Kebiasaan Belanja Konsumen Muslim Berubah, Kini Utamakan Nilai Keislaman

Industri halal di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dalam satu dekade lebih.

Edi Yusuf/Republika
Pengunjung membeli baju Muslim di pusat perbelanjaan (ilustrasi). Ada beberapa hal yang dipertimbangkan konsumen Muslim ketika berbelanja.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri halal di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dalam satu dekade lebih. Hal itu tak lepas dari terbangunnya kesadaran  konsumen Muslim, utamanya kalangan kelas menengah untuk membeli produk dan jasa yang patuh pada nilai-nilai keislaman.

Baca Juga

Hal ini diutarakan oleh Managing Partner Inventure, Yuswohady. Yuswo mengatakan, setelah terjadinya revolusi hijab di tahun 2008-2009, nilai spiritual menjadi aspek yang sangat dipertimbangkan konsumen Muslim ketika hendak membeli produk atau jasa.

“Tadinya kan hanya ada dua nilai yang biasa dipertimbangkan konsumen yaitu fungsi dan emosional, tapi sekarang muncul spiritual value. Orang Muslim itu sekarang mikirnya 'produk itu taat gak nih ke ajaran Islam, preferensinya ke Islam bukan?'. Begitu,” kata Yuswohady dalam acara Indonesia Womenpreneur Conference di Plaza Indonesia, Rabu (12/7/2023).

Dalam riset yang dilakukan bersama tim Inventure, Yuswohady menemukan bahwa setiap konsumen Muslim di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-beda. Ia kemudian membaginya ke dalam empat segmen yaitu konsumen rationalist, universalist, apathist, dan conformist.

Rationalist diartikan sebagai kelompok konsumen Muslim yang melihat produk atau jasa dari keuntungan apa yang akan didapat. Keuntungan ini umumnya bersifat duniawi. Dan menurut riset Yuswohady, hingga tahun 2022 kelompok konsumen muslim rationalist masih menjadi kelompok terbesar.

 

 Konsumen Muslim pentingkan kualitas dan nilai Islami...lanjutkan membaca>>

Adapun universalist merupakan kelompok konsumen Muslim yang mementingkan kualitas dan nilai Islami ketika hendak membeli suatu produk atau jasa. Kelompok ini tidak hanya menilai produk dari kemasan luar semisal simbol keislaman yang digunakan dan semacamnya, namun melihat bagaimana nilai yang diusung produk tidak melenceng dari ajaran Islam.

Universalist ini misalnya lebih milih Body Shop daripada Wardah. Meskipun Body Shop enggak ada embel-embel Islam atau pakai bahasa Arab, tapi nilai yang diusung Body Shop seperti tidak uji coba ke hewan itu kan sangat Islami. Jadi nilai Islami-nya itu universal,” kata Yuswohady.

Dia pun memprediksi dalam beberapa tahun ke depan, kelompok universalist ini akan mendominasi pasar Muslim di Indonesia. Hal itu dilihat dari pertumbuhannya yang mengalami kenaikan signifikan setiap tahun.

Selanjutnya kelompok apathist, di mana mereka cenderung lebih mengedepankan harga sebagai pertimbangan utama saat membeli produk atau jasa. Jika harga sesuai dengan dompet, maka konsumen muslim apathist akan membelinya.

Terakhir adalah kelompok conformist. Menurut Yuswohady, kelompok ini merupakan konsumen Muslim yang melihat produk pada kepatuhannya terhadap ajaran agama Islam. Kelompok itu juga biasanya tidak terlalu melihat kualitas atau harga dari suatu produk atau jasa.

“Pokoknya harus islam. Intinya begitu. Dan biasanya nih, untuk promosiin-nya lewat ustaz aja pasti mereka mau beli. Influencer yang paling berpengaruh bagi mereka itu ya ustaz, tokoh agama,” kata Yuswohady.

Yuswohady mengatakan, terbentuknya nilai spiritual itu pada akhirnya mendorong pertumbuhan industri halal dan Islami di Indonesia. “Saya yakin ke depannya akan terus meningkat, karena masyarakat Muslim Indonesia enggak cuma ingin hubungan vertikal saja yang baik, namun juga horizontal, jadi di semua lini harus mengarah pada Islam,” kata dia.

 
Berita Terpopuler