Anak Berkebutuhan Khusus yang Memiliki Alergi Perlu Diterapi Hingga Usia Sembilan Tahun

Biasanya, anak berkebutuhan khusus memiliki alergi.

Republika/Amin madani
Anak makan ikan (ilustrasi). Alergi seafood termasuk alergi yang bisa bertahan hingga dewasa. Bagi anak berkebutuhan khusus yang memiliki alergi, terapi perlu dilanjutkan hingga mereka berusia sembilan tahun.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog anak dan parenting coach Irma Gustiana mengatakan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang memiliki alergi perlu menjalani terapi. Menurutnya, terapi dilakukan minimal hingga usia sembilan tahun.

Mengapa begitu? Irma menjelaskan, pada usia delapan sampai sembilan tahun anak akan mengalami perubahan hormonal. Ketika ada transisi dari anak-anak menuju praremaja, kondisi ini perlu tetap dalam kontrol profesional.

Baca Juga

"Biasanya memang anak-anak ABK itu ada alerginya, tubuhnya memang sangat sensitif," kata Irma saat dijumpai di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (10/5/2023).

Oleh karena itu, terapi itu penting bagi ABK dengan alergi hingga minimal sembilan tahun. Anak-anak seperti ini butuh pengawasan yang terus-menerus sampai nanti mereka bisa bertoleransi dengan zat pemicu alergi.

"Toleransi itu bukan hanya tentang apa yang dia makan, tetapi juga terhadap lingkungan. Dia bisa menyesuaikan atau enggak. Kenapa dia harus diterapi? Karena itu akan membuat dia bisa beradaptasi sama lingkungannya," tutur Irma yang merupakan lulusan Universitas Indonesia.

Selanjutnya, Irma menganjurkan agar orang tua tetap menyekolahkan anak tersebut di sekolah yang sesuai. Selain itu, penting juga bagi orang tua untuk memenuhi nutrisi anak dan mengelola emosi dalam menghadapi buah hati yang memiliki kebutuhan khusus.

Akan tetapi, Irma juga mengingatkan agar orang tua tetap menjaga anak dari paparan hal-hal yang memicu alergi, terlebih apabila reaksinya cukup berat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan tidak menunjukkannya di hadapan sang anak.

"Jangan sampai anak itu melihat ada makanan yang memicu dia alergi misalnya cokelat. Karena jika dia sudah melihat secara visual, dia pasti ada keinginan. Kalau nggak dipenuhi, kecenderungannya memang akan menunjukkan perilaku yang negatif. Jadi emosinya nggak stabil, tantrum dan lain-lain," kata Irma.

Untuk meminimalisir risiko, menurut Irma, sebaiknya makanan-minuman pemicu alergi tidak ada dalam radar anak. Andaikan anak sudah bersekolah dan melihat temannya mengonsumsinya, biasanya itu akan menjadi tantangan.

"Biasanya, kalau sudah sekolah, seiring perkembangan anak, ada beberapa yang sudah bisa diberikan penjelasan," ujar Irma.

Selain itu, membiasakan anak membawa bekal ke sekolah juga dapat membantu menghindarinya dari paparan alergen. Dengan demikian, anak lebih terbiasa untuk mengonsumsi bekal dan tidak akan tertarik dengan yang bukan menjadi kebiasaannya.

 
Berita Terpopuler