Sejalan dengan PBNU, LBM NU DIY Bolehkan Salam Lintas Agama

Ulama berbeda pendapat soal salam lintas agama

Edi Yusuf/Republika
Ilustrasi pertemuan lintas agama. Ulama berbeda pendapat soal salam lintas agama
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengucapan salam dari berbagai agama menuai perbincangan hangat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik sebagian umat Islam, terutama para pejabat negara, yang mengucapkan salam berbagai agama dalam acara-acara resmi kenegaraan yang dihadiri berbagai unsur tamu dari berbagai agama.

Baca Juga

Berbeda dengan MUI yang memutuskan keharamannya, pada kegiatan Ijtima Ulama se-Indonesia VIII pada tanggal 30 Mei 2024 di Bangka Belitung, LBM PWNU DIY justru menganggap salam berbagai agama dibolehkan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Hal itu diputuskan dalam Majelis Bahtsul Masail yang diselenggarakan di PP Ar-Rohmah, Kleben, Sleman, Yogyakarta pada hari Jumat (21/6/2024).

Menurut Ketua Lembaga Bahtsul Masail DIY KH Anis Mashduqi, pihaknya memutuskan bahwa salam berbagai agama yang diucapkan dalam forum-forum resmi oleh para pejabat negara dalam rangka menghargai eksistensi agama lain hukumnya dibolehkan.

Lebih lagi, praktik ini dalam rangka menjaga hubungan baik dan menunjukkan Islam sebagai agama yang terbuka dan toleran (al-muasyarah al-jamilah fid dunya bi hasbi al-dzahir). Salam antaragama bagian dari keramahtamahan (mujamalah), bukan suatu bentuk tasyabbuh apalagi meyakini kebenaran konsepsi ketuhanan agama lain.

Dia menjelaskan dalam kitab Bariqoh Mahmudiyyah disebutkan bahwa memuliakan apa yang dimuliakan agama lain (ta'dzim al-mu'addzam) adalah kebaikan, selama terdapat kemaslahatan.

Selanjutnya...

 

“Hal itu untuk menunjukkan keramahan dan kesopanan agama ini (ima'an li thariq al-rifqi wa al-mudarah). Karena itu juga mengapa kita dibolehkan kita mengucapkan salam kepada pemeluk agama lain,” kata dia. 

Majelis ini juga menanggap ucapan salam merupakan bagian dari bab muamalat, yaitu bagaimana kita mengatur dan menyikapi hubungan antarmanusia.

Dia tidak termasuk dalam bab ibadah sebagai mana sholat, puasa, zakat, haji, dan lainnya.  Meski termasuk bab muamalah bukan berarti salam tidak memiliki nilai ibadah. Selama dilakukan dengan benar, sesuai dengan hukum syariat, tentu dia juga bernilai ibadah.

Sementara itu, Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla menegaskan salam lintas agama yang diucapkan saat seseorang berpidato adalah wujud dari upaya memupuk persaudaraan kebangsaan.

"Salah satu cara untuk memupuk persaudaraan kebangsaan dunia kebijakan yang ditempuh oleh negara adalah mengadakan salam lintas agama," katanya beberapa waktu lalu.

Gus Ulil, sapaan akrabnya, juga menekankan pertimbangan mengenai bentuk negara, di mana jika seseorang sudah menerima bentuk negara, maka harus juga menerima konsekuensinya dalam hidup bernegara.

Selanjutnya...

 

Menurutnya, sebagian besar para ulama IsIam dan para tokoh di dunia IsIam juga menerima berbagai konsekuensi dari diterimanya bentuk negara bangsa (nation state).

"Konsekuensinya antara lain yang paling penting adalah menyangkut kedudukan hukum fikih bukan syariat, bukan kedudukan hukum fikih di dalam negara bangsa," tuturnya.

Kendati demikian, perbedaan pendapat mengenai salam lintas agama ini pun dianggap sebagai hal yang wajar. "Perbedaan antara MUI dan Kementerian Agama sebaiknya dianggap biasa saja, karena MUI dan Kementerian Agama itu hidup dalam satu ruang yaitu pemerintah," kata Rais Syuriyah PBNU Abdul Ghofur Maimoen.

Gus Ghofur, sapaan akrabnya mengatakan persoalan ayat-ayat Alquran yang maknanya belum jelas dalam fikih harus dimaknai oleh semua pihak dengan menahan diri, agar tidak saling mengkafirkan dalam menyikapi perbedaan. Dia menilai persoalan mengenai fikih adalah persoalan yang rumit sehingga kerap menimbulkan perbedaan pendapat. 

"Kalimat Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh itu adalah doa, doa yang dalam keputusan MUI itu dianggap ibadah, doa itu ibadah, tapi fikihnya sendiri itu ada persoalan yang rumit," jelasnya.

Menurut Gus Ghofur, masyarakat Islam di Indonesia bisa mengambil contoh seperti perbedaan fatwa ulama Arab Saudi dan Al-Azhar Mesir, di mana pada beberapa kasus Al-Azhar lebih longgar dalam memberikan fatwa dibandingkan pemerintah Arab Saudi.

 
Berita Terpopuler