Al Chaidar: Bagi Darul Islam, Republik Indonesia Musuh yang Harus Dilawan

Kalangan Darul Islam yakin perjuangan mereka tak sia-sia.

Al Chaidar
Pasukan DI TII bersama isteri dan senjata-senjatanya
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Pakar Antropologi dan Pakar Teorisme.

Baca Juga

Bagi kalangan Darul Islam di Indonesia, perjuangan mereka tidak sia-sia meskipun mengalami kekalahan definitif pada tahun 1962 karena diserang oleh Republik Indonesia. Mereka merasa bahwa mereka telah berjuang untuk menegakkan syariah Allah di bumi Indonesia dan membela hak-hak umat Islam.

Mereka juga merasa bahwa mereka telah menepati perjanjian mereka kepada Allah sebagai bagian dari darul ahdi dan mereka berusaha mencari refuge (tempat hijrah) di luar Indonesia yang berkenan memberikan suaka politik

Bagi mereka, Republik Indonesia adalah musuh yang harus dilawan karena tidak menerapkan hukum syariah dan mengancam eksistensi umat Islam. Mereka melihat Republik Indonesia sebagai Leviathan yang menakutkan dan zalim.

Hal ini terlihat dari wawancara dengan Faisal Utomo, salah satu anggota Darul Islam di Depok, pada 17 Juni 2019. Beliau mengatakan: "Kami tidak takut mati karena kami yakin bahwa kami akan masuk surga sebagai syuhada. Kami tidak mau tunduk kepada pemerintah kafir yang tidak menghormati agama kami. Kami ingin hidup dalam negara Islam yang damai dan adil."[1

Baiat (sumpah setia) orang-orang Darul Islam, pertama dan utama adalah menegakkan kalimah Allah, dan orang-orang Darul Islam menyatakan kesiapan untuk bersatu dengan mempertahankan berdirinya Negara Islam Indonesia. 

Orang-orang Darul Islam selama ini telah membangun keyakinan agama, politik, dan kesejarahan di tengah-tengah radikalisasi gerakan-gerakan Islam politik transnasional yang begitu kuat mempengaruhi banyak kalangan muslim fundamentalis, intoleran, juga kalangan radikal untuk mengadopsi pola-pola perjuangan yang bersifat teroristik yang kemudian ditolak oleh kalangan NII yang asli.

Sementara itu, faksi-faksi NII yang palsu sudah diidentifikasi sebagai ‘musuh eksternal’ yang tidak mewakili mereka sama sekali. Tindakan terorisme yang dilakukan oleh beberapa kalangan NII selama ini dianggap sama seperti tindakan yang dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), yang membakar rumah-rumah rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan menuduh gerombolan NII yang melakukannya. 

 

 

 

Di berbagai kalangan Darul Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Aceh, Labuhan Batu, Lubuk Pakam, Bukit Tinggi, Malang, Madura, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Ambon, Tual memperlihatkan masih adanya gerakan Darul Islam yang asli.

Darul Islam atau NII adalah gerakan Islam organik yang asli Indonesia yang bukan berasal dari gerakan-gerakan transnasional lainnya dari luar Indonesia. Kalangan Darul Islam melakukan agensi kekuasaan atau agensi resistensi (agency of power) untuk merebut klaim historiografis bahwa NII bukanlah negara baru; merupakan kelanjutan dari Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.

Darul Islam berusaha memberi bentuk baru bagi historiografi Indonesia dengan keyakinan bahwa Negara Islam Indonesia adalah kelanjutan (continuation) dari Republik Indonesia 1945 dan sejarah tentang negara ini adalah bagian integral dari sejarah Indonesia. Pencarian (quest) mereka terhadap arsip NII di berbagai museum dan lembaga arsip demikian bergairah dan mereka menolak setiap klaim ahistoris bahwa mereka memberontak.

Dalam konteks Darul Islam atau NII, agency of power dapat dilihat dari cara mereka membaca sejarah RI pada masa lalu, yang dicoba pertahankan oleh orang-orang Darul Islam di Jawa Barat dan melaporkannya secara berkali-kali ke Yogyakarta sebagai pusat Republik. Namun, kemudian mereka tidak sudi menerima tuduhan sebagai pemberontak yang merupakan bentuk dominasi negara terhadap mereka.

Mereka melawan dominasi ini dengan mengklaim bahwa mereka adalah pejuang Islam yang berjuang untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia. Mereka juga melakukan berbagai aksi, seperti pembentukan jaringan rahasia, dan propaganda ideologis untuk menantang otoritas negara dan menyebarkan visi mereka tentang Islam.

Dengan demikian, agency of power Darul Islam atau NII menunjukkan bahwa mereka bukanlah korban pasif dari dominasi negara, melainkan subjek aktif yang berusaha mengubah kondisi sosial sesuai dengan kepentingan dan niat mereka.

 

 

Referensi

Afschrift Proces Verbaal Raden Didi bin Raden Oehap alias Tatang Bahtiar, Collectie 527 J.B. de Wilde, Blok C24488, Toegang 2.21.205.72, Inventarisnummer 78, Depot 0203B 9/07.6 t/m 9/07.7, Aanvraagbriefje National Archief, Den Haag, Belanda.

Bangstad, Sindre, “Anthropological Publics, Public Anthropology: an-Introduction”, Anthropology of Our Times: an-Edited Anthology in Public Anthropology (2017): 1-27.

Bangstad, Sindre, “Doing fieldwork among people we don't (necessarily) like”, Anthropology News 58.4 (2017): 238-243.

Gramsci, Antonio, “Classes;(ii) The Concept of “Ideology”;(iii) Cultural Themes: Ideological Material”, Media and Cultural Studies (2009): 13.

Ortner, Sherry B.  "Narrativity in history, culture, and lives”, (1991).

Rutherford, Danilyn. Laughing at-Leviathan. Chicago: University of Chicago Press, 2012.

Wawancara dengan Faisal Utomo, Depok, 17 Juni 2019.


[1] Wawancara dengan Faisal Utomo, Depok, 17 Juni 2019.

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler