FSGI: 202 Anak Alami Kekerasaan Seksual di Satuan Pendidikan dalam Lima Bulan Terakhir

Sebanyak 50 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek.

bhasafm.com
Pencabulan (ilustrasi)
Rep: Fauziah Mursid Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebut setiap pekan terjadi satu kasus kekerasan seksual (KS) di satuan pendidikan. Hal ini didasarkan pendataan kasus kekerasan seksual yang dilakukan FSGI di wilayah satuan pendidikan dalam kurun waktu lima bulan terakhir sejak Januari sampai dengan Mei 2023.

"Data menunjukkan bahwa sejak lima bulan di tahun 2023 sudah terjadi 22 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 anak atau peserta didik," ujar Ketua Dewan pakar FSGI Retno Listyarti dalam keterangannya, Ahad (4/6/2023).

Retno menjabarkan, melalui metode pengumpulan data kasus yang diberitakan media massa dan telah dilaporkan ke kepolisian, didapati dari 22 kasus yang terjadi di satuan pendidikan sepanjang Januari-Mei 2023, sebanyak 50 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek. Sedangkan dari 11 kasus tersebut ada satu kasus terjadi di luar sekolah.

Namun pihak sekolah melakukan dugaan kekerasan dengan “memaksa orangtua membuat surat pengunduran diri” karena dianggap memalukan sekolah. Padahal anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Banyumas ini, adalah siswa dari keluarga tidak mampu dan merupakan korban perkosaan delapan orang tetangganya.

Baca Juga

Sedangkan delapan kasus atau 36,36 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Sebanyak tiga kasus atau 13,63 persen terjadi di lembaga pendidikan informal, yaitu tempat pengajian di lingkungan perumahan.

Retno mencontohkan, korban guru ngaji di kabupaten Batang, Jawa Tengah mencapai 21 korban; di Sleman mencapai 15 korban; dan di Garut mencapai 17 korban dengan usia korban berkisar 5 sampai 13 tahun.

"Perlu dipikirkan mekanisme pengawasan lembaga pendidikan informal seperti tempat mengaji ini agar anak-anak tidak lagi menjadi korban kekerasan seksual," ujar Retno.

Retno melanjutkan, pelaku kekerasan seksual juga dilakukan oleh rang-orang yang seharusnya dihormati dan melindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan. Para pelaku terdiri dari guru sebanyak 31,8 persen, pemilik dan atau pemimpin Pondok Pesantren sebanyak 18,20 persen, Kepala Sekolah sebanyak 13,63 persen; guru ngaji (satuan pendidikan informal) sebanyak 13,63 persen, [engasuh asrama/pondok sebanyak 4,5 persen, Kepala Madrasah sebanyak 4,5 persen; penjaga sekolah 4,5 persen; dan lainnya 9 persen.

Adapun kasus kekerasan seksual ini tersebar di delapan provinsi dan 18 kabupaten ini dilakukan dengan berbagai modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya. Antara lain, dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik ponpes, diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku, pelaku berdalih menghukum korban karena melakukan pelanggaran saat proses pembelajaran.

Selain itu juga pelaku berdalih bahwa anak-anak korban sudah biasa memeluk dan menciumi sebagai ganti salim (jabat tangan) dan lainnya. "FSGI mendukung KemendikbudRistek melakukan perubahan terhadap Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan Pendidikan, khususnya meruinci apa saja perilaku di sekolah yang termasuk kekerasan seksual," ujarnya.

Selain itu, FSGI mendorong Kementerian PPPA untuk terus mensosialisasi juga hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Selain itu FSGI mendorong pembentukan sekolah-sekolah ramah anak.

FSGI juga mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag. Ini mengingat kasus kasus kekerasan seksualnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek.

"FSGI mendorong kerja sama dengan Dinas PPPA dan P2TP2A kabupaten/kota/provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD)," ujarnya.

FSGI juga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan Kerjasama dengan Perguruan-perguruan Tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual. Ini mengingat proses pemilihan psikologi anak korban kekerasan seksual umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup panjang dan harus tuntas.

 
Berita Terpopuler