Gaya Hidup Pejabat: Masalahnya Bukan Kejujuran, Tetapi Pamer!

Larangan gaya hidup pamer selama ini hanya sekedar himbauan

ANTARA/Oky Lukmansyah
Sejumlah warga menaiki motor Harley Davidson
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Puji Rianto, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

 Beberapa minggu belakangan ini, ruang publik media dihiasi berita kekerasan yang dilakukan salah seorang anak pejabat Dirjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo. Malangnya, kasus kekerasan itu membuka masalah lain karena Rafael mempunyai kekayaan yang cukup besar untuk seorang pegawai pajak. Istilah umumnya, mempunyai kekayaan di luar kewajaran.

Kekayaannya sesuai yang dilaporkan dalam Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)  mencapai Rp 56,10 miliar (https://news.republika.co.id/berita/rqolqo320/warganet-kuliti-kekayaan-rafael-ayah-mario-asetnya-melimpah-di-berbagai-daerah). Anaknya yang diduga melakukan kekerasan juga mendapatkan sorotan bukan semata kekerasan yang dilakukan, tetapi karena suka pamer harta kekayaan di media sosial. Mobil Rubicon dan motor gede menghiasi laman sosialnya. 

Kasus pamer harta kekayaan dan hidup mewah yang dilakukan oleh pegawai Dirjen Pajak bukanlah pertama kali terjadi. Jauh sebelumnya, kasus-kasus serupa telah muncul. Menyikapi hal itu, respon para petinggi negara adalah ASN dilarang pamer gaya hidup mewah karena melanggar norma kepantasan. Ini telah berulang kali disuarakan, termasuk oleh Presiden Joko Widodo. Namun sayangnya, seruan ini telah menenggelamkan wacana lain yang tidak kalah penting, yakni kejujuran. 

 

 

 

 

Konsumsi Citra dan Masyarakat Konsumsi 

Pamer harta kekayaan telah mengakar dalam masyarakat modern. Ini tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial masyarakat yang dominan, yakni kapitalisme. Menurut Filsuf Perancis, Jean Baudrillard, masyarakat kapitalisme modern ditopang oleh konsumsi. Produksi diselenggarakan untuk melanggengkan konsumsi. Oleh karena itu, yang ditekankan adalah konsumsi. Jika konsumsi berlanjut, produksi pun berlanjut. Maka, dikonstruksikanlah citra-citra ke dalam produk. Citra-citra ini membuat orang mengkonsumsi bukan karena hasrat untuk memenuhi kebutuhan semata, tetapi keinginan. Kebutuhan ada batasnya, sedangkan keinginan tidak. 

Keinginan itulah yang direproduksi dalam bentuk citra-citra modern. Ini dapat ditemui dengan mudah ketika seseorang mengkonsumsi atau membeli barang karena citra yang dilekatkan dalam barang tersebut. Pergeseran pun terjadi. Meskipun konsumsi barang kebutuhan sama-sama untuk “mengada”, tetapi maknanya berbeda. Dalam masyarakat konsumsi, konsumsi itu bukan sarana untuk hidup, tetapi “hidup” itu sendiri. Eksistensi seseorang pun ditentukan oleh barang konsumsinya. 

Ketika konsumsi adalah sarana “mengada” maka budaya pamer segera menyertai keberadaannya. Sederhananya, buat apa saya mengkonsumsi suatu barang, jika tidak saya pamerkan? Jika konsumsi barang mewah hanya disembunyikan, maka tidak akan memberikan makna apa-apa. Padahal, tujuan konsumsi untuk membangun citra-citra dirinya, eksistensi dirinya. Dengan argumen demikian, tidaklah mungkin mengkonsumsi tanpa memamerkannya. 

Di era media sosial, budaya pamer menemukan ruang paling luas. Jika dulu, misalnya, orang memamerkan televisi barunya dengan memajang di ruang tamu, maka sekarang bisa dipajang di media sosial. Penonton pun bertambah. Jika pamer di ruang tamu hanya dilihat tetangga atau tamu yang datang, di media sosial dapat dilihat orang sejagat. Maka, hasrat pamer di media sosial pun semakin menggebu-gebu. Oleh karena itu, jika F. Budi Hardiman menyatakan bahwa, “Aku klik karena itu aku ada” dalam menyikapi kehadiran media sosial, maka ini mesti ditambahkan. “Aku pamer karena itu aku ada”.  

 

 

 

 

Gaya Hidup Mewah vs Kejujuran

Etika hidup dan agama sebenarnya telah mengajarkan setiap manusia untuk menahan hasrat hidup mewah. Agama Islam, misalnya, di mana Nabi Muhammad SAW menjadi teladannya senantiasa mengajarkan hidup sederhana. Namun, ini tidaklah mudah. Sistem kapitalisme bagaimanapun telah meniupkan hasrat konsumsi terus-menerus. Akibatnya, sebagian besar orang mengejar hidup mewah meskipun tidak mempunyai cukup kemampuan.

Hal itukah barangkali yang terjadi di antara sebagian pejabat. Namun sayangnya, setiap kasus pamer kemewahan di antara pejabat muncul ke permukaan, diskursus yang senantiasa berkembang adalah himbauan untuk tidak hidup mewah. 

Kepolisian Republik Indonesia bahkan telah mengeluarkan Surat Telegram pada 15 November 2019 yang ditujukan kepada anggota Polri untuk tidak hidup mewah. Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga demikian. Tentu saja, himbauan tersebut baik karena rasa empatiknya. Namun, wacana itu menenggelamkan wacana lain, yakni kejujuran. Padahal, yang lebih dibutuhkan oleh negeri ini adalah kejujuran. Wacana kejujuran inilah yang seharusnya lebih mengemuka ketika ada kasus di mana pejabat publik mempunyai kekayaan “tak wajar”.

Pada sisi lain, wacana tidak boleh pamer pejabat publik mengandung pesan tersembunyi bahwa tidaklah masalah hidup mewah asalkan tidak dipamerkan. Ini jelas bermasalah karena tidak memberikan kontribusi apapun bagi usaha mengerem praktik-praktik korupsi di antara ASN dan pejabat publik. 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler