Bukan Pembakaran, Ini Serangan Yahudi-Nasrani yang Lebih Berbahaya Terhadap Alquran

Oknum Yahudi dan Nasrani telah lancarkan serangan terhadap Alquran

EPA-EFE/SHAHZAIB AKBER
Ilustrasi unjuk rasa bela Alquran. Oknum Yahudi dan Nasrani telah lancarkan serangan terhadap Alquran
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sejarah panjang  penyerangan oknum segelintir kaum Yahudi dan Nasrani terhadap Alquran pada dasarnya telah membentang.

Baca Juga

Pakar Studi Alquran dari INSISTS, Adnin Armas, dalam buku nya, Metodologi Bibel dalam Studi Alquran (2005), menjelaskan John of Damascus, misalnya, seorang tokoh Kristen terkemuka (m 700 M), telah menyerang otentisitas Alquran sebagai wahyu Tuhan. Karena menyinggung dogma-dogma dalam ajaran Kristen, maka Alquran dicap tidak otentik. 

John of Damascus tidak ragu menyebut Islam sebagai sebuah sekte bidah dan Alquran banyak memuat cerita-cerita bodoh. 

Peter Venerabilis (Peter the Venerable) (1094-1156), tokoh Kristen dari Biara Cluny, Prancis, menyebut Alquran tidak terlepas dari para setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad SAW, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture). 

Ricoldo da Monte Croce (1243- 1320) juga menyebut bahwa pengarang Alquran bukanlah manu sia tetapi setan. 

Dengan kejahatannya serta izin Tuhan, Muhammad telah berhasil memulai karya Anti- Kristus. Martin Luther, (1483-1546), juga menulis, The devil is the ultimate author of the Quran. Luther menyebut Paus dan orang-orang Muslim sebagai jelmaan setan. 

Alquran, kata Luther, mengajarkan kebohongan, pembunuhan, dan tidak menghargai perkawinan. 

Studi Alquran Salah satu cara yang lebih halus untuk menyerang Alquran dilaku kan oleh kaum Yahudi dan Kristen dengan melakukan studi Alquran. 

Baca juga: 15 Pengakuan Orientalis Non-Muslim Ini Tegaskan Alquran Murni tak Ada Kesalahan 

Pada abad ke-12 M, Alquran untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton. 

Martin Luther menerjemahkan karya Ricoldo (Confutatio Alcorani) ke dalam bahasa Jerman, 1542). Luther tidak percaya ada manusia yang mau mempercayai ketololan dan ketakhayulan Alquran.

Luther juga menulis kata peng antar untuk karya Theodore Bi bliander (1504-1564) tentang Alquran (Vorrede zu Theodor Biblian dus Koranausgabe). 

 

Cara-cara kasar dalam menyerang Alquran seperti itu kemudian disadari tidak banyak membawa hasil. 

Umat Islam tidak tergoyah kan keyakinannya terhadap ke benaran dan keotentikan Alquran. Sejak abad ke-19, mulai muncul bentuk baru dalam penyerangan Alquran. Caranya lebih halus dan berbungkus metode ilmiah (scientific method). 

Salah satu pelopor dalam studi ini adalah Abraham Geiger, seorang tokoh Yahudi liberal. Ia menulis buku What did Muhammad borrow from Judaism (Apa yang Muhammad pinjam dari Yahudi). 

Kata Geiger, Banyak kata dalam Alquran berasal dari bahasa Hebrew (Ibrani). Karena itu, Alquran terpe ngaruh agama Yahudi. 

Cara pandang Yahudi-Kristen dalam Studi Bibel kemudian di aplikasikan dalam studi Alquran. Ber bagai penelitian tentang Alquran  dengan kerangka pikir Yahudi-Kristen diaplikasikan, ter utama dalam studi-studi teks Alquran. 

Theodore Nöldeke (m. 1930) memenangkan sebuah kompetisi penulis an sejarah kritis tekstualitas Alquran pada 1857. 

Karyanya diterbitkan pada 1860 dengan judul Ges chichte des Qorans. Edisi kedua dari buku itu kemudian dilanjutkan muridnya, Friedrich Schwally, sedangkan edisi ketiganya ditulis oleh Gotthelf Bergsträsser dan Otto Pretzl. 

Baca juga: Bagaimana Laut Merah Bisa Terbelah oleh Tongkat Nabi Musa? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Ges chichte des Qorans, yang di kerjakan beramai-ramai dalam kurun waktu puluhan tahun, hingga kini masih menjadi referensi penting dalam pembahasan sejarah kritis penyusunan Alquran di kalangan orientalis.

Dengan semangat untuk membuktikan ketidakotentikan Alquran, Gustav Flügel menerbitkan sebuah mushaf tandingan’ sebagai hasil kajian filologi yang dilakukannya. 

Mushhâf’ itu kemudian di namakan Corani Textus Arabicus. Kemudian datanglah Arthur Jeffery, seorang orientalis berkebangsaan Australia yang meneruskan usaha Bergsträsser dan Pretzl. Jeffery ber tekad merestorasi teks Alquran berdasarkan bacaan-bacaan dalam beberapa mushhâf tandingan’ (rival codices). 

 

Hanya saja, proyek Jeffery terpaksa dihentikan karena perpustakaannya dibom oleh pasukan Se kutu pada Perang Dunia II.   

 
Berita Terpopuler