Gejala Covid-19 Terbaru yang Muncul di Malam Hari, Terkait Subvarian BA.5

Gejala ini dinilai cukup aneh karena berbeda dengan gejala Covid-19 sebelumnya.

Piqsels
Tidur malam (ilustrasi). Berkeringat di malam hari menjadi gejala terbaru Covid-19 terkait infeksi omicron subvarian bA.5.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dengan semakin meluasnya penyebaran subvarian omicron BA.5, para ahli menemukan adanya perubahan tren gejala Covid-19 yang cukup menonjol. Salah satu di antaranya adalah kemunculan gejala berkeringat di malam hari.

"Satu gejala ekstra dari BA.5 yang saya lihat pagi ini adalah berkeringat di malam hari," jelas Profesor Luke O'Neill dari Trinity College Dublin, seperti dilansir Express, Selasa (12/7/2022).

Profesor O'Neill menilai kemunculan gejala ini cukup aneh karena berbeda dibandingkan gejala-gejala sebelumnya. Gejala ini juga dinilai mengindikasikan bahwa penyakit Covid-19 telah sedikit berubah karena virusnya pun telah berubah akibat mutasi.

"Virus yang sedikit berbeda bisa menyebabkan peningkatan kasus penyakit (Covid-19) yang sedikit berbeda, yang anehnya, memunculkan keringat malam sebagai kekhasannya," jelas Profesor O'Neill.

Meski ada sedikit perubahan, Profesor O'Neill menilai masyarakat tidak perlu terlalu khawatir. Perubahan ini kemungkinan tak akan berkembang menjadi penyakit yang lebih berat pada orang-orang yang sudah divaksinasi dan mendapatkan booster.

"Penyakit ini tak berkembang menjadi penyakit yang berat," ujar Profesor O'Neill.

Saat ini, kemunculan subvarian omicron BA.4 dan BA.5 telah mendorong kembali meningkatnya kasus Covid-19 di sejumlah negara. Di Inggris, misalnya, kasus baru Covid-19 meningkat hingga 20 persen pada pekan lalu.

Sebagian besar gejala yang muncul masih tak jauh berbeda dibandingkan sebelumnya, yaitu hidung beringus, nyeri tenggorokan, sakit kepala, batuk persisten, dan lelah. Selain itu, studi ZOE Covid Symptom menemukan bahwa gejala demam hanya dialami oleh kurang dari sepertiga pasien Covid-19.

Meski begitu, studi berbeda yang dilakukan peneliti dari Columbia University Vagelos College of Physicians and Surgeons menemukan hal yang cukup mengkhawatirkan. Mengacu pada studi ini, varian BA.4 dan BA.5 tampak resisten, setidaknya empat kali lipat, terhadap individu yang sudah divaksinasasi.

"Virus tampak terus berevolusi, seperti perkiraan, dan bukan hal yang mengejutkan melihat subvarian yang mudah menular ini menjadi lebih dominan di seluruh dunia," ujar Medical Director dan Director untuk Aaron Diamond AIDS Research Centre dan Clyde'56, David D Ho.

Baca Juga

Berkaitan dengan hal ini, Ho menilai penting untuk bisa memahami bagaimana vaksin dan terapi antibodi yang ada saat ini bereaksi terhadap subvarian baru. Pemahaman ini akan sangat membantu pemerintah di berbagai negara untuk mengembangkan strategi pencegahan sakit berat, perawatan di rumah sakit, hingga kematian terkait Covid-19.

Sejauh ini, tim peneliti mengungkapkan bahwa cara terbaik untuk mencegah kemunculan varian-varian baru adalah vaksinasi dan pemberian booster. Semakin banyak orang memiliki kekebalan terhadap virus SARS-CoV-2, semakin kecil pula peluang yang dimiliki virus tersebut untuk menyebar dan bermutasi.

Vaksinasi juga masih menjadi upaya yang efektif dalam menekan risiko terjadinya sakit berat, perawatan di rumah sakit, hingga kematian akibat Covid-19. Pemberian booster dapat kembali mengoptimalkan perlindungan yang sudah terbentuk dari vaksinasi sebelumnya.

 
Berita Terpopuler