Jejak Trauma Perang Suku Bagi Kaum Muda Muslim Filipina

Perang membuat masa depan kaum muda Muslim suram.

AP Photo/Bullit Marquez
Muslim Mindanao menggelar shalat berjamaah dekat Istana Presiden Filipina di Manila, saat berunjuk rasa menuntut kemerdekaan Bangsa Moro. Jejak Trauma Perang Suku Bagi Kaum Muda Muslim Filipina
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, MINDANAO --  Kesepakatan damai antara pemerintah dan ekstremis terbesar di Filipina menawarkan secercah harapan bagi anak-anak muda yang masih terpengaruh oleh siklus kekerasan perang klan.

Baca Juga

Bahkan ketika kesepakatan damai membawa harapan bagi perdamaian di Mindanao, siklus kekerasan perang klan meninggalkan trauma yang berkepanjangan pada pemuda Muslim.

Rido, istilah lokal untuk perang klan atau perkelahian antara keluarga dan kelompok kekerabatan, ditandai dengan aksi kekerasan pembalasan yang berulang yang dipicu oleh pelanggaran nyata atau sekadar dugaan. Sasaran pembalasan bisa kepada individu atau seluruh keluarga. Hal ini memicu siklus kekerasan antargenerasi, menyebabkan ketakutan dan kecemasan di kalangan pemuda selama bertahun-tahun.

“Perselisihan klan lokal memengaruhi banyak aspek kehidupan kaum muda mereka baik secara fisik, psikologis, ekonomi, dan bahkan sosial-budaya. Impian mereka hancur. Rido membahayakan masa depan pemuda Mindanao dan Muslim,” kata pejabat eksekutif Reconciliatory Initiatives for Development Opportunities (RIDO) Inc., sebuah LSM pembangun perdamaian yang berfokus pada perbaikan kesenjangan sosial akibat perang suku, Abdul Hamitullah Atar.

Sebagai seorang anak, Haifah Dida Agun tidak dapat menghitung berapa kali dia harus meninggalkan rumah keluarganya hanya untuk berlindung dari kekerasan dan perseteruan antara dua klan yang bertikai di desa mereka di Lanao del Sur, Mindanao.

Meskipun keluarganya tidak terlibat langsung dalam perseteruan tersebut, pada usia 15 tahun, Dida Agun harus belajar cara menggunakan senjata api untuk melindungi dirinya sendiri dan memastikan keselamatan adik-adiknya.

“Ada saat ketika kami harus menggali lubang di dalam rumah kami. Ketika ada tembakan, kami akan turun ke sana hanya untuk berjaga-jaga. Itu adalah situasi yang sangat menegangkan bagi saya dan keluarga saya,” kata Dida-Agun, dilansir di Deutsche Welle.

 

Perkelahian di antara anggota klan pecah di sekolah mereka. Sekolah pun tak lagi dapat dijadikan sebagai tempat perlindungan.

“Kami harus bersembunyi. Kami tidak punya kebebasan. Kami tidak bisa keluar. Kami bahkan tidak bisa bersekolah. Itu benar-benar mempengaruhi impian kami memiliki kehidupan yang damai dan normal,” kata Dida-Agun.

Dinamika klan yang bergejolak dan persaingan politik berkontribusi pada ketidakstabilan di wilayah selatan Mindanao, dengan persilangan kekerasan perang klan dan pemberontakan yang melumpuhkan komunitas. Pada Mei 2020, pemerintah melaporkan perang suku telah membuat lebih dari 4.500 warga sipil mengungsi.

Pada 2009, persaingan politik antara dua keluarga, Mangudadatus dan Ampatuan, mengakibatkan kematian 58 orang, termasuk anggota pers lokal. Pembantaian itu dipandang sebagai kasus kekerasan terkait pemilu terburuk dalam sejarah Filipina.

Menurut Direktur Pusat Riset dan Pengembangan Mindanao State University dan penulis buku Gender and Conflict in Mindanao Rufa Guiam, rido membawa perjuangan laki-laki dan perempuan yang berbeda. Ketika anggota keluarga laki-laki menjadi target utama, mobilitas mereka terbatas dan mereka tidak dapat bekerja atau melakukan tugas yang diharapkan sebagai pencari nafkah.

Hal ini memberikan beban yang lebih besar bagi perempuan untuk menghasilkan pendapatan, selain tugas mereka mengurus rumah dan anggota keluarga. “Dalam banyak kasus, hal itu menyebabkan depresi di kalangan pria. Wanita menjadi penyerap depresi dan frustrasi pria,” kata Guiam.

Seperti Dida-Agun, Jamal Baulo (29 tahun) juga terjebak dalam perang suku antara dua keluarga di lingkungannya. Kekerasan dan konflik yang berulang di komunitas mereka membuat Baulo merasa putus asa tentang masa depannya dan masa depan Mindanao.

 

“Saya selalu bertanya pada diri sendiri: Apakah pemimpin kami peduli dengan kami? Kami tidak aman dan selalu ada ketakutan,” kata Baulo.

Sementara kengerian hidup melalui perang klan semasa kecil mereka masih membekas, hal itu juga memotivasi Dida Agun dan Baulo untuk mengadvokasi perdamaian agar anak-anak muda muslim dapat bercita-cita memiliki masa depan yang bebas dari kekerasan.

Dida Agun dan Baulo sama-sama berharap janji perdamaian yang diantarkan oleh gencatan senjata antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang ditandatangani pada 2014, juga akan membuka jalan bagi penyelesaian perang klan tanpa kekerasan.

"Bagaimanapun, kita semua bersaudara," kata Dida-Agun.

Dida-Agun saat ini bekerja di sebuah organisasi non-pemerintah dan bersama dengan pemerintah daerah, membantu masyarakat menyelesaikan keluhan mereka melalui intervensi non-kekerasan. Sementara itu, Baulo menggunakan kekuatan gabungan narasi pribadi dan penceritaan visual untuk mendidik kaum muda Muslim tentang dampak negatif rido yang luas.

Film Baulo menyoroti pergulatan internal sebuah keluarga yang terkena dampak rido yang diceritakan melalui persahabatan dua pemuda. Pertunjukan film diselenggarakan di sekolah-sekolah dan di antara kelompok pemuda non-pemerintah.

“Film adalah alat ampuh untuk memberikan dampak yang baik bagi kaum muda. Film dapat memengaruhi keyakinan dan prinsip hidup mereka dan itu akan memengaruhi cara mereka memandang masalah rido di komunitas kami,” kata Baulo.

 
Berita Terpopuler