Peran Perguruan Tinggi Lindungi Anak Bangsa dari Konsep Hidup Childfree

Para pengusung konsep hidup childfree dasarnya menolak yang disyariat Islam.

www.freepik.com
Penyebab seseorang mengambil keputusan childfree bisa merupakan sesuatu yang disadari ataupun tidak disadari.Penyebab yang dimaksud bukan hanya trauma, tapi bisa juga karena ikut-ikutan. 9ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rini Fatma Kartika, Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah Jakarta

Beranak-pinak merupakan bagian dari proses sunnatullah setiap pasangan yang telah menikah. Hal tersebut demi melanggengkan keberadaan umat manusia di muka bumi, agar perintah untuk bisa menegakkan khalifatullah fil ardhi bisa terimplementasi. Sehingga akan terjadi regenerasi untuk melanjutkan estafeta perjuangan, demi menebarkan rahmatan lil alamien untuk semua makhluk-Nya.

Walaupun demikian, akhir-akhir ini ada sebagian orang —sebut saja dari kalangan influencer bernama Gita Savitri, mengumumkan dirinya sedang mengusung konsep childfree. Childfree ialah terkait keputusan hidup seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki keturunan.  

Tentu saja, konsep tersebut sangat bertentangan dengan sunnatullah sebagai sebuah ketetapan Allah SWT serta nilai-nilai keislaman. Selain Gita Savitri, mungkin masih banyak orang yang memiliki pandangan seperti itu. Bila konsep seperti itu banyak yang mengikuti, sangat menghawatirkan terhadap kelangsungan hidup manusia.   

Childfree dan Maqashid Syariah
Mencuatnya konsep childfree di tengah-tengah sumpeknya kehidupan masyarakat—khususnya masyarakat urban yang tinggal di perkotaan ataupun di pinggiran kota, lantas bagaimana Islam menanggapi hal tersebut? Karena, Islam sebagai way of life menjadi panduan di segala dimensi kehidupan masyarakat Muslim, mulai bangun tidur di pagi hari hingga kembali ke tempat tidur di malam hari.

Bila coba kita korelasikan konsep childfree terhadap syariat Islam, khususnya maqashid al-syari’ah—yaitu tujuan dari syariat Islam yang dikemukakan oleh al-Ghazali (w.505/1111) dan kemudian dikembangkan oleh Asy-Syatibi (w. 790/1388), terdiri dari: perlindungan keimanan (hifdu al-dien), perlindungan diri manusia (hifdu al-nafs), perlindungan akal manusia (hifdu al-aql), perlindugnan keturunan (hifdu al-nasl), dan perlindungan kekayaan (hifdu al-maal) (M. Umar Chapra: 2001).

Maka, konsep childfree esensinya telah keluar dari apa yang menjadi tujuan disyariatkan Islam kepada umat manusia. Di mana, dari lima tujuan disyariatkan Islam, keberadaan menjaga keturunan (hifdu al-nasl) masuk di dalamnya. Sehingga, dapat dihipotesakan bahwa para pengusung konsep hidup childfree dasarnya menolak yang disyariat Islam.

Tentu saja, konsep childfree ini harus dibedakan dengan konsep menunda untuk memiliki keturunan. Ada beberapa kasus masyarakat di Indonesia, misalnya seseorang menunda untuk memiliki keturunan dengan alasan sedang studi lanjut. Pasca menyelesaikan studi lanjut, barulah pasangan yang bersangkutan melakukan promil (program hamil).

Dengan demikian, untuk kasus menunda memiliki keturunan, Islam masih mentolelir, karena dilandaskan adanya uzur syari’i di dalamnya. Sedangkan untuk childfree sendiri, penulis berpandangan tak masuk ke dalam kategori uzur syar’i. Karena, hal tersebut jelas-jelas telah bertentangan dengan sunnatullah serta maqashid syariah—khususnya terkait hifdu al-nasl (menjaga kelangsungan keturunan).

Alquran dan Pernikahan
Alquran sebagai rujukan utama syariat Islam, memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka memberikan panduan hidup manusia. Banyak ayat di dalam Alquran, baik secara implisit ataupun eksplisit yang menyatakan bahwa memiliki keturunan sebagai bagian sunnatullah untuk memberikan kesenangan dan ketenangan hidup manusia. Sehingga manusia menjadi bersemangat untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, baik ibadah mahdoh (ibadah langsung) ataupun ghairu mahdoh (ibadah tidak langsung atau ibadah sosial).

Hal tersebut, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt di dalam Alquran Surah Al-Furqon, ayat 74, yaitu: “Dan orang-orang yang berkata:’Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Terkait ayat tersebut, Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan di dalam Tafsir Al-Munir bahwa do’a atau permohonan seseorang yang berharap memiliki istri dan anak-anak agar mendapatkan petunjuk dan hidayah dari-Nya dibolehkan. Sehingga mereka akan berada dalam keta’atan kepada-Nya. Hal tersebut, tentu dapat menenangkan dan menentramkan jiwa manusia (Wahbah Az-Zuhaili: 2013).

Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili terkait ayat tersebut, secara implisit menegaskan bahwa pernikahan antara perempuan dan laki-laki salah satu tujuannya ialah mendapatkan keturunan. Secara jelas beliau mengungkapkan adanya keturunan diharapkan mampu memberikan ketenangan dan ketentraman bagi kehidupan manusia. Tentu saja, keturunan yang harus diharapkan ialah keturunan yan sholeh dan sholehah.

Dengan demikian, konsep childfree, sangat bertentangan terhadap tujuan dari pernikahan itu sendiri, yaitu salah satunya agar sepasang manusia mendapatkan keturunan. Dimilikinya keturunan, harapannya manusia bisa bersemangat menjalankan fungsi dirinya sebagai khalifatullah fil adrdh.    

Peran Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka memberikan edukasi terkait konsep hidup childfree, agar sebisa mungkin dihindari oleh siapapun—khususnya bagi kita yang mengaku beragama Islam. Peran tersebut, bisa disampaikan oleh para dosen kepada mahasiswa ataupun masyarakat umum pada saat melakukan tridharma perguruan tinggi, mulai dari pengajaran, penelitian, hingga bahkan pengabdian kepada masyarakat.

Beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengedukasi mahasiswa dan masyarakat umum bahwa konsep childfree bertentangan dengan maqashid syariah. Karena itu, sebisa mungkin mereka menghindari konsep hidup seperti itu. Bahkan, mereka harus didorong untuk berkeluarga dan memiliki keturunan, agar hidup menjadi lebih bersemangat.    

Kedua, mendapatkan keturunan sebagai upaya untuk menenangkan dan menentramkan jiwa agar bisa lebih dekat kepada Allah Swt. Karena, dengan adanya keturunan, kita bisa bersemangat menjalani hidup sebagai kelanjutan fungsi khalifatulah fil ardhi, baik konteksnya ibadah mahdoh ataupun ghairu mahdoh.   

Ketiga, hidup harus mengikuti sunnatullah dan nilai-nilai keislaman. Sebagai seorang muslim, sunnatullah dan nilai-nilai keislaman harus menjadi way of life, sehingga seluruh dimensi kehidupan yang kita jalani, tidak bertentangan terhadap ayat-ayat-Nya, baik ayat qauliyah ataupun kauniyah.

Tiga hal tersebut, paling tidak bisa menjadi kontribusi perguruan tinggi dalam rangka membendung paham hidup terkait childfree. Hal tersebut sebagai implementasi peran perguruan tinggi di masyarakat, ketika terdapat penyelewengan terhadap paham yang bertentangan dengan sunnatullah dan nilai-nilai keislaman.    

 
Berita Terpopuler