Ketika Islamofobia Dianggap Normal dan Dampaknya yang Semakin Global

Islamofobia masih menjadi hal yang mengkhawatirkan di berbagai negara

Christophe Petit/EPA
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia (ilustrasi). Islamofobia masih menjadi hal yang mengkhawatirkan di berbagai negara
Rep: Mabruroh Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Andrew Leak, pria yang baru-baru ini mengebom pusat pemrosesan migran di Inggris, secara terbuka menyatakan bahwa dia ingin menyakiti umat Islam. Dalam unggahan terakhirnya di Twitter, sebelum penyerangan, dia menulis "Kami akan melenyapkan mereka anak-anak Muslim."

Baca Juga

Sementara yang lain menduga bahwa pelaku memiliki masalah kesehatan mental. Hal yang sama juga disebut polisi yang menyelidiki insiden tersebut, mengakui bahwa pelaku dimotivasi ideologi teroris sayap kanan yang ekstrim.

“Kami tampaknya telah mencapai titik kritis di Eropa. Normalisasi Islamofobia dalam wacana politik dan media telah membantu menciptakan iklim intoleransi yang berbahaya.”

Sentimen anti-Muslim dan kejahatan rasial telah melonjak di seluruh benua sehingga politisi dari 46 negara terpaksa menyusun resolusi di Majelis Parlemen Dewan Eropa bulan lalu.

Resolusi tersebut menuduh pihak berwenang di negara-negara Eropa menormalkan diskriminasi terhadap Muslim dan menyerukan tindakan untuk mengatasi Islamofobia sebagai bentuk rasisme.

“Resolusi ini harus menjadi peringatan. Hukum, kebijakan, dan praktik rasis tidak memiliki tempat di Eropa,” kata Direktur Regional Amnesty Internasional untuk Eropa, Nils Muižnieks dilansir dari New Arab, Rabu (22/11/20022).

Peringatan suram ini datang pada saat bahasa yang menghasut tentang Muslim, Islam, dan migrasi telah meningkatkan kejahatan rasial terhadap Muslim dan mereka yang dianggap beriman.  

Tindakan kekerasan ini seringkali tidak didokumentasikan secara resmi atau diselidiki dengan baik. Lebih buruk lagi, banyak negara mengawasi Muslim dengan berbagai tindakan kontra-terorisme yang beroperasi di luar sistem peradilan pidana dan perlindungan yang memadai.

Xenofobia dan Islamofobia di Eropa terus berkembang dan menjadi arus utama melalui pemilihan politisi seperti Georgia Meloni, pemimpin koalisi partai sayap kanan di Italia dan Jimmie Åkesson, pemimpin Demokrat Swedia yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan nasional.

Menurut laporan tahunan Islamofobia Eropa terbaru menyebutkan, Islamofobia adalah masalah mendesak di seluruh benua. Laporan tersebut memeriksa diskriminasi anti-Muslim di 27 negara Eropa dan mencatat bahwa Islamofobia telah dinormalisasi dan dilembagakan dalam demokrasi liberal.

Hal ini terlihat dari maraknya insiden Islamofobia dan diskriminasi sistemik terhadap umat Islam di berbagai bidang kehidupan, mulai dari pelarangan pakaian simbolis agama, pekerjaan, perawatan kesehatan, pendidikan dan sistem peradilan.  

Baca juga: Dulu Anggap Islam Agama Alien, Ini yang Yakinkan Mualaf Chris Skellorn Malah Bersyahadat 

Di Prancis, insiden anti-Muslim paling sering dikaitkan dengan perusakan tempat ibadah Muslim, pusat budaya, kuburan, dan serangan fisik terhadap orang.

Sentimen anti-Muslim secara implisit didorong Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang mengadopsi Islamofobia sebagai bagian dari kebijakan dan strategi pemilihan pemerintahnya.  

Baik Jerman dan Spanyol telah mengalami lonjakan kejahatan rasial Islamofobia selama lima tahun terakhir dan kasus serupa diidentifikasi di Swedia tahun ini, ketika partai sayap kanan Stram Kurs mengancam akan membakar Alquran di depan umum, dan menyebabkan bentrokan kekerasan antara pendukung dan pengunjuk rasa.

Di Belgia, wanita telah menerima sebagian besar serangan Islamofobia dan rasis, sementara di Finlandia, sebagian besar kejahatan rasial disebabkan oleh asal-usul etnis dan agama.

Pelembagaan sikap anti-Muslim yang merayap di seluruh benua telah dikaitkan dengan pertumbuhan gerakan jalanan Islamofobia dan partai politik yang telah mendapatkan dukungan yang signifikan.

Yang mengkhawatirkan, narasi sayap kanan telah diapropriasi oleh beberapa negara Eropa sehingga menciptakan umpan balik yang diperkuat di banyak media. 

Ini merasionalisasi kebijakan sosial dan sekuritisasi yang semakin kejam yang mempertahankan gagasan bahwa Muslim adalah 'musuh di dalam'.   

Pergeseran menuju Islamofobia yang dilembagakan ini juga telah diidentifikasi EU's Agency for Fundamental Rights (FRA) Directive (UE) 2017/541 on Combating Terrorism, Impact on Fundamental Rights and Freedoms dan menegaskan bahwa strategi kontra-terorisme terutama memengaruhi hak asasi umat Islam di Uni Eropa.

Dinamika konvergensi meningkatnya sentimen anti-migran dan Islamofobia telah menjadi transnasional. Di Amerika Serikat, banyak Islamofobik menganut Kristen evangelis dan nasionalisme supremasi kulit putih.

Muslim Rohingya ditekan negara di Myanmar, Muslim Uyghur ditindas pemerintah China di Xinjiang dan Muslim di India dan Kashmir telah dipinggirkan dan diserang di beberapa negara bagian yang diperintah oleh partai BJP Islamofobia yang berkuasa.

Baca juga: Penyebutan Nabi Muhammad SAW dalam Taurat dan Permintaan Nabi Musa AS

Ideologi Hindutva yang menginspirasi BJP telah menyebar ke Inggris dan terus meningkatkan ketegangan antara beberapa komunitas Muslim dan Hindu di kota-kota seperti Leicester. 

Pendukung supremasi Hindutva percaya bahwa umat Islam adalah orang-orang inferior yang merupakan ancaman bagi umat Hindu di India.

Salah satu klaim organisasi Hindutva adalah bahwa “Hindufobia”, bukan Islamofobia, adalah ancaman nyata. 

Ketegangan baru-baru ini di Leicester antara pemuda Hindu dan Muslim membara selama berbulan-bulan dan memuncak setelah pertandingan kriket antara India dan Pakistan di Dubai pada akhir Agustus 2022.

Kemenangan tim India membuat beberapa pendukung Hindutva berbaris melalui jalan-jalan Leicester, meneriakkan “matilah Pakistan" dan mengintimidasi penduduk di daerah yang mayoritas Muslim. Hal ini menyebabkan kelompok saingan pemuda Muslim menghadapi mereka.

Berita palsu di media sosial semakin menghasut orang-orang di kedua sisi dan mengancam akan menyebarkan ketegangan ke kota-kota lain seperti Birmingham.

Menurut penyelidikan BBC, lebih dari setengah dari 200 ribu tweet yang menghasut berasal dari akun yang berasal dari India, dengan tagar #Leicester, #HindusUnderAttack, dan #HindusUnderattackinUK.  

Negara Inggris juga terlibat dalam terciptanya ketegangan ini karena Boris Johnson telah mengundang Perdana Menteri Modi ke Inggris untuk kunjungan kenegaraan. Padahal Modi telah dilarang hingga 2012 karena perannya dalam pembantaian Muslim di Gujarat pada 2002 lalu.

Mantan Menteri Dalam Negeri Priti Patel dan Perdana Menteri Rishi Sunak saat ini juga telah menunjukkan dukungan untuk pemerintah BJP.

Yang tak kalah meresahkan adalah aliansi antara preman Islamofobia Tommy Robinson dan kelompok BJP di Inggris, yang diilustrasikan dalam video baru-baru ini.

Di Inggris, badan amal anti-fasis Hope Not Hate mencatat 165 insiden yang dilakukan oleh aktivis sayap kanan dan anti-pengungsi di fasilitas imigrasi sepanjang tahun ini.

Dikatakan demonisasi pemerintah terhadap pencari suaka dan pengungsi mengarusutamakan retorika anti-migran dan mendorong kelompok sayap kanan untuk menargetkan orang-orang ini.

Andrew Leak juga dikenal sebagai pengagum Robinson. Antara tahun 2021-2022, di Inggris Raya, 42 persen pelanggaran kejahatan kebencian agama dilakukan terhadap Muslim tetapi angka sebenarnya kemungkinan lebih tinggi karena beberapa korban tidak melaporkannya ke polisi.

Meningkatnya Islamofobia selama dua dekade terakhir dapat dilihat sebagai salah satu warisan utama dari "Perang Melawan Teror", yang memicu reaksi berantai yang memicu pertumbuhan terorisme, ketidakstabilan, dan perang melawan negara-negara Muslim.

Hal ini pada gilirannya telah menghasilkan peningkatan pengungsi dan migran yang bepergian ke Eropa.

Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama 

November menandai Bulan Kesadaran Islamofobia, dan meskipun ini merupakan inisiatif penting melawan Islamofobia bukanlah satu-satunya tanggung jawab umat Islam. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh masyarakat.

Upaya untuk memerangi Islamofobia oleh kelompok advokasi komunitas dan membangun aliansi lintas batas sosial diperlukan.

Penelitian menunjukkan bahwa interaksi positif dengab Muslim lebih mungkin menyebabkan perubahan sikap dan perilaku yang menguntungkan.

Namun, politisi harus berhenti menggunakan retorika diskriminatif terhadap umat Islam dan memastikan bahwa semua warga negara dapat hidup bebas dari prasangka. Institusi media yang mempromosikan narasi yang memecah belah perlu ditantang dan platform progresif alternatif harus didukung.

 

 

Sumber: newarab   

 
Berita Terpopuler