Hukum Merokok Menurut Muhammadiyah, NU, dan MUI

Hukum merokok dalam agama Islam memiliki pendapat yang beragam.

picpedia.org
Rokok (ilustrasi). Hukum Merokok Menurut Muhammadiyah, NU, dan MUI
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum merokok dalam agama Islam memiliki pendapat yang beragam di kalangan ulama, ada yang membolehkan (mubah), menghukumi makruh, dan ada yang mengharamkan. Namun, mayoritas ulama sepakat merokok memiliki dampak negatif terhadap kesehatan dan dapat membahayakan individu dan orang lain di sekitarnya.

Seperti yang kita ketahui, sampai saat ini merokok masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama. Kontroversi seputar penetapan hukum merokok tak bisa dihindarkan, termasuk dikalangan Ulama NU dan Muhamamdiyah.

Baca Juga

Berikut ini adalah beberapa pandangan tentang hukum merokok menurut Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hukum Merokok Menurut Muhammadiyah, NU, dan MUI

1. Muhammadiyah

Dalam buku Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhammadiyah karya M Yusuf Amin Nugroho dijelaskan bahwa pada 2005, Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih dan Tajdid-nya sempat menerbitkan fatwa hukum merokok, yang intinya adalah merokok hukumnya mubah.

Namun, fatwa tersebut kemudian direvisi atau dianggap tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya fatwa hasil dari Kesepakatan dalam Halaqah Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Maret 2010 M yang isinya mengatakan merokok adalah haram.

Dalam amar fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah disebutkan bahwa: Wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang merupakan hak setiap orang dan merupakan bagian dari tujuan syariah (maqashid asy-syariah).

Adapun dalil atau dasar diharamkannya rokok di antaranya bahwa merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khaba’its yang dilarang dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran,

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ  ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS al-A‘raf: 157).

2. Menurut NU

NU melalui Bahstul Masail-nya menyatakan hukum merokok itu relatif, bisa mubah, makruh, dan bisa haram, tergantung dengan apa yang diakibatkannya, mengingat hukum itu berporos pada ‘illat (sebab) yang mendasarinya.

Membaca artikel yang ditulis KH Arwani Faishal di situs resmi NU berjudul Bahstul Masail tentang Hukum Merokok, tidak didapatkan keterangan yang secara tegas mengatakan merokok hukumnya ini atau itu; mubah, haram, atau makruh. KH Arwani, wakil ketua lembaga Bahstuhl Masail ini mencoba memandang dari bebagai perspektif tentang fatwa-fatwa seputar hukum rokok, tidak secara tegas memilih pendapat mana yang paling kuat.

KH Arwani Faishal selanjutnya membagi pendapat seputar rokok menjadi tiga macam. Pertama, hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua, hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga, hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat.

Tiga macam hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang ‘Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin.

“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudharat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan tepercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”

3. Menurut MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang rokok dalam sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Kota Padang Panjang, Sumatra Barat, pada Ahad (25/1/2009) silam. Ijtima tersebut dihadiri sedikitnya sekitar 700 ulama se-Indonesia.

Keputusan yang ditetapkan dalam sidang pleno tersebut menyatakan bahwa merokok hukumnya "dilarang" antara haram dan makruh. Kendati demikian, sidang yang dipimpin oleh Ketua MUI KH Maruf Amin kala itu juga memutuskan bahwa merokok haram hukumnya di tempat umum, untuk ibu-ibu hamil, dan anak-anak.

 
Berita Terpopuler