Anak Koruptor Filipina Terpilih jadi Presiden, Bagaimana Nasib Pilpres Indonesia?

Kecerdikan strategi di media sosial bisa mengubah pandangan generasi Z dan milenial.

AP/Aaron Favila
Presiden Filipina Bongbong Marcos (ilustrasi)
Red: Joko Sadewo

Oleh : Mas Alamil Huda, Redaktur Polhukam Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Kemenangan Bongbong Marcos pada pemilihan presiden di Filipina menjadi sebuah fenomena unik. Dia anak Ferdinand Marcos. Sang ayah adalah sosok yang berkuasa selama 21 tahun sebelum akhirnya digulingkan pada 1986. Banyak kontroversi selama kepimpinan Marcos senior. Cap diktator korup melekat kuat padanya. Citra buruk pun tersemat pada keluarga Marcos. Tetapi, melalui pemilihan yang demokratis, rakyat Filipina ternyata memilih Bongbong Marcos pada pilpres tahun lalu.

Hampir semua analis sepakat bahwa kampanye yang masif melalui media sosial (medsos) adalah salah satu faktor penentu kemenangan. Lepas dari diskursus adanya manipulasi fakta tentang sepak terjang Marcos senior selama memimpin Filipina dalam kampanyenya, Bongbong nyatanya memenangkan kontestasi. Tetapi sebelum dipilih langsung di bilik suara, ia sejatinya telah memenangkan pertarungan di medsos ketika berhasil mengambil segmen pemilih muda.

Mengapa pemilih muda yang dibidik? Di Filipina, mayoritas pemegang hak suara adalah pemilih muda. Dalam sistem one man one vote, kantong terbesar akan menjadi sasaran utama mendulang suara. Beragam cara akan dilakukan untuk merebut hati mereka dan berujung dipilih di bilik suara. Bongbong melakukan itu dengan memanfaatkan medsos secara masif dan efektif.

Lebih dari separuh pemilih di Filipina adalah pemilih muda. Dari 67,5 juta pemegang hak suara, yang berusia 18-42 tahun lebih dari setengah. 42 tahun ini dihitung mundur dari pemilu Filipina 2022 yang artinya mereka lahir setelah 1980. Separuh lebih pemilih adalah generasi milenial dan Gen Z. Itulah fakta demografi pemilih di Filipina.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan perilaku yang signifikan antara Gen Z dan milenial. Gen Z adalah mereka yang lahir setelah 1997. Artinya, sebagian besar dari mereka adalah pemilih pemula, baik dalam pilpres di Filipina kemarin atau Pilpres 2024 nanti.

Hasil riset Alvara Research Center tahun 2022, sebuah lembaga survei yang meneliti detail tentang kebiasaan maupun perilaku generasi milenial dan Gen Z, menemukan bahwa 98,8 persen Gen Z di Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. Bisa dibilang, semua Gen Z telah melek internet. Bahkan, sebagian besar dari mereka mengakses internet lebih dari 7 jam sehari. Artinya, hampir sepertiga hidupnya lekat dengan gawai.

Telepon pintar yang ada di genggaman tangannya itu juga menjadi sumber informasi utama bagi mereka. Apapun itu informasinya, termasuk dalam aspek politik. Tetapi yang menarik, dalam riset itu ditemukan, informasi yang mereka dapat bukan berangkat dari pencarian secara sadar, tetapi lebih banyak justru paparan ketidaksengajaan. Dengan kata lain, algoritma sosmed lebih ‘banyak bicara’ dalam konteks ini.

Kembali ke Bongbong Marcos. Anak diktator Ferdinand Marcos itu berhasil merebut suara pemilih muda dengan masifnya kampanye melalui medsos. Bahkan, citra buruk bapaknya sebagai diktator korup mampu diredam melalui konten-konten medsosnya dengan menampilkan peninggalan-peninggalan penting semasa Marcos senior.

Strategi itu bertemu dengan fakta bahwa mayoritas pemilih di Filipina lahir setelah Marcos senior lengser. Artinya, mereka tidak merasakan brutalnya kepemimpinan Marcos dari 1965-1986. Yang menjadi pertanyaan, apakah generasi milenial dan Gen Z Filipina tidak tahu sejarah kelam kepemimpinan Ferdinand Marcos?

Para pemilih muda Filipina lahir setelah Marcos senior tumbang dari tampuk kekuasaan pada 1986. Mereka merasa tidak punya beban sejarah tentang era kediktatoran itu. Tetapi, ini bukan berarti pemilih Bongbong, khususnya pemilih muda, tidak tahu masa lalu kepemimpinan Ferdinand Marcos. Yang harus diakui adalah, strategi Bongbong dalam melakukan penetrasi secara masif di medsos efektif menarik pemilih muda.

Lantas, bagaimana dengan Pemilu 2024 di Indonesia? Menariknya, demografi pemilih Indonesia mirip dengan Filipina. KPU RI telah menetapkan 204.807.222 WNI sebagai pemilih atau masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Dalam DPT tersebut, separuh lebih pemilih adalah anak muda, yakni Gen Z dan milenial.

Jumlah pemilih muda ini mendominasi karena mencapai 56,45 persen dari total pemilih. Sebanyak 46.800.161 atau 22,85 persen pemilih merupakan Gen Z. Sedangkan pemilih dari generasi milenial sebanyak 66.822.389 orang atau 33,60 persen. Jika ditotalkan, pemilih dari Gen Z dan milenial ini berjumlah 113.622.550 orang.

Jika berkaca pada kemenangan Marcos, fakta daftar pemilih ini mengharuskan kontestan capres-cawapres menggarap medsosnya secara serius untuk berkampanye. Dar hasil riset Alvara, tidak semua medsos efektif untuk mendekati Gen Z. Mereka ternyata lebih menyukai konten berbasis visual dibanding dalam bentuk tulisan.

Tetapi, dalam riset yang sama juga ditemukan, Gen Z dan milenial memiliki tingkat loyalitas yang rendah terhadap sesuatu. Mereka gampang sekali ‘berpindah ke lain hati’. Karakter inilah yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, baik Gen X maupun Boomers. Dan jangan pernah lupa, Gen X dan Boomers masih di atas 40 persen dari total pemilih. Mereka juga jauh lebih loyal. Jika mereka sudah memilih salah satu partai atau pasangan capres-cawapres, sangat kecil kemungkinan mereka beralih.

Fakta lainnya, angka golput atau yang tidak menggunakan hak pilih selalu didominasi pemilih muda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Satu sisi pemilih muda memang paling banyak jumlahnya, tapi di lain sisi potensi mereka golput sangat tinggi. Ini yang menjadi persoalan sekaligus tantangan di Pemilu 2024 bagi para kontestan.

Mendulang suara dari Gen Z dan milenial memang menggiurkan dalam konteks elektoral. Tapi mereka sangat sulit ‘dipegang’.

 
Berita Terpopuler