Ingatkan Kapolda Sulteng, ICJR: Persetubuhan dengan Anak adalah Pemerkosaan

Bersetubuh dengan anak adalah pemerkosaan atau dikenal dengan statutory rape.

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho (kanan) saat rilis kasus kejahatan terhadap anak di Mapolda Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/5/2023). Polisi mengungkap kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur dan menetapkan 10 tersangka diantaranya oknum guru, seorang kepala desa dan mahasiswa, serta memeriksa satu oknum polisi yang diduga ikut terlibat.
Rep: Zainur Mashir Ramadhan, Bambang Noroyono Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengkritik pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho atas kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak berusia 15 tahun oleh 11 orang pelaku di Kabupaten Parigi Moutong atau Parimo. Menurut dia, polisi yang mengategorikan kasus itu sebagai persetubuhan alih-alih pemerkosaan atau rudapaksa sangat disayangkan.

Baca Juga

“Bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape. Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar,” kata Maidina kepada Republika, Kamis (1/6/2023).

Menurut dia, pernyataan polisi itu sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia. Bahkan, dia menyebut pernyataan Kapolda Sulteng menyoal pemahaman hukum terkesan parsial dan tidak komprehensif.

“Juga tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual, yang telah diperbarui dengan adanya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No. 23 tahun 2002 serta perubahannya dalam UU No. 35 tahun 2014 dan UU No. 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,” tutur dia. 

 

Dia menjelaskan, persetebuhan yang dinarasikan polisi disertai iming-iming dan menjadikannya "persetubuhan" tidak tepat. Sebaliknya, meski ada bujuk rayu atau iming-iming, perbuatan kekerasan seksual yang melibatkan anggota Brimob inisial HST dan Kepala Desa inisial HS merupakan kejahatan berat.

“Dalam UU Perlindungan Anak, pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk,” tutur dia.

Dengan adanya pernyataan itu, dia meminta pihak kepolisian memahami diskursus perlindungan anak dengan cara apapun merupakan perkosaan yang mutlak atau statutory rape

“Sama sekali tidak sulit memahami ini dan berempati pada korban anak. Pun juga, polisi harus memahami perkembangan politik hukum yang ada di Indonesia, dengan adanya Pasal 4 ayat (2) UU TPSK,” kata dia.

In Picture: Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Asusila Terhadap Anak

 

 

Dalam keterangan persnya, Kapolda Sulteng Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Agus Nugroho menegaskan, kasus yang melibatkan 11 orang sebagai pelaku dan tersangka tersebut adalah tindak pidana berupa persetubuhan terhadap anak di bawah umur. 

“Kasus tersebut adalah bukan pemerkosaan ataupun rudapaksa. Saya ingin meluruskan penggunaan istilah ini. Kita tidak menggunakan istilah pemerkosaan dalam kasus ini. Melainkan persetubuhan terhadap anak di bawah umur,” kata Agus dalam konfrensi pers yang dikutip Republika dari Instagram resmi Bidhumas Polda Sulteng, pada Kamis (1/6/2023). 

Agus menjelaskan mengapa kasus itu bukan pemerkosaan. Menurut dia, tindak pidana pemerkosaan mengacu pada konstruksi Pasal 285 KUH Pidana.

Di dalam pasal tersebut, unsur-unsur pemerkosaan adalah terjadinya persetubuhan paksa di luar pertalian pernikahan, juga dilakukan karena adanya tindak kekerasan maupun pengancaman.

“Secara tegas dinyatakan bahwa dalam pemerkosaan adanya sifat konstitutif berupa tindakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan dalam memaksa seorang wanita untuk bersetubuh di luar perkawinan,” ujar Agus.

Akan tetapi, dalam kasus yang dialami oleh RO, perempuan 15 tahun itu terjadinya persetubuhan lantaran dasar iming-iming dan janji. Para pelaku persetubuhan anak itu pun dari hasil penyidikan tak ada yang melakukan pengancaman ataupun kekerasan.

“Modus operandi yang digunakan bukan dengan kekerasan atau pengancaman. Melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming dan janji, akan diberikan uang, dan sejumlah barang,” terang Agus.

Bahkan, dikatakan Agus, ada beberapa pelaku persetubuhan tersebut yang menjanjikan akan menikahi jika RO hamil. Karena kasus tersebut tak masuk dalam tindak pidana pemerkosaan, menurut Agus, tim penyidik Polda Sulteng mengambil jalan penuntasan kasus tersebut dengan mengacu pada Pasal 81 Undang-undang (UU) 35/2014 tentang Perlindungan Anak (PA).

Karena, dikatakan Agus, peristiwa persetubuhan yang dialami terjadi pada saat usianya baru menginjak 15 tahun 7 bulan. Penggunaan sangkaan tersebut pun dikatakan Irjen Agus lebih mumpuni dalam menghukum pelaku dan tersangka yang saat ini beberapa di antaranya sudah berhasil ditangkap dan ditahan.

 

 

 
Berita Terpopuler