Sisi Lain Khomeini, Pemimpin Revolusioner Iran Penentang Dinasti Antek Barat

Sewaktu kecil, Khomeini melihat pegawai pemerintah menganiaya seorang pedagang kecil.

EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Warga Iran memegang gambar yang menggambarkan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei merayakan peringatan 44 tahun Revolusi Islam 1979, di alun-alun Azadi (Kebebasan) di Teheran, Iran, (11/2/2023). Acara tersebut menandai peringatan 44 tahun revolusi Islam, yang terjadi sepuluh hari setelah Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali dari pengasingannya di Paris ke Iran, menggulingkan sistem monarki dan membentuk Republik Islam.
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemimpin Revolusi Islam Iran tahun 1979, Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini pernah ditanya jurnalis setelah kembali dari pengasingannya di Prancis ke Iran. Dia ditanya soal bagaimana perasaannya kembali ke Iran setelah seperempat abad. Jawaban Khomeini begitu dingin, "Tidak ada."

Reaksinya terhadap berita kematian putranya Mustafa pada 1977 juga dingin. Saat itu dia menyampaikan, "Kita semua sedang melewatinya. Tuhan telah memberikannya kepada kita dan telah memulihkannya sekarang, Tuan-tuan!"

Peneliti bidang Islam yang mengajar di Universitas Cologne Jerman, Katajun Amirpur mengungkap lebih jauh ihwal Khomeini dan Islam Syiah di Iran jauh ke belakang. Mulai dari abad ke-20 hingga periode berdirinya Islam Syiah pada abad ke-7. Ini dituangkan dalam buku karyanya berjudul Khomeini: Der Revolutionär des Islams Hardcover.

Dijelaskan Amirpur, bahwa poros Islam Syiah adalah Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupu Nabi Muhammad SAW. Hingga kemudian terjadi pembunuhan terhadap Ali.

Situasi menjadi tegang antara kubu Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebagai upaya menghindari perang saudara dibuat Perjanjian Hasan-Muawiyah.

Berdasarkan perjanjian ini, Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan catatan Muawiyah dilarang memilih pengganti dan tidak menjadikan khilafah sebagai pemerintahan warisan. Perjanjian tersebut dilanggar Muawiyah karena dia mengangkat putranya, Yazid, sebagai penggantinya.

Baca Juga

Lalu, warga kota Kufah meminta...

Lalu, warga kota Kufah meminta putra Ali, Husein, untuk membebaskan mereka dari Yazid. Mengandalkan dukungan masyarakat Kufah, Hussein menghadapi pasukan besar Yazid di Karbala.

Tentara Hussein, yang kalah jumlah dan kalah persenjataan oleh tentara Yazid, dihancurkan dan Hussein terbunuh. Bagi kaum Syiah, kegagalan nenek moyang mereka dalam arbitrase tersebut menjadi salah satu gambaran mendasar tentang keyakinan mereka.

Menurut Amirpur, kisah arbitrase itu sangat penting bagi Khomeini. Dari sini ia belajar, seperti yang ia nyatakan pada masa revolusi, bahwa seseorang tidak boleh melakukan negosiasi atau arbitrase dengan lawan politiknya.

"Sebagai minoritas, seseorang pasti lebih rendah, tidak peduli betapa berharganya orang tersebut," jelas Amirpur, merangkum garis besar pandangan dunia Khomeini.

Di era modern, ada sebuah episode perjuangan Iran melawan pengaruh Barat yang membentuk perkembangan politik Khomeini. Episode inilah yang disebut "revolusi tembakau" di akhir abad kesembilan belas dan dampaknya.

Pada 1890, raja Qajar, Nasser al-Din Shah, memberikan monopoli kepada Perusahaan Tembakau Kerajaan Inggris atas perdagangan tembakau Iran. Hal itu menyebabkan ketidakpuasan besar di kalangan penduduk.

Untuk melemahkan monopoli...

Untuk melemahkan monopoli, Hassan Shirazi, seorang ulama terkemuka, mengeluarkan fatwa yang melarang konsumsi tembakau. Umat beragama di masa itu menganut fatwa tersebut dan konsumsi serta penjualan tembakau terhenti.

Ini pada akhirnya memaksa Nasser al-Din Shah membatalkan perjanjian monopoli dengan perusahaan tersebut. Melalui pendekatan ini, para ulama memperoleh prestise yang besar.

"Fatwa tersebut memicu protes politik massal pertama dalam sejarah Iran dan menunjukkan apa yang bisa dicapai oleh aliansi ulama dan pasar (ekonomi)," kata Amirpur.

Perasaan berkuasa yang tercipta di kalangan ulama itulah yang memberikan pengaruh kuat pada Khomeini. Khomeini lahir pada 1902 di kota kecil Khomein, 200 kilometer barat laut Isfahan. Daerah ini terkena dampak langsung dari ketidakadilan sosial pada masanya.

Sewaktu kecil, Khomeini melihat pegawai pemerintah menganiaya seorang pedagang kecil. Dia melihat bagaimana mereka memukuli dan menindasnya.

Bahkan, memukul dengan palu. Namun semasa hidupnya, Khomeini hanya mampu membayangkan keadilan dalam kerangka agama.

Dia mengabdikan dirinya untuk...

Dia mengabdikan dirinya untuk studi formal Islam Syiah di kota Qom. Sebagai seorang ulama yang taat, ia terus maju dalam hierarki Syiah dan menarik banyak murid.

Khomeini, yang kemudian dikenal dengan gelar tinggi Syiah "ayatollah" adalah pemimpin agama pertama yang secara terbuka mengutuk program westernisasi yang dilakukan oleh Dinasti Shah yang memimpin Iran kala itu.

Dalam pesan-pesan berapi-api di Qom, Khomeini menyerukan untuk meruntuhkan Dinasti Shah dan membentuk negara Islam. Pada 1963, Shah (Raja) Iran saat itu, Mohammed Reza Pahlavi, memenjarakan Khomeini hingga menyebabkan terjadi kerusuhan. Lalu, pada 4 November 1964, Mohammed Reza Pahlevi mengusir Khomeini dari Iran.

Selain itu, Amirpur juga menjelaskan, Al-Dhaminun atau Penjamin (tercapainya keadilan), dalam tafsir Syiah, adalah imam dari keluarga Nabi Muhammad. Mereka membimbing dan menunjukkan jalan, tidak hanya dari sudut pandang agama, tetapi juga dalam segala urusan kenegaraan, menurut penafsiran Syiah.

"Kepemimpinan politik dan agama harus dijalankan oleh orang yang sama jika pemerintahan benar-benar sah," kata Amirpur tentang teori negara Khomeini.

Hal ini menjelaskan mengapa agenda politik Khomeini pada awalnya sejalan dengan teori modernitas yang revolusioner, seperti anti-kolonialisme. Dia mendasarkan revolusinya dengan cara teologis dan bukan dengan cara sekuler.

Inilah sebabnya Khomeini tidak fokus...

"Inilah sebabnya Khomeini tidak fokus pada reformasi atau penggulingan institusi tertentu, namun ia berupaya mencapai utopianya, yaitu agar para ulama mengambil alih kekuasaan politik," kata Amirpur.

Khomeini tiba di Teheran dengan penuh kemenangan pada 1 Februari 1979 dan diakui sebagai pemimpin Revolusi Iran. Dengan semangat beragama yang semakin tinggi, ia mengkonsolidasikan otoritasnya dan mulai mengubah Iran menjadi negara religius.

Pada Desember 1979, konstitusi baru Iran disetujui. Konstitusi tersebut menetapkan Khomeini sebagai pemimpin politik dan agama Iran seumur hidup.

Namun menurut Amirpur, tidak ada petunjuk bahwa pemimpin revolusioner tersebut dimotivasi oleh kemarahan atau semangat keagamaan. Dia berpandangan, ini menandakan motivasi Khomeini mungkin ada di tempat lain.

"Khomeini mungkin melihat peluang di sini untuk menjadi pembela Islam yang paling penting. Bahkan revolusi, yang sengaja disebut Islam daripada Syiah, seharusnya menjadikan dia Pausnya Islam."

Sumber: History dan DW

 
Berita Terpopuler