Kasus Gagal Ginjal Akut Jadi Momentum Upaya Perberat Sanksi Kejahatan Farmasi

UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi.

ANTARA/Yusuf Nugroho
Apoteker menunjukan obat sirop di salah satu apotek di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (21/10/2022). UU tentang Kesehatan saat ini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya memperberat sanksi kejahatan farmasi setelah merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro, Bambang Noroyono

Baca Juga

Advokat atas nama Rega Felix menggugat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pascamerebaknya kasus gagal ginjal akut di Tanah Air. Hal ini disebabkan ringannya sanksi bagi pelaku kejahatan farmasi menurut Rega. 

Rega menyoal Pasal 196 UU Kesehatan dalam perkara Nomor 106/PUU-XX/2022 itu. Isi Pasal 196 UU Kesehatan : “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memgedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Rega menyebutkan, Pasal 196 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sebab, sediaan farmasi yang tersedia di masyarakat ternyata mengakibatkan kematian massal secara meluas sehingga perbuatan mencemari sediaan farmasi demikian sepatutnya dikategorikan sebagai kejahatan.

Menurutnya, kejahatan yang berdampak multidimensional tersebut menyangkut rasa kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat non derogable rights sebagaimana termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

"UU seharusnya menjadi alat pencegah dari kejadian yang tidak diinginkan dalam masyarakat, namun pasal a quo hanya memberikan sanksi ringan sehingga pelaku kejahatan terhadap sediaan farmasi tidak takut untuk melakukan perbuatannya, padahal dampak atas perbuatannya sangat masif dan menciderai rasa kemanusiaan," kata Rega dalam risalah sidang yang dikutip pada Kamis (17/11/2022). 

Rega memandang rasa takut luar biasa di masyarakat telah secara aktual terjadi secara luas terkait merebaknya kejadian kematian anak akibat gagal ginjal akut. Hal ini mempengaruhi Pemohon dan keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Rasa takut ini disebabkan obat-obat esensial yang umum beredar di masyarakat ternyata menjadi penyebab kematian anak-anak. 

"Kejadian ini terlihat dari ditariknya obat-obatan berbentuk sirop dari peredaran, padahal obat-obat tersebut esensial bagi anak-anak," ujar Rega. 

Untuk itu, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan frasa “dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (sepuluh) tahun” dalam Pasal 196 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling  lama 20 (dua puluh) tahun.”

Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan mengatakan perlu untuk mencantumkan PMK 2/2021 yang merupakan pedoman dalam menguraikan kewenangan Mahkamah dalam menyelesaikan perkara a quo. Berikutnya, Pemohon juga diharapkan dapat menyertakan pada bagian kedudukan hukumnya kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan khusus dibandingkan dengan warga negara lain sehingga perlu mendapat perhatian lebih utama.

"Harusnya bisa dijelaskan apa yang menjadi spesifik dari kerugian Pemohon sehingga terlihat kerugian konstitusional Pemohon. Dan mengenai ancaman hukuman yang diinginkan Pemohon atas ancaman pidana ini perlu diperhatikan karena tidak dapat begitu saja ditentukan tanpa adanya penelitian lebih lanjut," ucap Manahan.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel mengingatkan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji harus dielaborasi lebih jauh dengan norma yang diujikan. Selain itu, Daniel meminta agar Pemohon mempelajari lebih lanjut aturan pidana, mulai dari aspek-aspek pidana hingga pelaksaaannya yang menghendaki adanya penambahan lama pemidanaan atas suatu kejahatan yang bersifat kemanusiaan.

"Dalam Statuta Roma, ada beberapa kategori termasuk genosida dan kejahatan kemanusiaan yang juga disadur oleh hukum Indonesia. Maka, buatkan bangunan teorinya dari UU negara lain yang memperlihatkan aspek-aspek ini sehingga MK dapat mempedomaninya dengan lebih hati-hati dalam mencermati perkara ini," saran Daniel. 

 

Dalam keterangannya, pada Rabu (16/11), Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril, mengungkapkan, hingga kini total 199 korban meninggal akibat gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Sebanyak 14 pasien yang masih dirawat dalam masuk ke dalam kategori stadium III, stadium paling berat.

"Dia (14 pasien) masuk dalam kategori stadium III. Itu kan ada tiga stadium. Tiga ini paling berat. Berarti memang kerusakan ginjalnya cukup parah," ujar Syahril dalam konferensi pers, Rabu.

Syahril mengatakan, 14 pasien tersebut saat ini masih dirawat secara intensif di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Menurut Syahril, pasien-pasien tersebut tidak memiliki komorbid atau penyakit penyrta karena masih anak-anak.

"Sebetulnya tidak ada penyakit komorbid yang lain karena ini masih anak-anak semua. Masih perlu waktu untuk dilakukan perawatan-perawatan intensif. Mudah-mudahan dengan ada obatnya ini akan bisa membantu. Mohon doanya," kata dia.

Kemenkes mengungkapkan, tidak ada penambahan jumlah kasus penyakit GGAPA dalam dua pekan terakhir. Hingga 15 November 2022 pukul 16.00 WIB, kasus penyakit gagal ginjal akut berjumlah 324 kasus. Selain 199 pasien meninggal dunia, 111 pasien dinyatakan sembuh dan 14 pasien masih dilakukan perawatan intensif.

"Tidak ada pertambahan kasus (sejak 2 November 2022). Jadi alhamdulillah tidak ada pertambahan kasus sehingga tetap sebanyak 324 selama dua pekan terakhir ini," kata Syahril.

Terkait penyakit tersebut, pihaknya bersama dengan RSCM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), epidemolog, dan ahli forensik khusus toksikologi sudah memastikan penyebabnya lewat kajian dan penelitian yang mendalam. Di mana ditarik kesimpulan, kasus GGAPA yang terjadi kenaikannya mulai Agustus-Oktober disebabkan oleh intoksikasi zat etilen glikol dan dietilen glikol.

"Itu disebabkan karena intoksikasi zat etilen glikol dan dietilen glikol yang ada atau tercampur dalam obat sirop yang diminum oleh anak-anak," jelas Syahril.

Dengan hasil penelitian itu, pihaknya mengeluarkan pelarangan penggunaan obat-obat tertentu yang mengandung zat tersebut. Kemudian pihaknya dan BPOM juga menetapkan atau mengadakan obat antidotumnya. Gerak cepat tersebut dia katakan menghasilkan apa yang terjadi saat ini, yakni tidak adanya penambahan kasus lebih lanjut.

 

In Picture: Sosialisasi Penyakit Gagal Ginjal oleh Badut Nyentrik

Anggota komunitas Badut Nyentrik Cimahi Bandung Sauyunan (Necis) bersama guru melakukan kampanye kewaspadaan penyakit gagal ginjat akut di MI Darussalam, Jalan Caringin, Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jumat (21/10/2022). Kegiatan tersebut digelar dalam rangka kampanye kesadaran dan kewaspadaan serta ungkapan peduli terhadap bahaya penyakit Gangguan Ginjal Akut Atipikal yang terjadi pada anak usia 0-18 tahun. Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

 

Pada Rabu (16/11/2022), Tim Gabungan Khusus Bareskrim Polri melaksanakan gelar perkara penyidikan kasus gagal ginjal akut anak yang telah mengakibatkan 199 korban meninggal dunia. Ketua Timsus Brigadir Jenderal (Brigjen) Pipit Rismanto mengungkapkan pihaknya sudah menetapkan satu tersangka korporasi.

"Gelar perkara sudah selesai. Hasilnya sudah ada tersangka,” kata Pipit saat dihubungi, Rabu.

Namun kata Pipit, pengumuman tersangka itu belum dapat disampaikan ke publik. Karena, kata Pipit, tim penyidikan masih perlu melaporkan kepada para pemimpin di Polri.

"Segera mungkin kita buat laporan dulu ke pimpinan untuk diumumkan. Tapi pimpinan kan lagi ada di G-20,” ujar Pipit menambahkan.

Namun ketika diminta kejelasan apakah tersangka yang sudah ditetapkan tersebut merujuk pada perusahaan yang selama ini menjadi objek penyidikan kepolisian? Pipit membenarkan. “Untuk sementara kan sudah jelas bahwa itu (tersangkanya) korporasi. Sementara seperti itu dulu ya,” ujar Pipit.

Dalam penyidikan kasus gagal ginjal akut pada anak ini, tim penyidik gabungan Bareskrim Polri hanya menerbitkan satu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap PT Afi Farma. Berbicara terpisah, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengungkapkan, selain SPDP terbitan Bareskrim Polri terhadap PT Afi Farma tersebut, lembaga penuntutan itu juga menerima dua SPDP lainnya dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM).

Menurut Ketut, dari BPOM, dua SPDP tersebut menjadikan dua perusahaan sebagai objek penyidikan. Yakni PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal Pharmaceutical Industries

“Yang baru kita (Kejagung) terima itu SPDP. Biasanya setelah SPDP ada penetapan tersangka dari hasil penyidikan,” kata Ketut, Rabu (16/11/2022).

Kejaksaan Agung (Kejagung) merencanakan penuntutan pidana maupun perdata terhadap perusahaan-perusahaan farmasi sebagai pihak penanggungjawab atas kasus 194 kematian gagal ginjal akut pada anak-anak. Dua jalur hukum tersebut bagian dari rencana strategi hukum menindak produsen obat-obatan yang mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Cemaran tersebut diduga sebagai penyebab utama ratusan kasus kematian pada anak-anak tersebut.

 

Kejagung juga berniat menempuh jalur pidana maupun perdata terhadap para perusahaan farmasi tersebut dalam kasus ini. Keputusan itu berdasarka hasil dari pertemuan antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito di Kejagung, pada Rabu (16/11/2022).

“Untuk perusahaan-perusahaannya, tadi disampaikan tidak hanya diterapkan pidana, tetapi juga gugatan perdata, atau ganti kerugian. Ganti rugi terhadap negara, ataupun ganti rugi terhadap keluarga korban,” kata Ketut, Rabu.

 

Gejala dan Cara Pencegahan Gagal Ginjal Akut pada Anak - (Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler