RKUHP Disahkan, Indonesia Dinilai akan Alami Kemerosotan Demokrasi

KUHP baru dinilai kian membahayakan demokrasi dan perlindungan kebebasan berekspresi.

Republika/Thoudy Badai
Massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi berkemah di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Dalam aksinya, mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan DPR RI, karena dinilai proses pembentukannya tidak partisipatif dan transparan serta memiliki pasal-pasal yang bermasalah yang berpotensi mengancam hak-hak masyarakat. Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Wahyu Suryana, Febrianto Adi Saputro, Antara

Baca Juga

DPR akhirnya mengesahkan rancangan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidanan (RKUHP) menjadi undang-undang lewat rapat paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 pada Selasa (6/12/2022). RKUHP disahkan meski sempat menuai protes sebagian peserta rapat.

"Kami akan menanyakan pada setiap fraksi, apakah rancangan undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat paripurna dijawab setuju oleh anggota dewan yang hadir, Selasa (6/12/2022).

Debat panas sempat terjadi saat rapat paripurna pengesahan RKUHP menjadi UU KUHP yang digelar DPR dan dihadiri pemerintah itu. Bahkan, salah satu anggota DPR dari Fraksi PKS akhirnya meninggalkan ruangan rapat.

Kejadian itu melibatkan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad dan anggota DPR dari Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis. Seusai sidang, Dasco mengatakan, sejak awal mereka sudah membaca pendapat fraksi-fraksi dalam rapat pengambilan keputusan tingkat satu.

Ia menekankan, semua fraksi sudah dibaca dan semua fraksi setuju dan sepakat untuk dibawa ke pengambilan keputusan tingkat dua pada rapat paripurna. Namun, Dasco melihat, terdapat fraksi yang walaupun setuju, masih memberikan catatan.

Setelah itu, Dasco memberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk menyampaikan catatannya. Termasuk, nanti sebagai pertanggungjawaban fraksi atau partai itu ke konstituen kalau dia sudah memberikan catatan sesuai yang diinginkan konstituen.

"Nah yang terjadi tadi adalah itu bukan catatan yang diberikan, tapi meminta mencabut pasal, kalau tidak nanti mau gugat judicial review, ya itu silakan saja, malah mau ke luar dari ruangan," kata Dasco, Selasa.

Ternyata, lanjut Dasco, yang menyampaikan bukan pimpinan fraksi dan bukan pula anggota komisi terkait. Tapi, Anggota Komisi VIII dan mungkin tidak mengikuti dinamika di Komisi III sebagai tempat pengambilan keputusan tingkat satu.

"Saya sudah sampaikan, catatannya ternyata berbeda dengan catatan yang diterima, yang terjadi seperti itu tadi," ujar Dasco.

Sebenarnya, ia menerangkan, catatan-catatan seperti itu bisa saja sudah masuk dalam agenda pendapat dari fraksi-fraksi. Namun, Dasco menekankan, sebagai pimpinan DPR tentu berkewajiban memberi kesempatan mereka menyampaikan catatan.

"Nah, catatan itu yang tadi kami beri kesempatan untuk disampaikan, ternyata catatannya berbeda," kata Dasco.

Rapat Paripurna sendiri berakhir dengan kesepakatan seluruh fraksi-fraksi di Komisi III DPR untuk mengesahkan RKUHP menjadi UU KUHP. Setelah ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

 

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengatakan, pengesahan RKUHP ini seharusnya sudah sejak lama dilakukan. Mengingat, pembahasan sebenarnya sudah diinisiasi sejak zaman Presiden Soeharto.

Yasonna menuturkan, pengesahan RUU KUHP menjadi UU memang bukanlah sesuatu yang mudah. Dimulai dari ahli-ahli yang berkumpul pada era Presiden Soeharto, lalu dimasukkan pada era Presiden SBY dan diajukan pagi pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sempat mendapatkan protes terhadap 14 poin, RUU KUHP yang tidak diteruskan pembahasan dalam tingkat dua kembali dibahas. Ia menerangkan, Presiden Jokowi yang memerintahkan untuk melakukan sosialisasi ke seluruh penjuru Tanah Air.

"Tentu tidak ada gading yang tak retak. Apalagi, kita masyarakat multikultur, masyarakat multietnis. Belanda saja yang homogen memerlukan waktu panjang untuk menyelesaikan undang-undang," kata Yasonna, Selasa.

"Yang jelas, pemerintah tidak berkeinginan membungkam kritik," ujar Yasonna.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menolak anggapan RKUHP disusun terburu-buru. Edward mengatakan, rancangan awal dari UU KUHP ini sudah mulai dibahas sejak 59 tahun yang lalu.

Ia mempersilakan kalau ada pihak-pihak yang masih tidak terima dengan UU KUHP yang disahkan untuk datang dan berdebat langsung dengan tim ahli.

"Tidak ada terburu-buru, kalau cepat dibilang terburu-buru, lambat dibilang lambat. Jadi tidak ada terburu-buru, hanya orang yang ahistoris saja yang mengatakan ini terburu-buru, tolong ini dicatat," kata Edward, Selasa (6/12).

In Picture: Tok! DPR RI Kekeh Sahkan Rancangan KUHP Jadi Undang-Undang

 

Sejumlah Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang. Republika/Prayogi - (Republika/Prayogi)

 

 

Sejumlah lembaga masyarakat menyuarakan penolakannya terhadap pengesahan RKUHP. Ketua Dewan Pengurus Public Virtue, Usman Hamid, mengatakan, alih-alih membawa semangat demokratisasi dan dekolonisasi, KUHP yang baru justru merupakan bentuk rekolonisasi dan reautokratisasi. 

"Demokrasi Indonesia akan kian mengalami kemerosotan dengan adanya pasal-pasal bermasalah tersebut," kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Selasa. 

Direktur Amnesty International Indonesia itu mengatakan proses legislasi nasional sepanjang 2019 hingga 2022 seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Mineral dan Batubara, hingga UU Hukum Pidana, dibuat tanpa melalui partisipasi dan konsultasi publik yang bermakna. Usman mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review UU Cipta Kerja yang disahkan tanpa proses partisipasi yang bermakna. 

“Tidak ada proses dialog dan deliberasi yang demokratis," tegasnya. 

PVRI juga menyesalkan keputusan pemerintah bersama DPR yang mengesahkan KUHP yang baru tanpa revisi komprehensif dengan mempertimbangkan asas-asas hak asasi manusia dan demokrasi. KUHP baru dinilai bukti nyata bahwa pemerintah terus menjalankan proses legislasi yang tidak demokratis, partisipatif, dan akuntabel. 

PVRI juga menilai KUHP yang baru akan kian membahayakan kehidupan demokrasi dan perlindungan kebebasan berekspresi bagi kalangan masyarakat sipil. Hal senada juga disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum.

"Ada sejumlah pasal bermasalah seperti penghinaan presiden, demonstrasi yang wajib pemberitahuan hingga pemidanaan atas kegiatan yang dianggap berbau ajaran Marxisme. Ini eksesif, karet dan semua bisa kena," ujarnya. 

Aktivis Kontras, Rivanlee Anandar berpendapat, bahwa setidaknya ada tiga permasalahan utama terhadap rumusan KUHP sejak 2015 yaitu pasal yang multitafsir, realitas lapangan, dan dorongan pelibatan yang luas bagi korban dan kelompok terdampak. Meski dicanangkan untuk disahkan sejak lama, KUHP yang baru adalah produk hukum yang cacat karena semua usul perbaikan masyarakat sipil terus dipinggirkan dan tidak ditampung.

Sementara itu Pengajar STHI Jentera Bivitri Susanti mengungkapkan yang selama ini dianggap sebagai perbaikan tim perumus adalah mencari jalan tengah dan seperti wasit. Padahal pemerintah harusnya menegakkan negara hukum dengan basis hak asasi manusia.

"Setelah disahkan, upaya yang mungkin ditempuh oleh masyarakat sipil adalah melalui judicial review di MK. Tetapi kecenderungan legislasi belakangan meletakan MK seolah-olah sebagai keranjang sampah," ungkapnya. 

 

 

RKUHP Ancam Kebebasan Pers - (infografis republika)

Di antara pasal-pasal dalam RKUHP yang dinilai terkait dengan iklim demokrasi adalah terkait penghinaan terhadap pemerintahan dan lembaga negara dan pasal tentang kegiatan menyampaikan pendapat dan unjuk rasa. Terkait hal ini, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari menilai ada perbedaan signifikan dalam draf perubahan terakhir RKUHP pada 24 November 2022 lalu jika dibandingkan versi 2019.

 

Dalam draf terbaru, tulisan atau lisan menghina pemerintahan atau lembaga negara dipidana pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan. Atau pidana denda paling banyak kategori dua.

Dalam ayat berikutnya, jika delik penghinaan itu berakibat terjadinya kerusuhan dipidana paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori empat. Dengan penambahan, pasal ini dijadikan delik aduan, sehingga tidak sembarangan orang bisa membuat aduan.

"Polisi tidak bisa membuat aduan orang biasa tidak bisa membuat aduan. Yang bisa membuat aduan dalam ayat berikutnya kita buat menjadi hanya pimpinan lembaga negaranya saja membuat aduan tertulis," kata Taufik, Rabu pekan lalu.

Contoh, penghinaan terhadap Mahkamah Agung (MA) yang bisa membuat aduan tertulis ini hanya Ketua MA. Artinya, tidak bisa Hakim Agung Panitera, pejabat-pejabat MA atau sembarangan orang yang bisa membuat aduan tersebut.

"Kemudian, diberikan juga penjelasan mengenai pembedaan dengan kritik seperti apa serta bagaimana pasal ini tetap melindungi demokrasi itu semua ada di dalam penjelasan 240 ini," ujar Taufik.

Terkait pasal tentang penyerangan kehormatan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, ia mengaku sejak awal meminta pasal ini dihapuskan. Sebab, pasal serupa sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Pasal 134 KUHP.

Tetapi, pemerintah menganggap pasal ini harus tetap ada karena menurut pemerintah rumusannya berbeda. Perbedaan terletak pada pasal ini bukan delik penghinaan, tapi menyerang kehormatan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Kemudian, pasal ini bukan delik biasa, tapi delik aduan. Artinya, hanya presiden dan wakil presiden saja yang dapat mengadukannya ke polisi bila ada perbuatan yang dianggap melanggar pasal ini dan penjelasannya diberikan sedemikian rupa.

"Sama seperti penjelasan yang ada di 240 bahwa penjelasan ini membedakan kritik dan tetap menjaga nilai-nilai demokrasi dan sebagainya," kata Taufik.

Adapun, terkait pasal 256 dalam draf RKUHP teranyar, disebutkan pasal itu bukan delik terkait unjuk rasa, melainkan lebih merupakan delik terganggunya ketertiban umum. Taufik menyebut, pasal tersebut ditujukan agar tiap unjuk rasa yang diselenggarakan berkoordinasi bersama pihak aparat sehingga tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, maupun kepentingan pihak lain.

"Sekarang yang paling penting, pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini yakni semangat dalam RKUHP bukan semangat punitive, karena rencana KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative," katanya.

Untuk itu, Taufik mengatakan pihak pemerintah maupun DPR perlu mensosialisasikan pasal tersebut maupun pasal dalam RKUHP lainnya kepada aparat penegak hukum agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya dan lebih selektif dalam mengimplementasikannya.

"Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya," ucapnya.

Dia menggarisbawahi bahwa materi yang disiapkan dalam penyusunan draf RKUHP pun sudah diperhitungkan sedemikan rupa. Sehingga, problemnya terletak pada aspek implementasi nanti setelah RKUHP disahkan menjadi undang-undang.

"Problemnya di implementasi, bukan di substansi materi, tapi implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini, yang kita perbaiki bagaimana implementasi ini dengan pemahaman yang benar," katanya pula.

Dalam draf RKUHP versi 30 November, Pasal 256 berbunyi, "Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".

 

 
Berita Terpopuler