Bagaimana Sih Narasi Islamisme pada Pilpres 2024?

Perlu pemahaman utuh tentang Islam, islami, dan islamisme.

Republika
Aksi umat Islam 212 yang damai.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis, Tinggal di Banda Aceh.

Baca Juga

Tersiar kabar Prabowo Subianto menyesal pernah dekat dengan kelompok Islam pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Pernyataan penyesalan itu konon, disampaikan oleh Grace Natalie dalam bincang-bincang di Kanal YouTube ‘Total Politik.’ Karena berita itu viral, Grace Natalie harus mengklarifikasi ke publik, bahwa pernyataannya telah dipelintir.

Dalam cerita lain diterangkan, penyesalan Prabowo itu memang benar adanya. Bukan karena Prabowo didukung umat Islam, melainkan karena pernah dekat dengan kelompok Islam intoleran. Merujuk ke pengalaman Pilpres 2019, kelompok yang dimaksud adalah Front Pembela Islam (FPI) dan massa gerakan 212.

Tak masuk akal Prabowo menyesal karena didukung umat Islam. Toh, 86,7 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Setara 237,55 juta jiwa. Lebih berkemungkinan benar jika ceritanya sedikit diubah. Bahwa Prabowo menyesal pernah dekat dengan kelompok islamis. 

 

 

 

Memang diperlukan kehati-hatian memilah tiga istilah yang sering kali digunakan bercampur aduk dalam percakapan harian. Antara Islam, Islami, dan Islamisme. Ketiganya mewakili tiga perilaku dan aspirasi politik yang berbeda. Bahkan, saling bersaing satu sama lain dalam sejarah politik Indonesia sejak republik ini didirikan.

Islamisme, seperti diulas ilmuan politik Olivier Roy, adalah ideologi politik yang memperjuangkan hukum-hukum syariah berlaku di ruang publik secara sosial, politik, dan ekonomi. Dalam bentuknya yang paling fundamental, Islamisme bercita-cita mendirikan negara Islam. 

Tentu, islamisme bukan ide baru di Indonesia. FPI hanya salah satu dari gerakan termutakhir islamisme Indonesia dengan gagasan NKRI Bersyariah. Sebelumnya, ada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan gagasan khilafah Islamiah.

Pada periode lebih awal, ada Negara Islam Indonesia (NII) dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DT/TII). Itu gerakan-gerakan yang popular saja. Jumlah gerakan bawah tanah yang membawa aspirasi islamisme jauh lebih banyak lagi.

Dalam bentuk yang lebih moderat, para pendukung Piagam Jakarta juga dapat dipertimbangkan sebagai pejuang islamis. Bukan hanya di awal kemerdekaan, umat Islam yang membela kalimat ‘ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemluk-pemeluknya’ masih banyak dan menguat pascagerakan massa 212. 

 

 

 

Aspirasi politik kelompok Islamis berbeda dari kelompok Islami. Islami adalah gagasan menerapkan nilai-nilai universal Islam pada sistem pengetahuan, kebijakan publik dan perilaku politik bernegara.

Gerakan ini dimulai pada tahun 1970-an, diawali dengan gerakan intelektual Islamisasi pengetahuan. Dilanjutkan dengan Islamisasi sistem pendidikan dan Islamisasi sistem ekonomi. Pengembangan perbankan syariah masih bagian dari gerakan Islamisasi itu. 

Gerakan Islamisasi bisa terjadi di mana saja. Bahkan di negara-negara sekuler versi Eropa dan Amerika. Pusat-pusat studi gerakan Islamisasi awalnya justru tumbuh di Amerika dan Inggris. Selain di Malaysia, Nigeria, dan Pakistan. 

Para pelopor gerakan Islamisasi kebanyakan kaum intelektual didikan universitas-universitas Barat. Seperti Ismail Al-Faruqi, Syed Naquib Al-Attas, Syed Ali Ashraf, dan banyak lagi yang lainnya. Berbeda halnya dengan pelopor gerakan Islamisme, kebanyakan dari kaum santri dan lembaga pendidikan tradisional masyarakat Muslim. Seperti Abul A’la Al-Maududi (Pakistan), Ruhullah Khomeini (Iran), dan Hasan Al-Banna (Mesir). 

Keduanya, narasi Islamisme dan Islamisasi, pernah merebut wacana publik Indonesia sejak penyiapan kemerdekaan hingga saat ini. Di era Orde Baru, narasi itu berhasil dipinggirkan. Universitas-universitas Islam, seperti IAIN dan UIN, lebih dominan dikuasai narasi mainstream pengetahuan dunia, seperti positivisme dan fenomenologi dibandingkan gagasan islamisasi.

Dalam percakapan politik, narasi Islamisme telah diredam secara efektif dengan pembubaran HTI dan FPI. Sehingga dalam ruang-ruang yang terbuka, kontestasi narasi antara nasionalisme dan Islamisme yang mewarnai babak-babak sejarah politik Indonesia dapat dikatakan telah berakhir untuk sementara waktu.

 

 

Bagimana di Pilpres 2024?

Setelah kekalahan narasi Islamisme dan Islamisasi, satu-satunya yang tersisa adalah narasi Islam, tanpa embel-embel. Dalam hal ini, Islam sebagai identitas sosial, bukan sebagai ideologi politik dan prinsip berpolitik.

Artinya, para pemilih Muslim hanya mengidentifikasi diri mereka beragama Islam, tidak bercita-cita membangun hukum syariah di ruang publik dan tidak berpegang pada etika Islami dalam berpolitik.

Mayoritas Muslim Indonesia mengganggap penting isu identitas Islam dalam dalam ajang Pilpres 2024. Saiful Mujani Research Center (SMRC) menilai isu agama (Islam) masih menjadi penentu pada Pilpres 2024. Analisis data SMRC menyimpulkan, Anis Baswedan diyakini lebih membawa rasa keterwakilan identitas Islam dibandingkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto (Republika, 2022).

Warga Nahdiyin (NU) yang diklaim sekitar 70-80 juta jiwa dan warga Muhammadiyah, yang diperkirakan berkisar 60 juta jiwa adalah bagian dari kekuatan politik Islam identitas itu.

Kedua Ormas Islam terbesar di dunia inilah yang telah merawat narasi Islam sebagai identitas sosial menjadi arus-utama perpolitikan Indonesia. Rezim Jokowi tanpa dukungan kedua ormas ini sangat sulit menghadapi narasi Islamisme FPI dan HTI. 

Namun, ini tak berarti ruang kebangkitan diskursus Islamisme dan Islamisasi telah sepenuhnya tertutup pada Pilpres 2024. Potensi konsolidasi ulang kekuatan politik Islamis dan Islami masih terbuka lebar lewat kerja-kerja ormas Islam penggerak gerakan massa 212. Terutama jika narasi islamisme dan islamisasi dipandang dapat menguntungkan koalisi, yang melibatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di dalamnya. 

Kali ini Capres Anies akan menggantikan peran-peran Prabowo pada Pilpres 2019. Di bawah pesan-pesan politik simbolik Anies, narasi Islamisme dan Islamisasi akan mencari tempat seadanya. Peluang kebangkitan kedua narasi itu tetap membesar di provinsi-provinsi basis DI/TII tempo dulu. Terutama Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.  

Jadi, Prabowo menyesal pernah punya hubungan dekat dengan kelompok apa? Pastinya dengan kelompok Islamis, bukan dengan kelompok Islam!

 

 
Berita Terpopuler