PPATK Tegaskan Transaksi Rp 349 T di Kemenkeu Pencucian Uang, DPR Wacanakan Pansus

Pansus bertujuan mengungkap indikasi TPPU dari transaksi Rp 349 triliun di Kemenkeu.

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (kanan) dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD (kiri) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait dugaan transaksi gelap karyawan Kemenkeu di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Sabtu (11/3/2023). Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan transaksi ratusan triliun di Kemenkeu sebagai tindak pidana pencucian uang. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika, Iit Septyaningsih

Baca Juga

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa telah mendapatkan konfirmasi dari Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, bahwa ada tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam temuan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun. Konfirmasi tersebut menjadi landasan pihaknya untuk menjadikan kasus tersebut sebagai perhatian khusus.

Salah satunya dengan pembentukan panitia khusus (Pansus) untuk mendalami temuan PPATK tersebut. Sebab temuan tersebut menandakan adanya masalah besar dalam pengelolaan pajak sebagai sumber pendapatan negara.

"Di rapat Komisi III ini saya ingin mempertegas (adanya TPPU), karena saya berpikir kalau ini ada sesuatu terhadap pajak sebagai sumber pendapatan negara, sesudah ini perlu ada Pansus DPR untuk keseriusan ini," ujar Desmond dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan PPATK, Selasa (21/3/2023).

Pansus tersebut juga bertujuan dalam mengungkap indikasi tindak pidana pencucian uang di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jangan sampai tindak pidana tersebut sudah menjadi praktik yang dilakukan masif secara kelembagaan.

"Apakah itu berkaitan dengan sejumlah orang misalnya siapa Alun Alun itu? Atau ada Alun Alun Alun yang lain jumlahnya 300? Apakah itu? Atau memang ini kelembagaan, apakah ini kelembagaan?" ujar Desmond. 

"Kalau kelembagaan berarti kan institusi pajaknya yang tidak beres atau tikus-tikus di kelembagaan itu. Nah dalam konteks kebocoran ini saya ingin ada jawaban dari Pak Ivan, memang tidak beres kelembagaan Ditjen Pajak atau memang ada tikus-tikus seperti Alun Alun," sambungnya.

Dalam RDP tersebut, Ivan menegaskan, dalam temuan transaksi mencurigakan di Kemenkeu senilai Rp 349 triliun ada indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal tersebut merupakan jawabannya ketika ditanya oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa.

"Ada pencucian uang, kami tidak pernah satu kalipun menyatakan tidak ada pencucian uang," tegas Ivan.

Namun, temuan tersebut bukan berarti bahwa tindak pidana tersebut sepenuhnya dilakukan oleh Kemenkeu. Penyerahan laporan kepada PPATK adalah bagian tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal.

"Itu kebanyakan terkait dengan kasus impor-ekspor, kasus perpajakan, di dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa lebih dari 100 triliun, lebih dari 40 triliun, itu bisa melibatkan," ujar Ivan.

Lanjutnya, ada tiga kategori dalam penyerahan laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK. Pertama adalah LHA yang diserahkan terkait dengan oknum. Kedua, LHA yang menemukan indikasi tindak pidana dan oknumnya sekaligus.

Terakhir adalah penyampaian LHA yang menemukan tindak pidana asalnya, tapi tidak menemukan oknumnya. Artinya, temuan sebesar Rp 349 triliun tak bisa dikatakan berasal dari kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu.

"Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidananya itu ke Kementerian Keuangan, ini jauh berbeda. Jadi kalimat di Kementerian Keuangan itu juga kalimat yang salah, itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan," ujar Ivan.

 

 

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada Senin (20/3/2023) menyatakan, transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di Kemenkeu berpeluang untuk diproses hukum. Mahfud menyebut dirinya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Kepala PPPATK Ivan sudah sepaham soal transaksi janggal itu.

Ia memastikan Kemenkeu menindaklanjuti laporan hasil analisa (LHA) dari PPATK. Apalagi kalau diduga termasuk praktik pencucian uang yang melibatkan internal maupun eksternal Kemenkeu. 

"Apabila nanti dari laporan pencucian uang itu ditemukan alat bukti terjadinya tindak pidana, maka LHA tersebut akan ditindaklanjuti dengan proses hukum oleh Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Senin.

Mahfud menegaskan transaksi janggal ini berkelindan dengan dugaan praktek pencucian uang. Untuk sementara ini. ia mengimbau masyarakat tak berasumsi negatif mengenai praktik korupsi di Kemenkeu

"Mungkin saja nanti diserahkan ke aparat penegak hukum lainnya penyidik lainnya, yaitu polisi, jaksa, atau KPK," ujar Mahfud.

Selain itu, Mahfud merinci praktik dugaan pencucian uang mencakup kepemilikan saham atas nama keluarga, kepemilikan aset atas nama pihak lain, dan membangun perusahaan cangkang. Berikutnya, ada yang mengelola hasil kejahatan demi sahnya keuntungan perusahaan dan memakai rekening atas nama orang lain demi menyimpan hasil kejahatan. Ada pula praktik pencucian uang dengan cara menyimpan uang hasil kejahatan di safe deposit box. 

"Oleh sebab itu menjadi besar, dan laporan resmi mungkin Rp 56 miliar, tapi sesudah dilacak pergerakan uang ini ada Rp 500 miliar, itu pencucian uang. Sekali lagi, itu tidak selalu berkaitan dengan pegawai di Kementerian Keuangan," ucap Mahfud.

Mahfud juga menyatakan yang diungkap ke publik baru-baru ini merupakan dugaan pencucian uang. Ia merasa wajar kalau nilainya terbilang fantastis karena melibatkan eksternal Kemenkeu. 

"Laporan tindak pidana pencucian uang. Memang jumlahnya besar, karena menyangkut orang luar," sebut Mahfud.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati kemarin mengklarifikasi terkait dugaan adanya transaksi mencurigakan hingga Rp 300 triliun yang melibatkan pegawai Kemenkeu. Sri menyampaikan jumlah itu bukanlah total transaksi mencurigakan yang dilakukan anak buahnya. 

Sri menjelaskan Kemenkeu pertama mendapat surat dari PPATK pada 7 Maret 2023. Isinya berisi 196 surat PPATK kepada Irjen Kemenkeu dari periode 2009-2023. "Surat ini tanpa ada nilai transaksi, hanya berisi nomor surat, tanggal surat, nama-nama yang ditulis PPATK dan kemudian tindak lanjuti Kemenkeu," kata Sri kepada wartawan di Kemenkopolhukam pada Senin (20/3/2023). 

Sri menjamin surat PPATK itu sudah ditindak oleh Kemenkeu. Mereka yang terbukti bersalah sudah diganjar sanksi. "Terhadap surat tersebut, Irjen Kemenkeu sudah lakukan semua langkah dari dulu Gayus sampai sekarang. Ada yang sudah kena sanksi, penjara, turun pangkat," lanjut Sri. 

Sri mendadak heran ketika muncul pernyataan dari PPATK mengenai angka transaksi mencurigakan Rp 300 triliun. Padahal ia belum menerima surat PPATK berkaitan hal itu hingga Sabtu (11/3/2023). Beberapa hari berselang, Sri baru mendapatkan informasi resmi dari PPATK yang jumlah angkanya lebih fantastis hingga 349 triliun. 

"Pak Ivan (Kepala PPATK) baru kirim pada 13 Maret. Kami terima surat kedua. Isinya 46 halaman rekapitulasi data hasil analisa dan hasil pemeriksaan serta informasi transaksi keuangan berkaitan tugas dan fungsi untuk Kemenkeu periode 2009-2023. Lampirannya 300 surat dengan nilai transaksi 349 triliun," ucap Sri. 

Selanjutnya, Sri menerangkan dari 300 surat itu berisi 65 surat transaksi keuangan dari perusahaan atau badan atau perseorangan yang tidak ada pegawai Kemenkeu di dalamnya. Hanya saja, PPATK tetap meneruskan laporan ke Kemenkeu karena terkait tugas dan fungsi Kemenkeu di bidang ekspor dan impor.

"65 surat itu nilainya 253 triliun. Artinya PPATK menengarai ada transaksi di dalam perekonomian entah itu perdagangan, pergantian properti yang mencurigakan kemudian dikirim ke kami untuk mem-follow up sesuai tugas dan fungsi kita," ujar Sri. 

Berikutnya, 99 surat adalah surat PPATK kepada aparat penegak hukum dengan nilai transaksi 74 triliun. "Sedangkan 135 surat dari PPATK yang menyangkut nama pegawai Kemenkeu nilainya jauh lebih kecil (22 triliun)," ujar Sri.

Pada pekan lalu, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh menegaskan, transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu yang diungkap oleh Mahfud MD, bukanlah korupsi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Jadi prinsipnya angka Rp 300 triliun itu bukan angka korupsi ataupun TPPU pegawai di Kementerian Keuangan,” ujar Awan seperti dikutip dari website Kemenkeu pada Kamis (16/3/2023).

Ia melanjutkan, Kemenkeu berkomitmen melakukan pembersihan secara menyeluruh di lingkungan lembaganya. Terkait berbagai informasi pegawai, kata dia, Itjen Kemenkeu terus menindaklanjuti secara baik.

"Kita panggil dan sebagainya. Intinya kerja sama antara Kementerian Keuangan dan PPATK sudah begitu cair,” tutur dia.

 

Kontroversi transaksi janggal Rp 300 triliun - (Republika/berbagai sumber)
 

 
Berita Terpopuler