Bocil Kecanduan Gim Sampai Tantrum, Problemnya Ada di Pengasuhan atau Gimnya?

Kemenkominfo tengah mempertimbangkan rekomendasi pemblokiran gim daring ini.

wordpress.com
Logo Kemenkominfo
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari lalu, video yang memperlihatkan sejumlah gamers cilik dengan berbagai ekspresi tantrumnya viral di media sosial X. Para bocil itu disebut kecanduan gim daring, seperti FF yang memiliki rating aplikasi 12+ alias game dengan tingkat kekerasan menengah..

Video itu muncul nyaris berbarengan dengan kabar bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah merekomendasikan pemblokiran gim yang dinilai dapat menimbulkan dampak buruk terhadap anak-anak, seperti Free Fire. Pendapat warganet pun terbelah soal ini.

Tak mendukung pemblokiran gim ini, sebagian warganet menyoroti peran orang tua dalam mencegah anaknya mengakses gim yang tidak sesuai dengan kategori usianya. Mengomentari hal tersebut, psikolog anak dan remaja dari Tiga Generasi, Mayang Gita Mardian, menyebut bahwa mencari siapa yang salah ibarat memecahkan teka-teki "lebih dulu telur atau ayam".

Baca Juga

Di satu sisi, pengembang gim daring ini, beroperasi secara legal dan memiliki kebijakan usia pengguna, panduan bermain, dan lainnya. Meski begitu, gim daring ini umumnya sangat mudah diakses.

Jadi, menurut Mayang, kontrolnya ada di keluarga. Bagaimanapun, penggunaan gawai sudah tidak mungkin dihindari karena memang banyak manfaatnya, baik dari segi hiburan, pendidikan, maupun untuk pekerjaan.

"Cuma ada segelintir orang tua, yang secara sadar atau tidak, menggunakan gawai sebagai 'obat instan', jadi anaknya nangis terus ketika tak bisa mengakses gimnya sesuka hati, besoknya sampai lempar barang saat minta ponsel. Makin lama perilaku ini akan makin meningkat," kata Mayang, Rabu (24/4/2024).

Terhadap anak yang seperti itu, orang tua perlu merefleksikan pola pengasuhannya, misalnya jika kerap merasa takut untuk mengontrol anaknya. Bisa jadi, ayah dan ibu khawatir dianggap terlalu ketat atau tidak ingin anaknya merasakan pengasuhan dengan banyak larangan seperti yang dulu ia alami.

Padahal, menurut Mayang, kontrol pada anak usia dini memang harus banyak dipegang orang tua. Itu artinya, ayah dan ibu perlu melakukan pengasuhan yang tepat agar anaknya tak sampai menjadi tantrum karena kuota data internetnya habis, membanting ponsel jika ada yang mengecewakannya saat bermain, atau menangis karena tidak diberikan uang untuk membeli aksesori gim favoritnya.

Mayang mengatakan, pengawasan dan pendampingan pada anak sangat penting, apalagi untuk usia di bawah sekolah dasar (SD). Pada rentang usia tersebut, orang tua mau tidak mau harus terlibat.

Selanjutnya, orang tua jangan sampai tidak tahu aktivitas daring anak. Penting memperhatikan jenis aplikasi yang diakses anak berikut batasan durasi aksesnya.

"Tidak bisa cuma aturan durasi melainkan konten dulu di-filter. Untuk game, peruntukan usianya sudah ada," kata Mayang.

Cara Meregulasi Emosi Anak

Mayang menjelaskan, anak tidak terlahir mampu meregulasi emosi secara tiba-tiba. Anak pasti terlebih dulu melihat orang tua maupun lingkungannya.

Di usia tertentu, ada anak-anak pintar melihat situasi. Dia merasa bisa memengaruhi orang tua atau istilahnya 'memanipulasi' lingkungan.

"Maka perlu hati-hati sebagai ortu. Misalnya, ketika anak menangis itu karena hanya kecewa, atau agar mendapatkan sesuatu," ujar dia.

Dari usia balita, anak sudah harus diajarkan bagaimana menahan diri, menunda keinginan. Itu tidak berkembang dalam satu atau dua hari.

Jika terjadi pelonggaran-pelonggaran kontrol dari ortu terhadap anak dan terjadi bertahun-tahun, bukan tidak mungkin ketika SD sampai SMP, sifat anak menetap dan jadi agresif. Mayang mencontohkan kasus anak SMP yang meminta motor ninja, tetapi diberi motor matic dan malah merusaknya.

Ini menandakan bahwa meregulasi emosi tidak berkembang hanya dalam satu atau dua malam, melainkan sudah dari kecil. Lihat polanya apakah anak bisa menahan diri atau tidak?

Kembali lagi orang tua bertugas bukan hanya mendidik. Ortu perlu melindungi, menjaga, dan jika sesuatu itu dirasa tidak perlu buat anak, maka ortu tidak perlu memberikannya.

 
Berita Terpopuler