Ingin Mabrur? Perhatikan Etika Haji Menurut Imam Al Ghazali (Bagian 2-Habis)

Rasulullah SAW memerintahkan agar jamaah haji senantiasa berpenampilan sederhana.

EPA-EFE/SAUDI HAJJ AND UMRAH MINISTRY
Sebuah foto selebaran yang disediakan oleh Kementerian Haji dan Umrah Saudi menunjukkan jamaah haji mengenakan masker pelindung wajah, berdoa di Jabal al-Rahmah (Bukit Rahmat) pada Hari Arafah, sebagai bagian dari ritual penting ziarah haji tahunan di kota tenda Arafat, Arab Saudi, 19 Juli 2021. Ingin Mabrur? Perhatikan Etika Haji Menurut Imam Al-Ghazali (Bagian 2-Habis)
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap jamaah haji dari berbagai dunia saat ini tengah mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah haji 1444 H. Kerajaan Arab Saudi akan mulai menerima kedatangan jamaah dari seluruh dunia pada akhir Mei nanti.

Setiap jamaah tentu menginginkan haji yang mabrur, dengan balasan surga. Menurut Imam Al-Ghazali, setidaknya ada 10 adab atau etika yang harus diperhatikan oleh jamaah yang ingin meraih hal tersebut.

Dilansir dari laman resmi PBNU, disampaikan ada tujuh etika yang relevan yang bisa diperhatikan oleh jamaah haji Indonesia yang hendak berangkat nanti.

Baca Juga

Etika untuk Meraih Haji Mabrur

4. Menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki jika mampu

Menjelang wafat, Abdullah ibn ‘Abbâs pernah berpesan kepada putranya, “Wahai anak-anakku, tunaikanlah haji dengan berjalan kaki. Karena orang yang berhaji dengan berjalan kaki, setiap langkahnya dihitung sebagai tujuh ratus kebaikan dari kebaikan Tanah Haram.”

Terkait hal ini, bagi jamaah haji asal Indonesia sepertinya hal ini tidak mungkin. Hanya saja, hal ini masih bisa diusahakan ketika di Tanah Suci saat menunaikan rangkaian manasik atau pulang-pergi dari Makkah ke tempat wukuf, terutama lagi saat ke Mina.

Jika hendak ditambahkan, sunnah pula seorang jamaah haji berjalan setelah berihram. Bahkan, ada yang berpendapat hal itu merupakan salah satu cara menyempurnakan ibadah haji.

Kendati demikian, naik kendaraan saat menunaikan ibadah haji bukan pula termasuk hal yang tercela. Terlebih ada ulama yang mengatakan, “Naik kendaraan adalah lebih utama, karena di dalamnya ada nafkah dan biaya. Selain itu, naik kendaraan juga menjauhkan diri dari kelelahan, meminimalisir gangguan di perjalanan, lebih dekat kepada keselamatan, dan mendekatkan pada kesempurnaan ibadah haji.”

Dua pendapat ini disebut sama sekali tidak bertentangan. Siapa saja mudah berjalan kaki, maka lakukanlah dengan berjalan kaki dan itu adalah hal yang utama. Namun, ketika merasa tidak sanggup dan bila dilaksanakan akan mengakibatkan risiko buruk atau membatasi kesempatan amal ibadah, maka naik kendaraan adalah lebih baik.

5. Berpenampilan sederhana

Imam Al-Ghazali menyebut penampilan yang sederhana, jauh dari kesan bermewah-mewahan dan memperlihatkan kekayaan sangat disarankan selama berhaji. Jangan sampai orang lain melihatnya sebagai orang sombong dan berlebihan.

Rasulullah SAW memerintahkan agar jamaah haji senantiasa berpenampilan sederhana dan menyembunyikan kekayaan, serta melarang untuk bersenang-senang dan bermewah-mewahan. Demikian ini sebagaimana yang tertulis dalam HR ath-Thabrani.

Meski demikian, bukan berarti mereka boleh mengenakan pakaian compang-camping atau kotor. Sebab, Alquran sendiri dalam QS Al-Hajj ayat 29 memerintah mereka untuk membersihkan diri:

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ

Artinya, “Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran"

Calon jamaah haji diharap tetap berpenampilan layaknya akan menghadap Allah SWT. Mereka tetap harus menjaga kebersihan dan kerapihan diri dengan cara mencukur rambut, memotong kumis dan memotong kuku.

6. Mendekatkan diri pada Allah SWT dengan menyembelih hewan dam

Menyembelih hewan dam merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT meskipun tidak wajib bagi dirinya. Diusahakan hewan yang dikurbankan ini gemuk dan mulus.

Jamaah haji dianjurkan memakan sebagian dagingnya jika kurban itu sunnah, namun jangan memakannya apabila kurbannya wajib. Allah SWT telah berfirman, “Demikianlah perintah Allah. Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati,” (QS Al-Hajj: 32).

Yang diniatkan dalam kurban ini adalah membersihkan sifat-sifat kehewanan yang ada dalam diri, menjauhkan sifat kikir, meraih kesucian jiwa, serta memperindahnya dengan sifat-sifat terpuji. Perlu diingat, yang sampai pada Allah dalam berkurban bukan dagingnya, melainkan ketakwaannya.

Dalam QS Al-Hajj ayat 37 disampaikan, "Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu."

7. Senantiasa berbaik sangka pada Allah SWT

Atas segala upaya yang telah dilakukan dan diinfakkan, diharapkan untuk selalu berbaik sangka kepada Allah SWT. Hal ini juga berlaku atas kepayahan, kerugian, bahkan mungkin musibah yang telah menimpa, baik yang menimpa harta maupun badan.

Jamaah haji diminta untuk mengingat bahwa musibah adalah salah satu tanda diterima ibadah haji. Musibah saat haji sama dengan nafkah yang dikeluarkan di jalan Allah. Satu dirham sebanding dengan tujuh ratus dirham karena beratnya ujian di jalan jihad.

Karena itu, seseorang yang berhaji berhak atas pahala dari kepayahan dan kerugian yang dialaminya. Pahalanya tidak akan hilang sedikit pun di sisi Allah SWT.

Ada pula yang menambahkan, di antara tanda diterimanya ibadah haji adalah ditinggalkannya kemaksiatan yang dahulu biasa diperbuatnya. Saudara-saudaranya yang tidak baik diganti dengan saudara-saudara yang saleh. Tempat-tempat kelalaiannya diganti dengan majelis dzikir dan kesadaran.

 
Berita Terpopuler