Rihlah Al Biruni ke India

Perjalanan Al Biruni ke India melahirkan sejumlah karya.

Anadolu Agency
ilmuwan Muslim
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA-- Pada awal abad ke-11, Dinasti Ghaznawiyah mengalahkan Ma'muniyah. Ketika itu, al-Biruni bermukim di Ray--sebuah daerah di arah selatan Tehran, Iran. Dirinya sedang mempelajari astronomi di observatorium setempat yang didirikan Abu Mahmud Hamid al-Khajandi (940-1000 M).

Baca Juga

Mahmud Ghazni membawa Ghaznawiyah pada fase kemajuan. Dialah pemimpin pertama yang menggunakan titel sultan dalam sejarah. Di bawah pemerintahannya, kerajaan tersebut mencakup wilayah yang amat luas; mulai dari dataran tinggi Persia di sisi barat hingga melewati daerah aliran sungai (DAS) Indus di sisi timur.

Sultan Mahmud Ghazni mendirikan kota baru yang diberinya nama Ghazna--sekira 150 km arah barat daya Kabul, Afghanistan. Ia lalu mengumpulkan cerdik cendekia dari seluruh penjuru negeri ke sana. Dari Ray, al-Biruni pun turut berpindah ke ibu kota Ghaznawiyah itu.

Sultan Mahmud kemudian menunjuknya sebagai ahli falak kerajaan. Al-Biruni juga diberikan keleluasaan untuk mendirikan observatiorium di dekat Kabul. Sang ilmuwan menghabiskan hari-harinya dengan mengamati dan meneliti benda-benda langit. Salah satu karyanya dalam bidang astronomi adalah kitab al-Tafhim li- Awa'il Sina`at al-Tanjim.

Bagaimanapun, minatnya terhadap ilmu kemasyarakatan justru menguat selama dirinya tinggal di Ghazna. Saat menyambangi permukiman di DAS Indus, al-Biruni terkesima akan budaya penduduk lokal. Ia juga mengagumi peradaban India dan mulai mempelajari bahasa Sanskrit.

Saat berusia 44 tahun, al-Biruni mendampingi Sultan Mahmud dalam ekspedisi ke Anak Benua India. Saintis tersebut menggunakan kesempatan ini untuk melakukan studi lapangan mengenai masyarakat dan kebudayaan India. Ia juga belajar menguasai bahasa Sanskerta.

Perjalanan selama beberapa tahun itu membuahkan karya, Kitab fii Tahqiq maa li'l Hind min Ma'qulatin fil `Aql aw Mardhula(Kajian Atas Hal yang Disampaikan Masyarakat India, Baik Rasional Maupun yang Tertolak). Dengan menulis buku ini, al-Biruni membuka jalan bagi studi keilmuan baru, yakni indologi.

Ia tetap menegakkan kaidah-kaidah ilmiah dalam menyelidiki kebudayaan setempat. Dalam arti, subjek masyarakat didekatinya tanpa menaruh prasangka terlebih dahulu (free of pre judices). Karena itu, kecenderungannya selalu objektif dan imparsial dalam menulis.

Dalam menulis buku tersebut, al-Biruni mene rapkan metode kronologis. Ia pun mengkritik cara sejumlah cendekiawan India pada masanya yang kurang begitu tertarik pada penulisan sejarah yang rasional, objektif, dan merujuk pada urutan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa historis.

Sayangnya, orang-orang India tidak begitu memerhatikan urut-urutan (peristiwa) sejarah.Mereka kurang hati-hati dalam menghubungkan secara kronologis, misalnya, suksesi kepemimpin an raja-rajanya. Saat dicecar mengenai informasi atau gagap menjelaskan (mengenai sebuah peristiwa masa lalu--Red), mereka cenderung akan mendongeng, ujar al-Biruni dalam karyanya, Kitab fii Tahqiq maa li'l Hind, seperti dinukil dari MS Khan dalam artikelnya, Al-Biruni and the Political History of India (1976).

Para peneliti pada era modern memuji al- Biruni. Sebab, dirinya begitu teliti dalam memilah antara yang fakta dan yang fiksi ketika mempelajari kultur masyarakat India. Ketelitian itu tentu lebih jelas ketika sang sarjana Muslim melakukan riset non-humaniora, semisal fisika, astronomi, atau matematika. Karena itu, banyak sejarawan mengakuinya sebagai peletak dasar metode ilmiah.

Menurut al-Biruni, metode yang tepat untuk menulis historiografi, di samping kronologi, adalah komparasi. Peradaban India pun dibandingkannya dengan peradaban atau kebudayaan lain yang pernah dipelajarinya, semisal Yunani Kuno, Persia pra-Islam, Kristen, atau Yahudi.

Dalam pengamatannya, kebudayaan India tidak jauh berbeda dengan beberapa tradisi tersebut. Umpamanya, panteisme yang ditemukan dalam kepercayaan Hindu, juga tampak indikasinya dalam tradisi Yunani. Fenomena kasta yang diterapkan masyarakat India ditemukan pula polanya dalam Persia. Keduanya meyakini bahwa manusia terbagi ke dalam strata sosial sejak lahir.

Tentunya, al-Biruni tidak melewatkan topik sumbangsih peradaban India bagi khazanah ilmu secara global. Contohnya, sistem angka India, anka, yang dibaca secara deretan--dari kiri ke kanan. Ia menilai, sistem numeral itu jauh lebih praktis dibandingkan sistem bilangan Romawi.

 
Berita Terpopuler