Operasi Ganti Kelamin, Remaja Lugu Transgender Dinilai tak Ubahnya Korban Mutilasi

Bedah rekonstruktif untuk kembalikan alat vital pria sulit dilakukan.

MgRol112
Simbol LGBT (ilustrasi). Sejumlah remaja transgender menyesal melakukan operasi ganti kelamin.
Rep: Umi Nur Fadhilah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun belakangan, jumlah transgender usia belia terus meningkat di Amerika Serikat. Seorang remaja bernama Chloe Cole pun menyatakan penyesalannya karena termakan kampanye masif lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT).

Cole mulai menggunakan penghambat pubertas dan suntikan testosteron pada usia 13 tahun. Dia menjalani mastektomi ganda pada usia 15 tahun kemudian memilih bertransisi dari wanita ke pria setahun kemudian.

Keputusan yang diambil di usia semuda itu rupanya mendatangkan penyesalan tak berujung bagi Cole. Dia mengaku merasa hancur karena kehilangan payudaranya.

"Saya bahkan tidak tahu apakah saya bisa mengandung anak secara alami karena memakai penghambat pubertas dan testosteron pada usia 13 tahun. Sebagai seorang anak, saya dulu membuat keputusan yang seharusnya diambil orang dewasa," kata Cole, dilansir Fox News Digital, Ahad (18/6/2023).

Baca Juga

Cole menggugat para dokter yang melakukan operasi penggantian kelamin karena dia ingin mengakhiri praktik tersebut. Dia ingin meminta pertanggungjawaban "orang dewasa" yang membuatnya dalam bahaya. Cole menyebut apa yang terjadi padanya itu mengerikan dan sangat buruk.

"Ini terjadi pada anak-anak di seluruh AS, di seluruh penjuru Barat, dan itu menyebar ke seluruh dunia," ujar dia.

Cole diwakili oleh organisasi nirlaba Center for American Liberty. Situs web libertycenter.org memiliki surat yang memerinci semua gejala medis yang dimiliki Cole dan malapraktik medis yang dialaminya.

"Sejujurnya, (Yang dialami Cole ini) mutilasi yang dilakukan oleh para profesional medis ini," kata pengacara Harmeet Dhillon.

Pada 2022, dua pasien transgender lain mengungkapkan penyesalan mereka setelah menjalani operasi ganti kelamin. Mereka berbicara tentang dampak buruk pada kesehatan mental dan fisiknya.

"Ini tidak dapat dibalikkan, eksperimen telah berakhir bagi saya, benar-benar tidak ada jalan untuk kembali," kata Ritchie, yang menjelaskan detail sifat operasi yang diperlukan untuk menghilangkan anatomi prianya, dilansir Daily Mail.

Sementara itu, Amber, yang menjalani mastektomi dan menggunakan testosteron untuk beralih dari wanita ke pria, menggambarkan rasa sakit dan kesulitan kesehatan yang dia alami karena terburu-buru untuk menjalani operasi. Dia berharap dia diberi terapi sebagai gantinya.

Ritchie menggambarkan operasi yang dia jalani untuk transisi dari laki-laki menjadi perempuan sebagai hal yang sangat brutal. Salah satu prosedur yang dijalani adalah pengaturan ulang uretra, yang menyebabkan komplikasi sangat umum disebut penyempitan uretra.

"Saat itulah Anda tidak bisa buang air kecil dengan benar. Itu akan muncul perlahan, menyakitkan, atau dalam beberapa kasus tidak sama sekali. Beberapa orang menggunakan kateter selama sisa hidup. Beberapa mengalami komplikasi yang sangat mengerikan," ujar Ritchie.

Pada 2017, ahli bedah rekonstruktif genital terkemuka dunia, Profesor Miroslav Djordjevic, mengungkapkan dia menerima seorang pasien transgender di kliniknya di Beograd, Serbia, sekitar lima tahun lalu. Pasien itu telah menghilangkan alat kelamin pria di klinik berbeda.

Itu adalah pertama kalinya Djordjevic dihubungi untuk melakukan operasi pemulihan alat vital. Selama enam bulan berikutnya, enam orang lainnya juga menghubunginya ingin mengembalikan alat vital bawaan lahir mereka.

Mereka datang dari negara-negara di seluruh dunia Barat, dengan alasan sama, yaitu rasa penyesalan yang mendalam. Dilansir SMH, Djordjevic mengatakan memulihkan alat kelamin pria seperti sedia kala adalah prosedur yang rumit dan membutuhkan beberapa operasi selama setahun untuk menyelesaikannya sepenuhnya.

Prof Djordjevic, yang memiliki pengalaman 22 tahun dalam bedah rekonstruktif genital, beroperasi di bawah pedoman yang ketat. Sebelum operasi, pasien harus menjalani evaluasi psikiatri minimal antara satu hingga dua tahun diikuti dengan evaluasi hormonal dan terapi.

Prof Djordjevic juga meminta dua surat rekomendasi profesional untuk setiap orang, dan berusaha untuk tetap terhubung selama mungkin setelah operasi. Saat ini, dia masih berbicara dengan 80 persen mantan pasiennya.

Pada 2017, Djordjevic mengatakan semua pasien pembalikan adalah wanita transgender berusia di atas 30 tahun, yang ingin mengembalikan alat kelamin pria mereka. Selama dua dekade terakhir, usia rata-rata pasiennya telah berkurang lebih dari setengahnya dari 45 menjadi 21 tahun tahun.

Sementara pedoman World Professional Association for Transgender Health saat ini menyatakan tidak seorang pun di bawah usia 18 tahun yang boleh menjalani operasi, Djordjevic khawatir batas usia ini dapat segera dikurangi untuk memasukkan anak di bawah umur. Jika itu terjadi, dia akan menolak untuk mematuhi aturan.

"Ini lebih dari sekedar pembedahan, ini adalah masalah hak asasi manusia. Saya tidak dapat menerima mereka sebagai pasien karena saya takut apa yang akan terjadi pada pikiran mereka," ujar Prof Djordjevic.

Pada 2017, rujukan ke klinik identitas gender dewasa dan anak di Inggris telah meningkat secara dramatis selama 10 tahun terakhir. Pada April, Tavistock and Portman NHS Foundation Trust, satu-satunya klinik untuk remaja di Inggris, melaporkan 2.016 rujukan ke layanan pengembangan identitas gendernya, meningkat 42 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yang dengan sendirinya menandai peningkatan 104 persen pada tahun sebelum itu.

 

 
Berita Terpopuler