Ingin Mabrur? Perhatikan Etika Haji Ini Menurut Imam Al Ghazali (Bagian 1)

Haji mabrur itu tidak ada balasan untuknya selain surga.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Umat muslim dari berbagai negara mencoba mendaki ke atas Jabal Rahmah di Makkah, Arab Saudi, Sabtu (3/12/22022). Jabal Rahmah adalah salah satu tempat yang dikunjungi umat muslim usai menjalankan ibadah umroh untuk berwisata religi yang di atas bukit terdapat monumen yang menjadi simbol bertemunya Adam dan Hawa. Ingin Mabrur? Perhatikan Etika Haji Ini Menurut Imam Al-Ghazali (Bagian 1)
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap jamaah haji dari berbagai dunia saat ini tengah mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah haji 1444 H. Kerajaan Arab Saudi akan mulai menerima kedatangan jamaah dari seluruh dunia pada akhir Mei nanti.

Setiap jamaah tentu menginginkan haji yang mabrur, dengan balasan surga. Menurut Imam Al-Ghazali, setidaknya ada 10 adab atau etika yang harus diperhatikan oleh jamaah yang ingin meraih hal tersebut.

Dilansir dari laman resmi PBNU, disampaikan ada tujuh etika yang relevan yang bisa diperhatikan oleh jamaah haji Indonesia yang hendak berangkat nanti.

Baca Juga

Etika untuk Meraih Haji Mabrur

1. Memiliki cita-cita dan tujuan mulia

Tujuan dan cita-cita seorang jamaah haji adalah fokus beribadah kepada Allah SWT. Hatinya harus tenang dan selalu diarahkan untuk berdzikir dan mengingat Allah, serta mengagungkan syiar-Nya.

Tangan dan pikiran seorang jamaah harus bebas dari apa pun yang dapat mengganggu hati dan memecah konsentrasi selama ibadah. Lalu, biaya yang digunakan untuk ibadah ini harus bersumber dari usaha yang baik dan halal.

Ibnu ‘Umar pernah berkata, "Di antara ciri orang yang mulia adalah orang yang paling baik perjalanan ibadah hajinya; dan di antara ibadah haji seseorang yang paling utama adalah yang paling tulus niatnya, paling bersih biayanya dan paling baik keyakinannya."

Apa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali ini beralasan, mengacu pada sabda Rasulullah SAW, "Pada akhir zaman, orang-orang keluar untuk haji empat golongan: para penguasa untuk bersenang-senang, para hartawan untuk berdagang, orang-orang fakir untuk meminta-minta, dan para qari untuk memperdengarkan bacan.” (HR Al-Khatib).

2. Menyiapkan bekal secukupnya

Imam Al-Ghazali mengingatkan untuk mempersiapkan bekal secukupnya dan memperbaiki niat hati dalam memberikan maupun membelanjakannya, tanpa disertai kekikiran dan sikap berlebihan. Perbekalan baiknya digunakan sederhana.

Di sisi lain, hal ini berarti mengingatkan jamaah untuk menghindari pula perilaku bersenang-senang dan makan makanan yang enak, atau bermewah-mewahan dalam berpakaian. Sementara banyak memberi dan berbagai rezeki, menurut Al-Ghazali, tidak termasuk sikap berlebihan.

Menurutnya, menggunakan bekal untuk perjalanan haji sama dengan menginfakkannya di jalan Allah SWT. Satu dirham yang diinfakkan di jalan Allah dibalas dengan tujuh ratus dirham.

3. Meninggalkan ar-rafats, al-fusuq, dan al-jadal

Kata al-rafats merupakan kata umum yang mencakup segala perkataan sia-sia, keji dan kotor. Termasuk di dalamnya perbuatan bersenda gurau atau membicarakan hubungan suami-istri. Membicarakan hubungan suami-istri disebut merupakan perbuatan yang dilarang karena mendorong kepada hal terlarang.

Al-fusuq merupakan kata umum yang mencakup semua keadaan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Sementara, al-jadal adalah berlebihan dalam permusuhan dan pertengkaran dengan hal-hal yang dapat menyebabkan kedengkian dan perpecahan, serta meruntuhkan budi pekerti yang baik.

Sufyan As-Tsauri menuturkan, “Siapa saja yang melakukan ar-rafats, maka rusaklah hajinya.” Karena itu, Rasulullah SAW menjadikan tutur kata yang baik dan berbagi makanan sebagai kriteria haji yang mabrur.

Rasulullah SAW pernah bersabda tiada balasan haji yang mabrur kecuali surga.

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةَ    

Artinya, “Haji mabrur itu tidak ada balasan untuknya selain surga.”

Berdasarkan hal itu, sudah sepantasnya jamaah haji mengurangi pembicaraan yang tidak penting, senda gurau, apalagi pertentangan dengan sesama jamaah. Justru, selama di perjalanan menuju Baitullah hendaknya merendahkan diri dan menunjukkan perangai yang baik.

 
Berita Terpopuler