Kekerasan Seksual di Parimo, KemenPPPA: Hukumannya Sangat Berat, Bisa Ditambah Kebiri

Kekerasan seksual terhadap remaja putri 15 tahun pertama kali dilakukan oknum guru.

Foto : MgRol_94
Ilustrasi Pencabulan
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, meminta publik untuk menunggu hasil penyidikan menyoal eksploitasi atau dugaan memperjualbelikan korban dalam kasus kekerasan seksual di Parigi Moutong (Parimo). Kasus ini menimpa anak berusia 15 tahun oleh 11 orang terduga pelaku.

Nahar meyakinkan hukuman terhadap para pelaku bisa sangat berat. Pasalnya, selain pemberatan berdasar Pasal 76D UU 35 tahun 2014 jo Pasal 81 UU 17 tahun 2016, pelaku jika terbukti, juga dikenakan denda dan pidana tambahan hingga tindakan kebiri.

Baca Juga

“Hukumannya akan sangat berat, pelaku juga diwajibkan memenuhi hak korban seperti membayar ganti rugi (restitusi) dan kompensasi,” tegas Nahar kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (1/6/2023).

Ditanya kembali indikasi korban diperjualbelikan, dia tak memerincinya lebih jauh. Namun demikian, pihaknya memastikan hal itu akan terungkap dari hasil penyidikan.

Ditanya kronologi kejadian menurut KemenPPPA, Nahar menjelaskan dilakukan sejak April 2022. Awalnya, kata dia, dilakukan pertama kali oleh oknum guru dan dilanjutkan para pelaku lain di tempat yang berbeda.

“Tahun 2023 korban mengalami kesakitan dan menginfokan ke orang tua, lalu orang tua lapor ke polisi, dan kemudian korban dirawat hingga kini di RS,” ujarnya.

Terpisah, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyoroti permintaan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) soal kekerasan seksual anak usia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) tidak lagi disebut pemerkosaan atau rudapaksa melainkan persetubuhan. Menurut dia, pernyataan polisi itu sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia.

“Dan pernyataan ini menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif, dan tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual, yang telah diperbarui,” kata Maidina.

Menurut dia, dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No. 23 tahun 2002, tidak menjelaskan narasi polisi bahwa iming-iming dalam kekerasan seksual itu menurunkannya menjadi ‘persetubuhan’. Sebaliknya, kata dia, sekalipun ada iming-iming, bujuk rayu, perbuatan itu tetap kekerasan seksual.

“Bahkan level kejahatannya lebih berat. Dalam UU Perlindungan Anak pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat,” jelas dia.

Sebelumnya, Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho yang memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur, ihwal pemerkosaan atau rudapaksa terhadap anak. Dia meminta istilah pemerkosaan tidak lagi digunakan karena pihaknya yang tidak menggunakan istilah tersebut.

“Kita minta tidak menggunakan istilah pemerkosaan atau rudapaksa, melainkan persetubuhan anak di bawah umur,” kata Agus.

Dalam konferensi pers kemarin, Kamis (31/5/2023) Agus menduga, jika kekerasan seksual yang dilakukan 11 orang terhadap anak berusia 15 tahun itu tidak dilakukan bersama-sama. Menurut dia, kasus yang ada terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023.

"Dan dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu berbeda-beda. Dilakukan secara berdiri sendiri, dan tidak bersamaan oleh 11 pelaku ini," katanya.

 
Berita Terpopuler