Memajang Foto atau Gambar di Rumah Dilarang dan Malaikat Enggan Masuk?

Tidak ada larangan memasang foto di rumah selama tak langgar syariat

Unsplash
Ilustrasi foto di dinding rumah. Tidak ada larangan memasang foto di rumah selama tak langgar syariat
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketika berkunjung ke sebuah rumah, tidak sedikit kita akan menemukan foto keluarga atau pemandangan yang digantung di ruang keluarga. Hal-hal ini lumrah, sebagai bentuk apresiasi atau mengenang momen dalam foto tersebut.

Baca Juga

Namun, apakah boleh memajang atau menggantung sebuah gambar di rumah? Di sisi lain, HR Baihaqi menyebut malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya. Rasulullah SAW bersabda: 

  إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ Artinya: “Sesungguhnya Malaikat tidak masuk pada rumah yang terdapat gambar di dalamnya” (HR Baihaqi).

Dilansir di About Islam, Kamis (13/7/2023), Dosen sekaligus cendekiawan Muslim di Institut Islam Toronto Sheikh Ahmad Kutty menyebut, tidak ada yang melarang memasang gambar orang di dinding. Hal ini berlaku selama isi gambar itu tidak memuliakan seseorang, atau memperlihatkan aurat atau kemungkaran.

"Tidak haram menggantungkan foto pemain bola basket atau bola voli, selama tidak digantung di dinding yang menghadap langsung ke jamaah yang sedang sholat. Jika digantung ke arah sholat, fotonya akan mengalihkan perhatian saat beribadah," ujar dia. 

Selain itu, keberadaan gambar atau foto di ruang sholat secara tidak sengaja memberikan kesan yang salah, seperti sedang menyembah gambar tersebut. 

Dia pun mengingatkan umat Islam untuk melaksanakan praktik keagamaan yang berbeda, dari mereka yang menyekutukan Allah SWT dalam ibadahnya.

Sebagai tambahan informasi, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Jember Ustadz M Ali Zainal Abidin menyebut, jika berdasarkan HR Baihaqi di atas memang bisa dipahami seolah-olah menyimpan gambar atau foto di rumah merupakan larangan dan tidak dapat ditoleransi. Namun, ada hadits lain yang mengindikasikan toleransi atas perkara serupa.

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ فَوَجَدَ عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ فَأَمَرَ أَبُو طَلْحَةةَ إِنْسَانًا يَنْزِعُ نَمَطًا تَحْتَهُ ، فَقَالَ لَهُ سَهْلٌ : لِمَ تَنْزِعُهُ ؟ قَالَ : لأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ ، وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ ، قَالَ : أَلَمْ  يَقُلْ إِلاَّ مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ ، قَالَ : بَلَى ، وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي   

Diriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah, dia berkunjung pada Abu Thalhah al-Anshari untuk menjenguknya, yang mana di sana terdapat Sahl bin Hunaif. Abu Thalhah lalu memerintahkan seseorang untuk melepaskan tikar yang ada di bawahnya.

Melihat hal tersebut Sahl bertanya, “Mengapa engkau melepasnya?” Abu Thalhah menjawab, "Sebab pada tikar itu terdapat gambar, dan Rasulullah telah mengatakan tentang larangan menyimpan gambar, seperti halnya yang engkau tahu."

“Bukankah Rasulullah mengatakan: ‘Kecuali gambar yang ada di pakaian?’” sanggah Sahl. “Iya memang, tapi melepaskan (tikar) lebih menenteramkan hatiku” ujar Abu Thalhah.” (HR An-Nasa’i).

Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun

Dari dua hadits di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kategori lukisan atau gambar yang dilarang oleh syara’ untuk membuat ataupun menyimpannya.

Meski begitu, para ulama sepakat atas keharaman suatu gambar ketika memenuhi lima kategori, yang dijelaskan Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani dalam Majmu’ fatawa wa ar-Rasa’il. Kategori pertama adalah manusia atau hewan.

Kedua, gambar dalam bentuk...

Kedua, gambar dalam bentuk yang sempurna, tidak terdapat sesuatu yang mencegah hidupnya gambar tersebut, seperti kepala yang terbelah, separuh badan, perut, dada, terbelahnya perut, terpisahnya bagian tubuh. Ketiga, gambar berada di tempat yang dimuliakan, bukan berada di tempat yang biasa diinjak dan direndahkan.

Keempat, terdapat bayangan dari gambar tersebut dalam pandangan mata. Kelima, gambar bukan untuk anak-anak kecil dari golongan wanita. 

"Jika salah satu dari lima hal di atas tidak terpenuhi, maka gambar demikian merupakan gambar yang masih diperdebatkan di antara ulama. Meninggalkan (menyimpan gambar demikian) merupakan perbuatan yang lebih wira’i dan merupakan langkah hati-hati dalam beragama,” tulis beliau.

Dalam kitab Rawai’ al-Bayan, mengutip pandangan Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani, disebutkan, "Imam Nawawi menjelaskan bahwa boleh menggunakan gambar hanya ketika tidak memiliki bayangan, selain itu gambar tersebut juga biasa diinjak atau direndahkan penggunaannya, seperti bantal."

"Dapat disimpulkan, keharaman menyimpan gambar yang disepakati oleh para ulama hanya berlaku pada gambar atau lukisan makhluk hidup yang memiliki bentuk (jism) atau memiliki bayangan dan diagungkan oleh pemiliknya, seperti patung misalnya," ujar Ustadz M Ali Zainal Abidin dalam artikel di laman resmi PBNU. 

Selain gambar dengan kriteria tersebut, dia menyebut ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya. Sebagian ulama menghalalkan dan sebagian ulama yang lain mengharamkannya. 

Berbeda halnya ketika gambar atau lukisan bukan bergambar makhluk hidup, tapi berupa pemandangan alam, lukisan abstrak dan berbagai lukisan tak hidup lainnya, maka para ulama memperbolehkan lukisan tersebut. 

 

Sumber: aboutislam   

 
Berita Terpopuler