Menkes Mengaku Belum Tanda Tangani 'Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan'

Menurut Menkes, kelas BPJS Kesehatan bukan dihapus, standarnya disederhanakan.

Dok.Republika
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Menurut Menkes, ke depannya BPJS Kesehatan akan disederhanakan dan ditingkatkan layanannya.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, KONAWE -- Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku belum menandatangani penghapusan program Kelas 1, 2, dan 3 di rumah sakit yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ia bahkan menyebut belum menerima lampiran draf wacana penghapusan Kelas di BPJS Kesehatan.

"Masuk ke saya saja belum, sudah ditanyakan. Kalau sudah masuk, langsung akan ditandatangani," kata Budi saat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kunjungan kerja (kunker) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Konawe.

Meski begitu, Budi menyebutkan wacana tersebut sebenarnya bukan untuk menghapus program kelas BPJS Kesehatan. Hal itu ditujukan untuk penyederhanaan dan mengangkat kualitas standar layanan kesehatan.

"Jadi, itu bukan dihapus, standarnya disederhanakan dan kualitasnya diangkat. Jadi itu ada kelas tiga kan sekarang, semua naik ke kelas dua dan kelas satu. Jadi sekarang lebih sederhana dan layanan masyarakat lebih bagus," jelas Budi.

Baca Juga

Budi juga menjelaskan bahwa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terkait hal tersebut akan keluar setelah ditandatangani Presiden Jokowi. Diketahui, Presiden Jokowi tengah melakukan kunjungan kerja di Sultra dan meninjau RSUD Kabupaten Konawe.

Sementara itu, pada Senin (13/5/2024), Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti menyatakan implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) tidak menghapus jenjang kelas pelayanan rawat inap bagi peserta. Hal itu disampaikannya menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang di dalamnya mengatur tentang KRIS.

"Masih ada kelas standar, ada kelas 2, kelas 1, ada kelas VIP. Tetapi ini sekali lagi masalah non-medis," kata Ghufron Mukti yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

Menurut Ghufron, Perpres tersebut berorientasi pada penyeragaman kelas rawat inap yang mengacu pada 12 kriteria, meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi, terdapat ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, termasuk temperatur ruangan.

Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi. Kriteria lainnya adalah keharusan bagi penyedia layanan untuk mempertimbangkan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap yang memenuhi standar aksesibilitas, dan menyediakan outlet oksigen.

"Perawatan ada kelas rawat inap standar dengan 12 kriteria, untuk peserta BPJS, maka sebagaimana sumpah dokter tidak boleh dibedakan pemberian pelayan medis atas dasar suku, agama, status sosial atau beda iurannya," ujarnya.

Jika ada peserta ingin dirawat pada kelas yang lebih tinggi, lanjut Ghufron, maka diperbolehkan selama hal itu dipengaruhi situasi nonmedis. Pada pasal 51 Perpres Jaminan Kesehatan diatur ketentuan naik kelas perawatan dilakukan dengan cara mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.

Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya pelayanan dapat dibayar oleh peserta bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.

"Ya tentu Perpres Jaminan Kesehatan ini bagus, tidak saja mengatur pasien bisa naik kelas, kecuali PBI atau mereka yang di kelas III," ujarnya.

 
Berita Terpopuler