Faktor Meringankan dan Memberatkan Tuntutan Mayor Isak Sattu, Terdakwa 'Paniai Berdarah'

Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu dituntut 10 tahun penjara.

MgIT03
Ilustrasi Pelanggaran Berat HAM
Rep: Rizky Suryarandika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus pelanggaran HAM berat, Paniai, Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu dituntut 10 tahun penjara. Tuntutan itu dibacakan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Makassar pada Senin (14/11/2022).

Baca Juga

Tim JPU meyakini Isak terbukti bersalah dalam kasus HAM berat Paniai Berdarah yang terjadi pada 2014. Kejahatan yang dilakukan Isak disebut tim JPU pantas digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan. 

"Menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusian," kata JPU Emilwan Ridwan dalam persidangan itu. 

Tim JPU menuntut Isak melanggar dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan dakwaan kedua yaitu Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Selain itu, tim JPU memandang semua unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu dan kedua telah terbukti sah dan meyakinkan selama persidangan. Sehingga pada diri Isak tidak terdapat alasan pembenar dan pemaaf yang dapat menghapuskan pidana. 

"Maka terdakwa harus dinyatakan bersalah," tegas Ridwan. 

"Menjatuhkan pidana kepada Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu oleh karenanya dengan pidana penjara selama 10 tahun," ujar Ridwan, menambahkan. 

Tim JPU turut membeberkan sejumlah faktor meringankan dan memberatkan atas tuntutan itu. Dalam pertimbangan yang memberatkan, pertama, Isak dinilai tidak mampu mengetahui informasi peristiwa penyerangan oknum TNI pada 7 Desember di Pondok Natal.

Hal itulah yang membuat warga tidak terima dengan perlakuan oknum TNI itu sehingga pada tanggal 8 Desember warga berunjuk rasa ke lapangan Karel Gobay.  Kedua, Isak dinilai tidak mampu melakukan koordinasi dengan aparat Polres Paniai dan Polsek Paniai Timur hingga terjadinya aksi perusakan markas Koramil Enarotali dan Polsek Paniai Timur. 

"Tiga, (Isak) tidak mampu mengendalikan anggota TNI yang bertugas di Koramil Enarotali dalam peristiwa unjuk rasa pada 8 Desember yang menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 orang luka-luka," kata jaksa Ridwan. 

Berikutnya, JPU juga mempertimbangkan beberapa faktor yang pantas menjadi alasan meringankan hukuman terhadap Isak. Yaitu Isak belum pernah dihukum, bersikap koperatif sehingga proses sidang berjalan lancar, memberikan keterangan tidak berbelit-belit, sudah berusia lanjut, kepala keluarga. 

JPU kemudian mempertimbangkan pengabdian Isak selama 37 tahun kepada negara dan tidak pernah dihukum pidana serta disiplin militer selama menjalani karier kemiliterannya. 

"Terdakwa pernah terima Satya Lencana Kesetiaan," ujar Ridwan. 

Selain itu, JPU mempertimbangkan Isak yang mengabdikan diri sebagai pelayan agama di gereja setelah pensiun dari TNI.  "Sembilan, bahwa dari keterangan saksi, pada pokoknya terangkan bahwa Pemkab Paniai sudah memberikan bantuan uang 300 juta (kepada korban)," ucap Ridwan. 

Peristiwa Paniai Berdarah diketahui terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.

Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah  Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei.

 

12 Pelanggaran HAM Berat Masih Stagnan - (ANTARA)

 Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu hadir di Pengadilan Negeri Makassar pada Senin (14/11). Satu-satunya terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai itu akan mendengar pembacaan surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). 

 

Sidang yang disiarkan secara virtual ini dimulai sekitar pukul 09.20 WIB. Hakim ketua Sutisna Sawati awalnya menanyakan kondisi kesehatan Isak. 

 

"Saudara terdakwa sehat?" tanya Sutisna dalam persidangan itu. 

 

"Sehat," jawab Isak. 

 

Sutisna lantas menyampaikan bahwa sidang agenda pembacaan tuntutan sudah bisa dimulai. 

 

"Berarti sidang bisa kita lanjutkan kembali,sesuai dengan berita acara sidang yang lalu, hr ini acaranya adalah  pembacaan tuntutan dari penuntut umum," ujar Sutisna.

 

Sutisna juga menanyakan kesiapan JPU dalam pembacaan surat tuntutan ini. 

 

"Penuntut umum sudah siap?" tanya Sutisna. 

 

"Siap Yang Mulia," jawab JPU. 

 

"Terdakwa dengarkan baik-baik penuntut umum akan membacakan tuntutannya," ucap Sutisna. 

 

Selain itu, Sutisna mengimbau agar JPU mempercepat pembacaan surat tuntutan guna menghemat waktu. 

 

"Barangkali ada beberapa hal yang nggak perlu dibacakan, keterangan saksi, terdakwa karena sudah," ucap Sutisna. 

 

Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014. Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah 

Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.

 

Isak Sattu didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Isak juga diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Rizky Suryarandika

 Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu melampiaskan perasaannya dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Makassar pada Senin (14/11). Terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai itu menganggap tuntutan kepadanya tidak adil. 

 

Dalam sidang tersebut, Isak dituntut pidana penjara selama sepuluh tahun oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tim JPU meyakini Isak terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusian. 

 

"Atas tuntutan tersebut, terdakwa atau penasehat hukum punya hak ajukan pembelaan. Terdakwa bisa pembelaan sendiri atau serahkan sepenuhnya kepada penasehat hukum untuk pembelaan. Bagaimana?," kata Hakim ketua Sutisna Sawati dalam persidangan tersebut. 

 

"Sesuai koordinasi, saya serahkan sepenuhnya kepada penasehat hukum untuk susun pembelaan," jawab Isak. 

 

Sebelum menutup sidang, hakim sempat mempersilahkan Isak untuk memberi tanggapan. Isak memanfaatkan momentum itu untuk mengutarakan perasaannya. Isak mengungkapkan kekecewaannya atas sidang ini yang hanya menetapkan dirinya seorang sebagai terdakwa. 

 

"Dakwaan saya ini prematur dan dipaksakan, tidak adil karena dari pihak kepolisian atau aparat lain tidak ada yang dikenai sanksi atau didakwa, padahal ini secara bersama-sama," ujar Isak. 

 

Isak juga mensinyalir mestinya ada personel kepolisian yang turut bertanggungjawab dalam kasus itu. Sebab insiden Paniai memang terjadi di lokasi yang berdekatan dengan kantor Polsek Paniai Timur dan Koramil Enarotali. 

 

"Saya kalau hanya (anggota) Koramil saja (bertanggungjawab) mungkin masuk akal dari pendapat saya. Tapi justru ini kok kepolisian enggak ada yang didakwa, dimana keadilannya disini? Hanya itu saja yang saya sampaikan," tegas Isak. 

 

Sidang dengan agenda pleidoi dari kubu terdakwa dijadwalkan berlangsung pada 21 November 2022.

 

 
Berita Terpopuler