KH Ibrohim Pendidik dari Kota Wali (III)

Kiai Ibrohim selalu menekankan sikapnya yang antipenjajahan.

Republika/Yogi Ardhi
ILUSTRASI Kiai Ibrohim selalu menekankan sikapnya yang antipenjajahan.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pada zaman dahulu, Demak termasuk daerah yang mendapatkan pengawasan tinggi dari pihak penjajah. Pemerintah kolonial selalu berupaya memadamkan semangat juang tokoh-tokoh setempat. Belanda khawatir, mereka mengobarkan jihad fii sabilillah untuk melawan penindasan.

Baca Juga

Di antara banyak target monitor Belanda adalah KH Ibrohim. Sang alim merupakan murid Syekh Abdul Karim, salah satu sosok pejuang di balik peristiwa Geger Banten 1888. Karena itu, bagi rezim kolonial, gerak- gerik Kiai Ibrohim patut selalu diawasi.

Sayangnya, tidak banyak sejarawan yang mencatat gerakan jihad yang dilakukan sang kiai. Bagaimanapun, patut diduga bahwa pendiri Pondok Pesantren Ibrohimiyyah Mranggen itu pernah dipenjara penguasa.

Sebab, ia menikah dengan istri keduanya, Nyai Halimah, yang adalah putri seorang sipir penjara.

Kiai Ibrohim selalu menekankan sikapnya yang antipenjajahan. Walaupun dibujuk berkali-kali, dirinya pantang bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Para santri dan penerusnya juga dilarang olehnya untuk menerima bantuan dari rezim penindas. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengingatkan bahwa dana dari penjajah adalah haram diterima.

Prinsipnya sangat tegas dalam memilah antara yang halal dan haram. Itulah pula yang diturunkannya kepada anak keturunan.Seorang cucunya, KH Latif Mastur, bercerita tentang hal itu pada 1980 M.

 

 

Waktu itu, madrasah yang dikelola Kiai Latif hendak mendapatkan sejumlah dana dari bupati Demak. Karena merasa tidak mengajukan bantuan, sang kiai kemudian menanyakan kehalalan sumber dana tersebut.

Sebab, ia selalu ingat akan ket el a danan dan ajaran Kiai Ibrohim, kakeknya. Pada masa hidupnya, Kiai Ibrohim memang dikenal sebagai ulama yang antipenjajahan. Karena itu, dengan berbagai cara pun penjajah Belanda tidak bisa memengaruhinya.

Para pejuang pun kerap meminta nasihat dan petunjuk kepadanya untuk menghadapi kekuatan kolonial. Setiap kali mau melakukan penyerangan, mereka pasti datang terlebih dahulu dan memohon doa restu kepada Kiai Ibrohim.

 Karena sikapnya yang pantang berkompromi dengan Belanda, Desa Brumbung tempat tinggalnya pun sering menjadi target penyerangan. Hal itu terbukti bahkan sesudah Kiai Ibrohim tiada. Ambil contoh, pada momen Agresi Militer I, Pesantren Ibrohimiyyah turut diserang Belanda dengan hujan bom mortir.

 

Untungnya, tidak semua senjata itu dapat meledak. Pada 1950 atau setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, salah satu bekas pecahan bom itu diambil dari sebelah selatan Mushalla Ibrohimiyyah.

 
Berita Terpopuler