MK Tolak Permohonan Agar PPDB Zonasi Dihapus, Ini Pertimbangan Putusannya

MK berkesimpulan bahwa pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Wihdan Hidayat / Republika
Orang tua wali murid mencari informasi terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dessy Suciati Saputri, Ronggo Astungkoro, Febrianto Adi Saputro

Baca Juga

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berkaitan dengan pelarangan sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi. Putusan dibacakan pada Rabu (27/9/2023). 

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman.

Setelah menimbang permohonan pemohon, mahkamah berkesimpulan bahwa pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum “Mahkamah berkesimpulan: mahkamah berwenang mengadili permohonan pemohon; pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Anwar.

Perkara Nomor 85/PUU-XXI/2023 tersebut diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Ia menggugat Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 yang berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib Memberikan Layanan dan Kemudahan, serta Menjamin Terselenggaranya Pendidikan yang Bermutu bagi Setiap Warga Negara Tanpa Diskriminasi”.

Dalam petitumnya, pemohon meminta mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pemohon meminta bunyi pasal tersebut ditambahkan dengan “Melarang Penerimaan Peserta Didik Melalui Sistem Zonasi atau Kebijakan Lainnya Menimbulkan Kesulitan Peserta Didik Memperoleh Pendidikan”.

Pemohon berpendapat sistem zonasi merusak sistem PPDB dengan sistem prestasi yang selama ini telah dibangun. Di samping itu, menurut pemohon, sistem zonasi mematikan motivasi berprestasi karena siswa tidak tertantang untuk semangat belajar.

Pemohon juga mendalilkan, bahwa sistem zonasi menumbuhkan lahan basah praktik gelap atau perbuatan curang lain. Menurut pemohon, seharusnya PPDB dilakukan melalui sistem nonzonasi dengan mengedepankan prestasi, sehingga dapat mendorong percepatan kualitas pendidikan dan relevan dengan kebijakan konsep merdeka belajar. 

Hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul memberi penjelasan, bahwa sistem zonasi adalah salah satu cara PPDB yang menggunakan pembatasan wilayah yang dikaitkan dengan daya tampung sekolah. Sistem zonasi, kata dia, hanyalah sebuah metode dalam penatalaksanaan sistem PPDB. 

Manahan juga mengatakan, ketentuan dalam norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 yang digugat pemohon telah memerintahkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

“Dengan demikian, menurut Mahkamah norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 telah sejalan  dengan semangat dan tujuan negara sebagaimana dinyatakan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945,” kata Manahan.

Sementara itu, terkait dalil pemohon yang mengatakan sistem PPDB zonasi menimbulkan perlakuan diskriminatif, Mahkamah berpendapat bahwa itu bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.

“Melainkan jika yang dipersoalkan pemohon itu benar, hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003,” papar Manahan.

Terdapat pendapat berbeda terhadap putusan tersebut. Hakim konstitusi M. Guntur Hamzah berpendapat seharusnya permohonan pemohon tidak ditolak. Tetapi dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

Pada awal Agustus lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tengah mempertimbangkan untuk menghapus kebijakan zonasi dalam sistem PPDB. Menurutnya, sistem PPDB akan dicek secara mendalam terlebih dahulu kelebihan dan kekurangannya menyusul ditemukannya banyak permasalahan. 

"Dipertimbangkan (dihapus) akan dicek secara mendalam dulu plus minusnya," kata Jokowi di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (10/8/2023). 

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani juga mengaku membahas soal masalah dalam sistem kebijakan PPDB ini usai bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu (9/8/2023) sore kemarin. Sebab sistem penerimaan peserta didik baru ini diketahui menimbulkan berbagai permasalahan. 

"Kami tadi sampaikan kebijakan PPDB, penerimaan peserta didik baru yang di banyak tempat menimbulkan problem baru," jelas Muzani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. 

Menurutnya, kebijakan untuk pemerataan sekolah unggul tersebut justru menimbulkan ketidakadilan di sejumlah tempat. Karena itu, lanjutnya, permasalahan dalam implementasi kebijakan zonasi dalam sistem PPDB ini menjadi catatan bagi pemerintah. 

"Presiden mengatakan memang ini menjadi catatan bagi pemerintah. Nyatanya memang maksud luhur maksud mulia maksud baik dari diselenggarakan kebijakan PPDB ternyata belum terjadi, bahkan terjadi persoalan-persoalan hampir di semua provinsi," kata Muzani. 

Pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan sudah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengevaluasi pelaksanaan PPDB. “Saat ini, Kemendikbudristek telah membentuk satgas yang bertugas khusus untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PPDB di daerah demi meningkatkan pelaksanaan PPDB di masa yang akan datang,” ujar Plt Kepala BKHM Kemendikbudristek, Anang Ristanto, kepada Republika, Kamis (10/8/2023).

Dia menyampaikan, Kemendikbudristek selalu terbuka dalam menerima semua masukan dan saran terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Menurut Anang, semua masukan dan saran yang masuk akan dijadikan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan, termasuk perbaikan dalam pelaksanaan PPDB di seluruh daerah di Indonesia.

“Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima semua masukan dan saran sebagai bahan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan PPDB di daerah masing-masing,” kata dia.

Komik Si Calus : PPDB - (Republika/Daan Yahya)

Kebijakan PPDB sistem zonasi sendiri pada awalnya diterapkan saat Muhadjir Effendi menjabat sebagai Mendikbud RI pada 2017 yang didasarkan atas hasil penelitian oleh dilakukan Balitbang Kemendikbud selama delapan tahun. Penelitian tersebut menunjukkan sekolah negeri justru didominasi oleh peserta didik dari keluarga kaya atau mampu secara ekonomi padahal anak-anak keluarga kaya memiliki banyak pilihan untuk bersekolah.

Hal tersebut berbeda dengan kondisi anak-anak dari keluarga miskin yang akan sulit melanjutkan sekolah jika tidak di SMA atau SMKN karena ketiadaan biaya. Tak hanya itu, peserta didik yang memiliki nilai akademik tinggi didominasi dari keluarga berada yang gizinya sudah baik sejak kecil, memiliki sarana dan prasarana belajar yang memadai hingga orang tua yang mampu membayar guru privat maupun bimbingan belajar.

Di sisi lain, peserta didik dari keluarga tidak mampu secara gizi lebih rendah, tidak memiliki sarana belajar yang memadai, tidak mampu membayar bimbingan belajar, bahkan mereka harus membantu orang tua bekerja. Anak-anak pada kelompok tidak mampu adalah yang terpinggirkan ketika PPDB sebelum menggunakan sistem zonasi karena untuk mengakses sekolah negeri seleksinya hanya menggunakan nilai akademik. 

Sistem yang hanya menggunakan nilai akademik pada akhirnya memunculkan adanya sekolah unggulan atau sekolah favorit dengan peserta didik dengan nilai akademik tinggi hingga mayoritas bantuan daerah dan nasional tertumpah ke sekolah ini. Anggaran pemerintah yang besar kepada sekolah favorit tersebut tidak dapat dinikmati secara sama dengan sekolah negeri bukan unggulan yang peserta didiknya bukan siswa unggulan sehingga terdapat ketidakadilan.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pun menilai, PPDB sistem zonasi telah mampu memberi kesempatan bagi anak kurang mampu untuk dapat menempuh pendidikan di sekolah negeri.

“Sekolah negeri berbiaya murah bahkan gratis untuk pendidikan wajib sembilan tahun sehingga membuat anak-anak dari keluarga miskin dapat mengakses sekolah negeri untuk melanjutkan pendidikannya,” kata Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo belum lama ini.

Sementara, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan, anak-anak yang bersekolah di bukan sekolah unggulan bahkan yang tidak diterima di sekolah negeri umumnya adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu. Oleh sebab itu, Retno menuturkan adanya kebijakan PPDB sistem zonasi justru menghendaki kehadiran negara agar sekolah negeri dapat diakses oleh seluruh kalangan baik anak didik pintar maupun tidak tidak dan kayak atau tidak.

“PPDB sistem zonasi pasti ada kekurangannya namun kekurangan tersebut masih berpeluang diperbaiki bersama,” kata Retno.

Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema, menilai tak ada yang salah dari sistem zonasi.  "Bukan dihapus solusinya," kata Doni kepada Republika, Jumat (11/8/2023).

Menurut Doni persoalan di zonasi PPDB terjadi karena kurangnya sinergi lintas kementerian. Ia melihat belum tampak sinergi antarkementerian dalam kebijakan tersebut.

"Karena ini perlu sinergi lintas kementerian, ini yang harus dilakukan," ucapnya. 

Doni menyoroti belum sinkronnya antara Kemendikbud dengan pemerintah daerah (pemda), sehingga pemda membuat aturan zonasi sendiri. Sementara, Kemendikbud yang seharusnya membina justru kurang aktif.

"Lalu masalah anggaran pendidikan kan harusnya Nadiem (Mendikbud) komunikasi dengan Mendagri, Pemda, dan Menkeu, Karrna keuangan dari menkeu tapi eksekusi di pemda," ungkapnya. 

Oleh karena itu menurutnya pemerintah perlu memperkuat sinergi dengan pemda. Sebab yang belakangan terjadi menurutnya hanya masalah teknis saja. Kemudian dari sisi sistem dan paradigma menurutnya ada konsep zonasi yang dipahami keliru sehingga Mendikbud sekarang hanya menambah masalah sendiri.

"Jadi harus dibedakan masalah teknis, sistem, dan konsep teoritisnya mengapa memilih zonasi dan apa konsekuensi dalam sistem dan penguatan kapasitas di daerah," kata Doni.

Sengkarut PPDB Zonasi - (infografis Republika)

 

 
Berita Terpopuler