Ilmuwan Ingatkan Dokter Setop Pakai Istilah 'Long Covid' ke Pasien, ini Alasannya

Istilah long Covid mewakili gejala yang bertahan lama setelah orang kena Covid-19.

Freepik
Seseorang bersin saat kena Covid-19 (ilustrasi). Ilmuwan mengingatkan dokter untuk tak lagi memakai istilah long covid kepada pasiennya.
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah "long Covid" selama ini diartikan sebagai gejala berkepanjangan setelah terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Namun, sekarang penelitian mengungkap bahwa para tenaga medis sebaiknya perlu segera berhenti menggunakan istilah "long Covid".

Mengapa begitu? Menurut ilmuwan, penyematan label itu dapat menimbulkan 'ketakutan yang tidak perlu' pada pasien dan menghambat pemulihan mereka. Para ahli mengatakan gejala jangka panjang yang dialami beberapa pasien setelah terinfeksi SARS-CoV-2 sejatinya tidak berbeda dengan gejala yang disebabkan oleh virus lain seperti flu.

"Menyebut istilah 'long Covid' secara keliru menyiratkan bahwa ada sesuatu yang unik dan luar biasa tentang gejala jangka panjang setelah serangan Covid-19," kata peneliti, seperti dilansir Daily Mail, Senin (18/3/2024).

Baca Juga

Gejala Long Covid dipicu juga oleh kondisi psikologis pasien - (Republika)


Sering kali didiagnosis sendiri, istilah "long Covid" diciptakan untuk sejumlah gejala setelah positif Covid-19, yang dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah infeksi awal. Sekitar 1,9 juta orang di Inggris dilaporkan menderita penyakit ini, dengan istilah yang mencakup banyak kondisi, mulai dari kelelahan dan sesak napas hingga nyeri otot dan sendi.

Namun, para peneliti dari Queensland Health di Australia mengatakan bahwa hal ini menjadi perhatian masyarakat. Sebab, banyaknya orang yang terinfeksi Covid-19, bukan akibat parahnya gejala Covid yang berkepanjangan atau gangguan fungsi.

Dokter John Gerrard, Kepala Pejabat Kesehatan Queensland, mengatakan timnya meyakini bahwa sekarang saatnya untuk berhenti menggunakan istilah-istilah seperti "long Covid".

"Ini keliru karena terkesan ada sesuatu yang unik dan luar biasa mengenai gejala jangka panjang terkait dengan virus ini," kata dia.

Terminologi ini disebut dapat menyebabkan ketakutan yang tidak perlu. Dalam beberapa kasus, kewaspadaan berlebihan terhadap gejala jangka panjang dapat menghambat pemulihan.

Untuk memahami lebih lanjut tentang dampak jangka panjang Covid-19 di negara bagian Queensland, Australia, para peneliti mensurvei 5.112 orang dewasa yang menderita Covid-19 atau flu antara 29 Mei hingga 25 Juni 2022. Setahun kemudian, peserta ditanya tentang gejala yang sedang dialami dan tingkat gangguan fungsional menggunakan kuesioner.

Secara keseluruhan, 16 persen dari seluruh responden melaporkan gejala yang berlanjut setahun kemudian. Sebanyak 3,6 persen melaporkan gangguan fungsional sedang hingga berat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Analisis tersebut tidak menemukan bukti bahwa mereka yang mengidap Covid-19 lebih cenderung mengalami keterbatasan fungsional sedang hingga parah setahun setelah diagnosis dibandingkan mereka yang menderita infeksi virus lain, termasuk flu.

Mereka yang lebih mungkin menderita penyakit ini cenderung berusia 50 tahun atau lebih. Mereka memiliki gejala pusing, nyeri otot, sesak napas, rasa tidak enak badan setelah beraktivitas, dan kelelahan. Temuan ini akan dipresentasikan pada konferensi Kongres Mikrobiologi Klinis dan Penyakit Menular Eropa di Barcelona bulan depan.

Dokter Gerrard menyebut bahwa dalam sistem kesehatan dengan populasi divaksinasi, long Covid mungkin tampak seperti penyakit yang berbeda dan parah karena tingginya volume kasus Covid-19 selama pandemi.

"Namun, kami menemukan bahwa tingkat gejala yang berkelanjutan dan gangguan fungsi tidak dapat dibedakan dengan penyakit pasca infeksi virus lainnya," kata dr Gerrard.

Temuan ini menggarisbawahi pentingnya membandingkan hasil pasca infeksi Covid dengan hasil setelah infeksi pernapasan lainnya, dan penelitian lebih lanjut mengenai sindrom pasca infeksi virus. Konsultan A&E dr Rob Galloway sebelumnya telah menyatakan keprihatinannya atas diagnosis kondisi tersebut.

Dokter Galloway menyayangkan banyaknya pasien yang diberi istilah "long Covid" sering kali tanpa alasan yang meyakinkan, selain karena kumpulan gejala yang sedang dialami. Implikasi dari penyebutan istilah ini bisa sangat signifikan, berdampak pada kesejahteraan mental mereka.

"Banyak dari mereka yang pernah saya tangani dalam pengobatan tampaknya kalah dengan asumsi bahwa kondisi mereka tidak akan membaik. Tetapi juga karena hal ini berarti dokter mungkin tidak mencari penyebab lain dari gejala yang mereka alami," ujar dr Galloway.

Brain fog usik penyintas Covid-19. - (Republika)


Dokter Janet Scott selaku dosen Klinis Penyakit Menular, University of Glasgow yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa ada banyak infeksi yang menyebabkan sindrom pasca infeksi. Kemungkinan long Covid memang tidak jauh berbeda dengan sindrom pasca infeksi virus pernapasan lainnya.

Namun, penting untuk tidak meremehkan dampak pribadi dan ekonomi yang besar dari dampak jangka panjang Covid terhadap seseorang.

"Perbedaan besar dengan long Covid adalah banyaknya orang yang terinfeksi virus yang sama dalam waktu singkat yang telah memfasilitasi penelitian yang lebih terkoordinasi di bidang ini, yang saya harap akan bermanfaat bagi semua penderita sindrom pasca Infeksi," ungkap dr Scott.

Apa itu long Covid?
Menurut Layanan Kesahatan Nasional Inggris (NHS), kebanyakan orang yang menderita Covid-19 merasa lebih baik dalam beberapa hari atau pekan. Sementara itu, mereka yang diusik Covid-19 dalam jangka waktu lama membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.

Gejalanya meliputi:
Kelelahan, sesak napas, kehilangan penciuman dan nyeri otot.

Hal ini juga dapat menyebabkan:
Masalah daya ingat, dada sesak, susah tidur, jantung berdebar-debar, pusing, nyeri sendi, kesemutan, tinitus, sakit perut, kehilangan nafsu makan, suhu tinggi, batuk, ruam, dan depresi.

 
Berita Terpopuler