Produsen Cokelat Asal Indonesia Tembus Pasar Rusia dan Jepang

Cokelat Indonesia mempunyai rasa yang berbeda.

Dok Pipiltin Cocoa
Hampers dari Pipiltin Cocoa, Gift JoyBox, cokelat asli Indonesia dan minuman cokelat yang cocok dinikmati hangat.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jenama cokelat asli Indonesia, Pipiltin Cocoa, memiliki misi untuk memperkenalkan potensi Indonesia sebagai negara penghasil cokelat yang beragam dan berkualitas. Niat yang sudah berjalan sejak 2013 ini berhasil membawa Pipiltin Cocoa menapaki Jepang hingga Rusia.

"Kami mulai ekspor ke Rusia sebelum ada perang, pada saat pandemi Covid-19. Ada mitra Rusia menjajaki, pada akhirnya kami melakukan ekspor ke Rusia," ucap Founder Pipiltin Cocoa, Tissa Aunilla, dalam webinar "Seller Story Big Ramadhan Sale Shopee", beberapa waktu lalu.

Walaupun Indonesia dikenal sebagai daerah penghasil cokelat spesifik dengan biji kakao yang bisa didapatkan di berbagai pulau, namun sangat sulit untuk mencari produk olahan cokelat lokal di Indonesia. Fakta ini lah yang mengawali perjalanan Tissa dalam membangun bisnis Pipiltin Cocoa.

Baca Juga

Tissa mulai mencari tahu lebih dalam mengenai cokelat asal Indonesia, dan perlahan menciptakan hasil olahan cokelat dari rumahnya. Tissa pun akhirnya juga mengambil Master Chocolatier Certification di Swiss pada 2011 untuk memperdalam pengetahuannya mengenai cara memproduksi cokelat.

Kini, cokelatnya sangat laku bahkan hingga ke pasar dunia. Bahkan, saat pandemi Covid-19, ia justru mengalami peningkatan pesanan.

"Menjalankan bisnis Pipiltin Cocoa ini diawali dari keinginan kami agar produk cokelat Indonesia dikenal di dunia," ujar dia.

Setelah Rusia, Pipiltin Cocoa juga laku di Jepang. Ini karena cokelat-cokelat di Jepang memakai biji dari Afrika dan negara lain, sedangkan cokelat Indonesia mempunyai rasa yang berbeda. Alasan inilah yang membuat Pipiltin Cocoa percaya diri untuk mengekspor cokelatnya ke Jepang.

"Cokelat Afrika ada rasa pisang, nah kalau cokelat Bali atau Flores gitu ada rasa kayu manisnya, ada sedikit rasa pala tapi bukan yang kenceng gitu ya. Lalu, dari Papua sendiri ada rasa-rasa umami, gurih. Itu bedanya sih," ucap Tissa yang juga menjalankan bisnis ini bersama sang adik, Irvan Helmi.

Tissa melihat potensi besar dari petani lokal yang dapat menghasilkan keanekaragaman cokelat asal Indonesia dengan kualitas yang sangat baik butuh didukung dan diapresiasi. Bisnis ini menjadi wadah dan caranya untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan komunitas petani biji kakao. Hingga saat ini, bahan baku yang digunakan Pipiltin Cocoa berasal dari lebih dari 2.000 mitra petani lokal.

"Kami pun terus melakukan inovasi produk cokelat beserta layanannya melalui riset pasar yang intensif, agar Pipiltin terus berkembang dan mengikuti kemajuan zaman,” ucap Tissa.

Selama menjalankan Pipiltin Cocoa, Tissa dan Irvan bersama karyawannya mewujudkan misi untuk meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia lewat beberapa langkah. Salah satunya ialah dengan membeli langsung dengan harga yang layak dan premium, yakni 40-50 persen di atas harga pasar.

Langkah ini bertujuan untuk mendapatkan biji cokelat yang betul-betul berkualitas. Pipiltin membeli biji cokelat langsung kepada petani. Tahap panen, pemilahan, fermentasi, pencucian, dan pengeringan semua dilakukan oleh petani, lalu masuk ke tahap produksi oleh Pipiltin.

Selama ini, biji kakao Indonesia banyak dijual untuk produsen cokelat di Eropa, yang biasanya mengimpor cokelat asli Bali, Jember, dan daerah lainnya di Indonesia. Merek-merek cokelat Eropa ini bahkan menjadikan cokelat Indonesia sebagai produk premium mereka.

Melihat kesempatan tersebut, Tissa dan Irvan pun bertekad untuk memperkenalkan cokelat asli Indonesia, untuk orang Indonesia sendiri. Sesuai dengan tema "Diversity" dan tagline "Beda-beda itu enak" yang dikampanyekan Pipiltin Cocoa, keberagaman bisa dirayakan dengan berbagai macam cara.

Saat ini, Pipiltin Cocoa menghadirkan cokelat dari beberapa provinsi sesuai kadar cokelatnya. Ada Ransiki Papua Barat 100 persen, Aceh 84 persen, Kampung Merasa Kalimantan Timur 74 persen, Aceh 73 persen, Ransiki Papua Barat 72 persen, Bali 70 persen, East Java 65 persen, Flores 65 persen, dan Bali 60 persen.

 
Berita Terpopuler