Pesan Buya Hamka: Jangan Buat Diri Merana karena Penyakit Jiwa

Kehidupan yang tidak berjumpa dengan kesulitan, bukanlah hidup.

.
Rep: Ani Nursalikah Red: Partner

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disapa Buya Hamka (tengah). Pesan Buya Hamka: Jangan Buat Diri Merana karena Penyakit Jiwa. Foto: Dok. Republika

MAGENTA -- Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disapa Buya Hamka, penyakit suatu masyarakat berasal dari penyakit jiwa perseorangan. Penyakit jiwa sekarang ini rupanya telah merata. Penyakit jiwa itu dipancing dengan pakaian yang menimbulkan syahwat.

"Maka Islam memberi batas-batas apa yang dinamai aurat. Bukan pula dia menentukan mode dan bentuk suatu pakaian. Islam tidak melarang berpakaian secara Eropa dan Amerika. Islam tidak mewajibkan orang mesti memakai pakaian menurut suatu corak karena adalah termasuk kebudayaan," tulis Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Pelajaran Agama Islam, terbitan Bulan Bintang, Jakarta 1956.

Pakaian Eropa ada yang sopan, tertutup aurat mengapa tidak itu yang ditiru? Islam tidak memerintahkan perempuan menutup tubuhnya dengan goni dan matanya saja yang keluar. Apa gunanya pembungkus badan dengan goni itu, padahal mata yang keluar sedikit itu penuh syahwat seakan-akan mengucapkan "pegang aku!".

.

.

Di Timur, di negeri-negeri Islam, dan di Barat, di negeri-negeri Kristen, ada pakaian yang sopan, dan bila dipakai oleh seorang perempuan timbullah rasa hormat kita. Dia bercakap dengan terus-terang dan jujur sehingga akal batin seorang laki-laki tidak terganggu.

"Dosa-dosa yang lain pun sebagian besar adalah karena 'penyakit jiwa'."Seorang yang bersifat munafik, pepat (ketat) di luar pancung di dalam, adalah karena penyakit jiwa," tulisnya.

Menurut Buya Hamka, seorang pengambil muka kepada orang besar-besar, sehingga mau menggadaikan harga diri sendiri adalah karena penyakit jiwa. Kadang-kadang dia tidak merasa keberatan istrinya sendiri dijadikan "sunting" oleh tempatnya menjilat itu, karena mengharapkan suatu pangkat atau kedudukan; ini pun penyakit jiwa.

Mencuri harta orang lain, korupsi besar-besaran, hidup mewah melebihi kemampuan diri, semuanya ini timbul dari penyakit jiwa. Seorang bekas pejuang, setelah selesai perjuangan bersenjata, menjadi orang yang tidak beres ingatan, datang ke kota ramai, menuntut ke kantor ini dan kementerian itu, meminta supaya jasanya dihargai.

Meminta supaya seluruh mata melihat kepadanya, bahwa dia seorang bekas pejuang yang berjasa. Ini pun penyakit jiwa. Karena jiwa itu sendiri kotor. Jiwa yang seperti itu akan tetap kotor dan bertambah kotor kalau tidak diobati dengan iman dan Islam. Allah SWT berfirman:

"Dalam hatinya telah ada penyakit, maka ditambah lagi oleh Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa pedih, disebabkan mereka berdusta" (Al-Baqarah; S. 2: 10).

BACA JUGA: Pernah Ditanya Soal Perbedaan Waktu Hari Raya, Ini Jawaban Buya Hamka


Hidup di Antara Tiga Keadaan

Museum Buya Hamka terletak di tepian Danau Maninjau, tepatnya di Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Foto: Dok. Republika

Buya Hamka menjelaskan, kita ini hidup di antara tiga keadaan. Pertama, akal-batin kita yang dekat kepada binatang.

Kedua, akal-lahir yang hidup di tengah-tengah pergaulan yang penuh tata tertib dan kesopanan. Ketiga ialah cita-cita kepada hidup yang sempurna! Ilmu jiwa ini sekarang menjadi perhatian penuh dalam sekolah-sekolah ketika mendidik anak-anak.

Di zaman Nabi SAW, tulis Hamka, dibawa orang ke hadapan beliau seorang yang kedapatan mabuk. Islam menentukan hukum "ta'zir" bagi siapa yang mabuk, yaitu dirotan. Ketika dia dihukum ada beberapa orang yang sama duduk menonton menyumpah-nyumpah kepadanya.

.

.

"Laknat Allah atas engkau penjahat!" Nabi murka kepada orang yang mengutuk itu seraya bersabda: "Jangan engkau laknati dia. Demi Allah, engkau tidak tahu bahwa dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Dan dalam satu riwayat yang lain tersebut Nabi bersabda: "Jangan kutuki dia, tetapi mohonkanlah supaya dia diberi ampun oleh Allah dan diberi taubat."

Melihat persoalan di atas nampaklah bahwa di dalam perjalanan hidup, mencari jalan yang lurus, memperimbangkan di antara akal-lahir dengan akal-batin, kita senantiasa menghadapi kesulitan. Sebab itu hendaklah kita ukur kepada diri kita bagaimana kesulitan yang dihadapi orang lain.

Maka tidaklah layak kita tertawa melihat seseorang yang jatuh, melainkan berusahalah mencari sebab-sebab kejatuhan itu dan elakkanlah diri dari jalan itu. Kamal, artinya kesempurnaan, akan di dapat di dalam perjalanan hidup ialah karena perjuangan yang hebat di dalam batin kita sendiri.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauyziyah menulis di dalam kitabnya Zadil Ma'ad (Perbekalan Menuju Hari yang Dijanjikan) menyebut tingkat perjuangan. Ada perjuangan ke luar, yaitu menghadapi kaum kafir dan munafik dan ada perjuangan ke dalam, yaitu menghadapi setan, iblis dan hawa nafsu. Maka perjuangan menghadapi induk dari segala perjuangan.

BACA JUGA: Mencari Teman Setia: Nasihat Buya Hamka dalam Pertemanan


Penjual tanaman hias keliling menjajakan dagangannya menggunakan becak di kawasan Jalan Progo, Kota Bandung. Foto: Republika/Abdan Syakura

Kehidupan yang tidak berjumpa dengan kesulitan, bukanlah hidup. Bertambah tinggi nilai cita, bertambah tinggi pula penghalangnya.

Orang yang tidak berjumpa kesulitan, ialah orang yang tidak pernah keluar dari rumahnya. Bertambah jauh perjalanan bertambah pula kelihatan jauhnya yang akan ditempuh.

Jiwa kita tidak boleh dibiarkan merana, dan penyakit jiwa tidak boleh dibiarkan meliputi diri. Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi banyak terdapat, memberikan dorongan kepada kita untuk tampil terus ke muka.

.

.

Ada ayat rahmat, ada ayat raja. Demikian juga hadits. Sehingga terbukalah mata kita yang tadinya tertutup, kuatlah hati yang nyaris ditimpa putus asa.

"Katakanlah (hai Rasul-ku)! Hai hambaku yang telah menyia-nyiakan dirinya, janganlah putus asa daripada rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa itu semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Penyayang." (Al-Zumar ayat 53).

Perhatikan sebuah hadis untuk obat penawar hati kita di dalam kesulitan menempuh hidup ini. Yaitu sebuah hadis-Qudsi yang dirawikan oleh Muslim daripada Abu Zarr Al-Ghiffari, demikian bunyinya:

"Wahai hamba-Ku! Aku telah mengharamkan atas diriku sendiri berbuat aniaya. Dan aku jadikan aniaya sesamamu haram pula. Sebab itu jangan kamu aniaya-menganiaya." (Dirawikan oleh Muslim dari Abi Dzarrin Al- Ghiffari r.a.). (MHD)

BACA JUGA:

Daftar Lokasi Sholat Idul Fitri 21 April 2023 di Yogyakarta

Daftar Lokasi Sholat Idul Fitri 21 April 2023 untuk Wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi

Daftar Lokasi Sholat Idul Fitri 21 April 2023 untuk Wilayah Depok

Daftar 101 Lokasi Sholat Idul Fitri 21 April 2023 di Surabaya

Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah

 

 
Berita Terpopuler