rahmad kepada Republika, Selasa (14/5/2024).

Saat ini penerapan KRIS masih dalam proses tahap uji coba. Dari tahap uji coba ini akan dilihat kendala apa saja yang akan muncul ketika terjadi BOR tinggi. Akan dilihat juga fluktuasi BOR ketika kamar peserta setiap kelas disamaratakan ke dalam KRIS dengan hanya berisi empat kasur saja.

“Harapannya dalam uji coba itu ada solusinya, ada kendalanya, ada rumusan penyelesaiannya. Itu yang masih kita tunggu dari hasil akhir evaluasi dari uji coba itu,” jelas dia.

Hal lain yang juga dia soroti terkait dengan pembiayaan. Selama ini, kata dia, pembiayaan untuk perserta BPJS terdiri dari penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah dan mandiri. Untuk PBI, penerapan KRIS tak akan menjadi masalah karena semua biaya akan dibayarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

“Yang menjadi pertanyaan adalah yang mandiri ini. Bagaimana iurannya dengan melebur jadi satu kelas standar ini. Besarannya dengan kriteria-kriteria pelayanan yang didapat oleh pasien peserta BPJS dengan 12 kriteria yang disampaikan dan dimiliki oleh rumah sakit itu,” kata dia.

Menurut dia, angka tersebut yang terus ditunggu oleh masyarakat meskipun prosesnya masih akan berlangsung kurang lebih satu tahun ke depan. Dia mendorong agar jangan sampai pembiayaan mandiri memberatkan rakyat yang saat ini kelas III, yang merupakan mayoritas.

“Dengan adanya penyesuaian kelas III, pasti bagaimana nanti hitungannya pembiayaan. Justru itu yang menjadi titik krusial. Saya mendesak kepada pemerintah agar pembiayaan BPJS kelas standar, khususnya bagi iuran mandiri harus tidak boleh memberatkan. Harus sesuai dengan kemampuan rakyat Indonesia,” jelas dia.

Rahmad juga membahas soal aturan minimal pengalokasian kamar KRIS di rumah sakit swasta sebesar 40 persen dan rumah sakit milik pemerintah sebesar 60 persen. Dia mengaku tak begitu khawatir dengan angka tersebut. Sebab, dia melihat pendapatan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS pendapatannya sebagian besar berasal dari BPJS.

“Faktanya pendapatan rumah sakit itu ada yang sampai 95 persen berasal dari BPJS. Bahkan mayoritas rumah sakit itu yang kerja sama dengan BPJS pendapatannya di atas 85 persen berasal dari rakyat. Dalam hal ini dari BPJS,” jelas dia.

Sebab itu, dia melihat, bukan tindak mungkin rumah-rumah sakit swasta dan milik pemerintah justru akan menerapkan KRIS lebih dari angka minimal tersebut. Dengan lebih banyak kamar dengan standar KRIS, maka pendapatan mereka dari BPJS akan dapat semakin lebih besar daripada hanya menerapkan angka minimum.

“Pendapatan rumah sakit itu berasal dari BPJS. Itu. Jadi yang menjadi kekhawatiran itu tidak terjadi. Justru mereka keterergantungannya terhadap BPJS, pendapatan sangat begitu tinggi,” jelas dia.

 

Baca Juga

 
Berita Terpopuler