Kisah Mualaf: Saya Ingin Tahu Mengapa Muslim Bahagia

Abdur-Raheem Green memeluk Islam pada 1988.

About Islam
Abdur-Raheem Green adalah seorang pendakwah. Orang Inggris kelahiran Tanzania itu memeluk Islam pada 1988. Kisah Mualaf: Saya Ingin Tahu Mengapa Muslim Bahagia
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Abdur-Raheem Green memiliki perawakan kurus, berambut pirang, bermata hijau, dan berusia paruh baya. Sekilas, ia tampak seperti karakter langsung dari film Hollywood Ben Hur.

Baca Juga

Orang Inggris kelahiran Tanzania itu memeluk Islam pada 1988 dan telah menjadi praktisi dakwah di Inggris sejak saat itu. Dia memiliki tampilan yang langsung membangkitkan perbandingan dengan penggambaran populer Nabi Yesus dalam citra Eropa.

Pertemuan Green dengan Islam terjadi di Mesir, di mana dia menghabiskan sebagian besar liburannya. Dia sempat memberi kuliah di Bangalore pada awal Oktober tentang Wahyu Terakhir Tuhan.

Dilansir di About Islam, Kamis (8/12/2022), ia pun membagikan kisahnya hingga memeluk Islam dan pengalamannya selama ini. Green lahir dari orang tua Inggris di Darussalam, Tanzania pada 1964.

Ayahnya, Gavin Green, adalah seorang administrator kolonial di kerajaan Inggris yang masih ada. Ia kemudian bergabung dengan Barclays Bank pada 1976 dan dikirim ke Mesir untuk mendirikan Bank Barclays Mesir.

Green mengenyam pendidikan di Sekolah Biara Katolik Roma yang terkenal, Ampleforth College dan melanjutkan studi sejarah di Universitas London. Namun, ia meninggalkan pendidikannya sebelum selesai.

Saat ini, ia bekerja dengan sebuah perusahaan media Islam di Inggris dan terlibat dalam kegiatan dakwah. Termasuk di antaranya adalah melakukan ceramah tentang Islam di Hyde Park yang terkenal di London. Berikut petikan wawancara dengan Green.

 

1. Apa yang membuatmu tidak melanjutkan pendidikan?

Saya benar-benar kecewa dengan sistem pendidikan Inggris. Itu benar-benar Eurosentris dan memproyeksikan sejarah dunia dengan cara yang menunjukkan peradaban dapat mencapai kejayaan penuh dan puncaknya di Eropa.

Di Mesir, saya melihat beberapa reruntuhan megah yang hanya dapat diakses oleh para arkeolog. Saya menemukan interpretasi Barat tentang sejarah benar-benar keliru.

Saya memulai studi pribadi tentang sejarah orang lain di dunia, berbagai kitab suci dan filsafat. Saya berlatih agama Buddha selama hampir tiga tahun meskipun tidak pernah secara formal memeluknya.

Mempelajari Alquran langsung menarik minat saya. Pesannya memiliki daya tarik magis dan saya semakin yakin bahwa itu adalah wahyu ilahi. Saya percaya hanya Allah yang membimbing saya, tidak ada yang lain. Saya tidak tahu apa yang membuat saya pantas mendapatkan Islam.

2. Tapi adakah hal spesifik yang menarik bagi Anda?

Saya tidak puas dengan agama yang saya anut sejak usia delapan tahun. Konsep yang mereka ajarkan kepada kami melalui sajak, seperti Salam Maria, sama sekali tidak dapat saya terima.

Di satu sisi, orang-orang di agama saya terdahulu menggambarkan Tuhan itu kekal dan tak terbatas, namun mereka tidak merasa menyesal menganggap kelahiran Tuhan dari rahim Maria. Ini membuat saya berpikir Maria pasti lebih besar dari Tuhan.

Baca juga : Liga Arab dan OKI Kutuk Agresi Israel terhadap Rakyat Palestina

Kedua, konsep tentang trinitas membingungkan saya. Kemiripan seperti daun maple Kanada merupakan satu meskipun ada tiga bagian, tampaknya sama sekali tidak dapat diterapkan.

Kegentingan datang ketika seorang Mesir mulai menanyai saya. Terlepas dari kebingungan saya tentang kepercayaan itu, saya mencoba menjadi dogmatis seperti yang dilakukan kebanyakan orang kulit putih, kelas menengah, dan orang Inggris.

Saya bingung ketika dia berusaha membuat saya menerima bahwa Tuhan mati disalib, dengan demikian mengungkapkan kekosongan klaim tentang keabadian dan ketidakterbatasan Tuhan. Saya sekarang menyadari saya percaya pada konsep yang absurd seperti dua tambah dua sama dengan lima selama masa remaja saya. Saya menemukan orang Eropa banyak berjuang untuk menikmati hidup. Mereka tidak memiliki tujuan hidup yang lebih tinggi.

 

3. Perbedaan apa yang Anda temukan antara kehidupan di Mesir dan Inggris?

Orang Mesir miskin, menderita, kesulitan, namun bahagia. Mereka meninggalkan segalanya di tangan Tuhan dan melupakan kesengsaraan mereka saat kembali ke rumah. Doa membantu mereka menempatkan kekhawatiran mereka di hadapan Tuhan. Saya melihat kerendahan hati serta keintiman dalam ibadah Islam.

Tetapi di Inggris saya menemukan orang-orang yang dangkal dan materialistis. Mereka mencoba bahagia tetapi kebahagiaan itu dangkal. Doa mereka menggabungkan nyanyian, tarian dan tepuk tangan, tetapi tidak ada kerendahan hati, atau keintiman dengan Tuhan.

4. Bagaimana menemukan kehidupan Anda sebagai seorang Muslim di Inggris?

Jiwa Barat menekankan individualitas seseorang yang berbeda dengan Islam. Setiap Muslim yang taat merasa terganggu dan terus-menerus dibombardir oleh seks dan seksualitas. Sebagian besar gadis kehilangan keperawanan pada usia 13 tahun dan normal bagi anak perempuan untuk memiliki tiga hingga empat pacar.

Dilema yang dihadapi Muslim di Barat adalah bagaimana berintegrasi dengan masyarakat yang begitu kental dengan seks, obat-obatan, minuman, dan keintiman seksual. Dan jika tidak ada integrasi, lalu bagaimana cara menyelamatkan diri dari ghettoisasi.  

Baca juga : Senjata Terbaik Melawan Kesedihan dan Kekhawatiran

 
Berita Terpopuler