BMKG: Istilah Puting Beliung Lebih Familiar

Secara visual, tornado dan puting beliung cukup mirip meski kekuatannya berbeda.

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Foto udara kawasan industri yang terdampak angin puting beliung di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis (22/2/2024). BPBD Provinsi Jawa Barat mencatat, bencana angin puting beliung yang terjadi di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung tersebut mengakibatkan 97 rumah dan 17 unit bangunan pabrik mengalami kerusakan serta 413 kepala keluarga terdampak dan 31 orang dilarikan ke rumah sakit.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan fenomena yang terjadi di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ialah puting beliung. BMKG meminta semua pihak untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat. 

Baca Juga

Secara esensial, fenomena puting beliung dan tornado merujuk pada fenomena alam yang punya beberapa kemiripan visual. Bedanya, puting beliung tidak sekuat tornado yang biasanya terjadi di wilayah Amerika Serikat (AS).

“Kami menghimbau bagi siapa pun yang berkepentingan, untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat. Cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat Indonesia sehingga masyarakat dapat memahaminya dengan lebih mudah,” jelas Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani kepada Republika.co.id, Kamis (22/2/2024).

Kemiripan visual dari fenomena puting beliung dan tornado berupa angin yang kuat, berbahaya, dan berpotensi merusak. Menurut dia, ‘tornado’ biasa dipakai di wilayah AS. 

Ketika intensitasnya meningkat lebih dahsyat dengan kecepatan angin hingga ratusan km/jam dengan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer, maka dapat menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Sementara itu di Indonesia, fenomena yang mirip tersebut diberikan istilah puting beliung dengan karakteristik kecepatan angin dan dampak yang relatif tidak sekuat tornado besar yang terjadi di wilayah AS.

Puting beliung secara visual....

 

 

 

Puting beliung secara visual merupakan fenomena angin kencang yang bentuknya berputar kencang menyerupai belalai dan biasanya dapat menimbulkan kerusakan di sekitar lokasi kejadian. Puting beliung terbentuk dari sistem awan cumulonimbus (CB) yang memiliki karakteristik menimbulkan terjadinya cuaca ekstrem.

“Meskipun begitu tidak setiap ada awan CB dapat terjadi fenomena puting beliung dan itu tergantung bagaimana kondisi labilitas atmosfernya,” terang dia.

Dia juga mengatakan, kejadian angin puting beliung dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat dengan durasi kejadian umumnya kurang dari 10 menit. Prospek secara umum untuk kemungkinan terjadinya dapat diidentifikasi secara general, di mana fenomena puting beliung umumnya dapat lebih sering terjadi pada periode peralihan musim dan dan tidak menutup kemungkinan terjadi juga di periode musim hujan.

Berdasarkan catatan BMKG, kata Andri, fenomena puting beliung telah terjadi beberapa kali di wilayah Bandung, seperti misalkan pada 05 Juni 2023 terjadi di Desa Bojongmalaka, Desa Rancamanyar, dan Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah-Bandung. Berdasarkan informasi media, fenomena tersebut menimbulkan kerusakan pada bangunan rumah warga dimana sebanyak 110 rumah rusak di Bojongmalaka, 20 rumah rusak di Kelurahan Andir, dan 11 rumah rusak di Rancamayar.

“Pada tahun 2023 juga terjadi kejadian puting beliung di wilayah Bandung pada bulan Oktober di Banjaran dan bulan Desember di Ciparay serta menimbulkan beberapa kerusakan seperti bangunan rusak dan pohon tumbang, bahkan di tahun 2024 tepatnya tepatnya tanggal 18 Februari 2024, puting beliung terjadi juga di Parongpong Bandung Barat,” jelas dia.

Sebelumnya, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut angin kencang yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat, sebagai tornado karena melihat bukti-bukti berdasarkan dokumentasi publik. Menurut dia, yang bukti paling jelas ada pada skala meso yang lebih dari 2 km, yang membuat lima kecamatan terdampak oleh fenomena tersebut.

“Yang penting ini udah masuk skala meso. Kalau skalanya mikro, baru bukan tornado. Tornado itu skala meso, meso itu di atas 2 km, itu saja. Nah kalau lima kecamatan terdampak, masa, itu skala mikro?” jelas Erma.

Dia menjelaskan, untuk melihat fenomena itu, ada dua jenis dokumentasi yang sangat berhargap dalam riset, yakni dokumentasi publik dan dokumentasi saintifik. Saat ini, kata dia, dokumentasi publik sudah bisa didapatkan berdasarkan foto-foto dan video yang diunggah oleh publik di media sosial dan juga berita media massa.

“Dokumentasi visual dan publik itu sudah kita dapatkan, termasuk dampak itu dokumentasi paling berharga dalam riset. Kita akan rekonstruksi dari dampak-dampak itu kan. Dokumentasi saintifik itu butuh simulasi, itu belum kita lakukan,” terang dia.

 
Berita Terpopuler