Hukuman Mati Hanya Didominasi Terpidana Narkotika, Lalu Koruptor?

Di Indonesia, mulai dari media cetak hingga media online tidak terlepas dengan pemberitaan terkait isu korupsi. Isu korupsi tersebut ramai tidak hanya dalam berita skala nasional, tetapi juga dalam pemberitaan lingkup internasional. Hal ini menunjukk

retizen /Fauzi Fahreza
.
Rep: Fauzi Fahreza Red: Retizen

Pidana mati adalah dibuat oleh pemerintah sebagai alat represif dan mempunyai sifat sebagai pengendalian sosial dalam bermasyarakat dan tindakan yang kerap diterapkan pemerintah dalam kontrol social. Penerapan hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang terberat, karena dilakukan dengan cara penghilangan nyawa bagi seorang pelaku tindak pidana dan tidak akan bisa mempertahankan hidupnya sebab dari penjatuhan hukuman Mati yang sudah jatuhkan kepadanya. Penerapan didalam pemberlakuan hukuman mati yang dilakukan di Indonesia merupakan hukuman yang masih menuai pro dan kontra,disisi lain tidak sejalan dengan apa yang dinamakan HAM akan tetapi juga agar dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku Pidana.

Hukuman mati telah diterapkan di Indonesia dan telah diatur didalam Kitab Undang– Undang Hukum Pidana penerapan pada Pasal 10, dan juga memuat dua macam hukuman yaitu hukuman yang bersifat pokok dan juga hukuman bersifat tambahan. Pemberlakuan hukuman mati juga diatur penerapannya di luar Kuhp yang di sebut sebagai pidana khusus salah satu contohnya adalah Perbuatan tindak pidana narkotika dan psikotropika yang meliputi mengedarkan memperjual belikan dan menyalahgunakan dan telah diatur didalam UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997.

Dalam hal berbicara tentang Indonesia darurat narkoba dan dieksekusilah beberapa pelaku narkoba dengan kategori pengedar dengan pidana mati sebagai alat represif negara agar tidak rusaknya para penerus bangsa seperti contoh kasus pengedar narkoba Ferdi Budiman yang telah di eksekusi mati di nusa kambangan, hal ini adalah bukti bahwa negara membangun alat represif bagi pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika berjalan sesuai dengan rutenya, akan tetapi negara ini sebenarnya tidak hanya darurat narkoba, juga darurat korupsi. Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime dan sudah seharusnya pemberantasan ‘ extra’ tindak pidana korupsi juga harus dilakukan. Korupsi yang sudah mewabah dan menjadi penyakit yang sulit di sembuhkan di berbagai bidang dan lapisan. Dari generasi kegenerasi selanjutnya, dari rezim ke rezim korupsi sulit diberantas bahkan semakin mengakar dan dilakukan secara massif. Lembaga adhock yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk dan terlahir dari semangat negara bebas dari cekikan ap aitu yang dinamakan korupsi, namun negara ini tetap belum juga bisa lepas dari korupsi. dari strategi pemberantasan korupsi melalui strategi preventif (pencegahan), strategis detektif (pengusutan) dan strategi refresif (penjatuhan pidana), maka penjatuhan pidana mati bagi koruptor menjadi satu pilihan dari beberapa pilihan dalam pemberantasan korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi memberikan legalitas bahwa para koruptor dapat dihukum mati jika berdasarkan pasal 2 ayat (2), dimana pidana mati dapat dijatuhkan kepada koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, yaitu : (1) dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku (2) pada waktu terjadinya bencana alam nasional (3) sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau (4) pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Meskipun secara legalitas penerapan pidana mati sudah diatur sejak tahun 1999, namun dalam implementasinya sendiri sampai sekarang belum pernah ada koruptor yang dipidana mati. Fakta dari ancaman pidana mati yang tercantum dalam UU Tipikor sampai saat ini belum pernah diterapkan terhadap koruptor disebabkan karena masih terdapat problematika yuridis. problematika yuridis ini menjadi muara dan persoalan apakah penjatuhan pidana mati bagi koruptor di Indonesia layak untuk diterapkan?

Karena faktanya aturan hukum yang telah dirumuskan tidak berdaya dalam menanggulangi tindak pidana korupsi dengan adanya kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang merekonstruksi dijatuhkannya pidana mati bagi koruptor. Selain itu, penafsiran kata “dapat” bersifat subjektif ditambah lagi dengan perangkat hukum yang lemah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi. Cerita tentang penjatuhan pidana mati bagi koruptor sering digaungkan akan tetapi tetap saja selalu ada pihak yang kontra dengan arah kebijakan sanksi pidana mati, karena dinilai telah melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga akan selalu ada polemik menganai kebijakan hukuman mati bagi koruptor. Manusia sendiri memiliki hak mutlak dan melekat pada dirinya sejak ia lahir dinamakan Hak Asaasi Manusia. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan berpikir dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hal ini, dapat dikatakan bahwa hak hidup adalah hak dasar yang harus dilindungi oleh negara, dengan maksud penegakan HAM tidak bersifat mutlak tanpa adanya limitasi. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 28A dan 28I perubahan kedua UUD 1945 yang pada pokoknya menentukan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya, ternyata dibatasi dengan ketentuan pasal 28J perubahan kedua UUD 1945 yang menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU dengan dimaksudkan semata-mata untuk menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Prinsipnya pidana mati sebenarnya tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan Hak Asasi Manusia. Hak asasi dalam pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945 yang diberikan konstitusi kepada warga negara, dibatasi oleh pasal selanjutnya yaitu pasal 28J yang menyatakan bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pidana mati tidak boleh diperhadapkan secara diametral dengan HAM karena jika pertentangkan dengan HAM bukan hanya pidana mati tetapi seluruh sanksi dalam hukum pidana juga bertentangan dengan HAM. Seharusnya pidana mati di Indonesia tidak lagi harus diperdebatkan apakah hukuman mati bertentangan dengan HAM atau tidak karena di Indonesia di tidak menganut hak absolut atau hak kemutlakan yang berbasis pada teori hak universal, juga secara kultur hukuman mati juga sudah ada dalam praktik kehidupan masyarakat Indonesia

 
Berita Terpopuler