Ke Mana Arah Kebijakan Inggris Terhadap Gaza Seusai David Cameron Kembali ke Pemerintahan?

Cameron diperkirakan berikan nada yang lebih damai tapi tak berpihak pada Palestina

Reuters
Mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron ditunjuk jadi Menlu Inggris. Cameron diperkirakan akan memberikan “nada yang lebih damai”,tetapi tidak akan berpihak pada Palestina
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kembalinya mantan perdana menteri Inggris David Cameron ke dunia politik Inggris secara tak terduga selama perang Israel di Gaza dan protes pro-Palestina di Inggris, telah memicu pertanyaan mengenai implikasi kebijakan Inggris terhadap Timur Tengah. Cameron, yang kini menjabat sebagai menteri luar negeri, sebelumnya menyebut Jalur Gaza sebagai “kamp penjara” dan menganjurkan solusi dua negara terhadap konflik Israel-Palestina.

Namun Cameron juga merupakan pendukung setia Israel. Pada 9 Oktober 2023, ketika Israel mengumumkan blokade total dan menyerang Gaza, pria berusia 57 tahun tersebut membuat pernyataan yang mendukung Israel.

“Saya berdiri dalam solidaritas penuh dengan Israel pada saat yang paling menantang ini dan sepenuhnya mendukung perdana menteri dan Pemerintah Inggris atas dukungan mereka yang tegas dan teguh,” kata Cameron di platform media sosial X.

Ratusan ribu pengunjuk rasa turun ke jalan di London sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza selama akhir pekan, ketika sejumlah kecil kelompok sayap kanan melancarkan protes balasan. Perdana Menteri Rishi Sunak memecat Menteri Dalam Negeri Suella Braverman pada Senin (13/11/2023) setelah dia menimbulkan kemarahan karena menuduh polisi terlalu toleran terhadap pengunjuk rasa pro-Palestina.

Sunak menggantikan Braverman dengan Menteri Luar Negeri James Cleverly. Kemudian, secara mengejutkan, Sunak menunjuk Cameron sebagai pengganti Cleverly. Profesor hubungan internasional di Sekolah Studi Oriental dan Afrika di London (SOAS), Ben Whitham mengatakan, meskipun Cameron diperkirakan akan memberikan “nada yang lebih damai”, ia tidak akan berpihak pada Palestina dalam konflik tersebut.

“Tentu saja, seperti politisi senior Konservatif lainnya, dia secara umum akan memihak Israel dan dugaan hak mereka untuk melakukan serangan di Gaza,” kata Whitham, dilansir Aljazirah, Senin (13/11/2023).

Whitham mengatakan, penunjukan Cameron juga bertujuan untuk menyembuhkan beberapa perpecahan di dalam Partai Konservatif. “Dia dipandang memiliki hubungan yang kuat dengan mitra ekonomi strategis di Timur Tengah, termasuk hubungan pribadi yang berkelanjutan dengan kepemimpinan Arab Saudi," kata Whitman.

Selama masa jabatannya sebagai perdana menteri dari tahun 2010 hingga 2016, Cameron mengkritik pemukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat dan blokade Jalur Gaza. “Gaza tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan tetap menjadi kamp penjara,” kata Cameron saat berkunjung ke Turki pada 2010.

Namun, ketika warga Palestina di Gaza mendapat manfaat dari gencatan senjata yang menghentikan sementara salah satu pegeboman paling mematikan di wilayah tersebut pada 2014, partai Cameron menolak seruan dari anggota koalisi untuk meninjau kembali izin ekspor senjata ke Israel jika pertempuran berlanjut. Surat kabar Israel, Haaretz mengutip episode ini sebagai salah satu alasan mengapa Cameron menjadi perdana menteri Inggris yang paling pro-Israel, setelah Gordon Brown, Tony Blair, Margaret Thatcher dan Harold Wilson.

“Dalam banyak hal, dia (Cameron) melihat Timur Tengah sangat mirip dengan Netanyahu,” kata laporan Haaretz, mengacu pada Perdana Menteri saat ini Benjamin Netanyahu, yang menjabat dari 2009 hingga 2021.

Sejak bulan lalu, Netanyahu telah berulang kali menolak gencatan senjata di Gaza. Dia berjanji untuk memusnahkan Hamas dalam serangan udara dan darat yang telah membunuh lebih dari 11.200 warga Palestina, termasuk anak-anak.

Selama 50 hari permusuhan yang berlangsung dari 8 Juli hingga 26 Agustus 2014, sebanyak 2.251 warga Palestina gugur, Sayeeda Warsi, seorang menteri senior di Kementerian Luar Negeri Inggris dan orang Muslim pertama di Inggris yang bertugas di kabinet, mengundurkan diri ketika gencatan senjata gagal dan menuduh pemerintah Cameron mengambil pendekatan yang tidak dapat dipertahankan secara moral terhadap konflik tersebut. Pada saat itu, Warsi mengatakan, tanggapan pemerintah terhadap peristiwa di Gaza adalah salah satu faktor di balik radikalisasi Muslim Inggris, yang dapat menimbulkan konsekuensi selama bertahun-tahun ke depan.

Kebijakan Cameron terbukti berdampak panjang bagi kawasan...

Baca Juga

Menurut Whitham, hubungan pribadi Cameron dengan Arab Saudi telah memainkan peran yang menentukan dalam pemulihan politiknya. Cameron termasuk di antara segelintir pemimpin, termasuk mantan presiden Brasil Jair Bolsonaro dan mantan penasihat senior kepresidenan AS, Jared Kushner, yang melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada 2019 untuk menghadiri pertemuan puncak Davos di Gurun.

“Kami memiliki (pilar) dalam kebijakan luar negeri Inggris di Timur Tengah yang menjadi lebih penting dalam konteks pasca-Brexit, yaitu bahwa sekutu strategis asing di luar Eropa, seperti Arab Saudi, sangatlah penting. Menjaga hubungan baik dengan mitra-mitra ini adalah hal yang terpenting. Dan Cameron dipandang sebagai kandidat penerus dalam hal ini," ujar Whitham.

Cameron selama ini mendukung penggunaan kekuatan militer Inggris untuk mengalahkan kelompok-kelompok yang dianggap teroris di Timur Tengah. Pada 2014, ketika ISIS berusaha mendirikan kekhalifahan di Irak dan Suriah, ia memperingatkan bahwa Barat akan menghadapi negara ekstremis di perbatasan Mediterania jika ISIS berhasil mencapai tujuannya. Pemerintahan Cameron ketika itu setuju untuk memperluas serangan udara ke Suriah dari Irak, dan ia memilih mendukung invasi ketika diajukan ke Parlemen Inggris pada Maret 2003.

“Mungkin keputusan kebijakan luar negeri yang paling kontroversial pada masa Cameron sebagai perdana menteri adalah keputusan untuk menggunakan pembunuhan di luar proses hukum di Suriah, yang meresmikan program serangan pesawat tak berawak yang berlanjut hingga hari ini,” kata Whitham.

Cameron mengundurkan diri pada 2016, setelah upayanya yang gagal agar Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa. Kebijakan Cameron mengenai Timur Tengah telah ditinjau dan terbukti memiliki dampak jangka panjang bagi kawasan tersebut.

Pada 2011 ketika Inggris dan Perancis melakukan intervensi di Libya, pemerintahan Cameron mengatakan, operasi tersebut bertujuan untuk melindungi warga sipil yang mendapat serangan dari pemimpin Muammar Gaddafi. Namun Komite Urusan Luar Negeri kemudian menganalisis keputusan tersebut. Komite menemukan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada kelemahan intelijen dan mempercepat keruntuhan politik dan ekonomi negara Afrika Utara tersebut.

Laporan parlemen menyimpulkan, Cameron mempunyai peran yang menentukan dalam keputusan intervensi dan harus memikul tanggung jawab atas peran Inggris dalam krisis di Libya. Serupa dengan mantan presiden AS Barack Obama, Cameron membuka jalan bagi penggunaan kekuatan mematikan di beberapa wilayah Timur Tengah.

“Cameron telah menunjukkan bahwa dia cukup tertarik pada intervensi militer di wilayah tersebut. Saya tidak ingin berspekulasi apakah dia akan bergabung dengan kelompok pro-Israel dan berpotensi menjebak Hamas sebagai perpanjangan tangan ISIS. Hal itu tergantung pada kebijakan Sunak dan Cameron harus mengikuti kebijakan tersebut," ujar Whitham.

 
Berita Terpopuler