India Galang Solidaritas untuk Warga Sri Lanka

Aksi protes yang terjadi Sri Lanka merupakan wujud aspirasi masyarakat.

AP/Eranga Jayawardena
Massa menerobos masuk ke Istana Presiden Sri Lanka pada Sabtu (9/7/202).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- India pada Ahad (10/7/2022) menyatakan solidaritas bagi rakyat Sri Lanka, yang sedang mengalami krisis politik dan ekonomi. Kementerian Luar Negeri India mengatakan, aksi protes yang terjadi Sri Lanka merupakan wujud aspirasi masyarakat untuk kemakmuran dan kemajuan melalui nilai-nilai demokrasi.

Baca Juga

“Kami terus mengikuti perkembangan terakhir di Sri Lanka. India berdiri bersama rakyat Sri Lanka saat mereka berusaha mewujudkan aspirasi mereka untuk kemakmuran dan kemajuan melalui cara dan nilai-nilai demokrasi, institusi yang mapan dan kerangka konstitusional," kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan, menurut kantor berita ANI.

Kementerian Luar Negeri India menekankan bahwa, India dan Sri Lanka adalah tetangga dekat dengan ikatan yang dalam. "Kami menyadari banyak tantangan yang dihadapi Sri Lanka dan rakyatnya, dan kami telah berdiri bersama rakyat Sri Lanka, karena mereka telah mencoba untuk mengatasi masa sulit ini," ujarnya. 

Di tengah inflasi yang tinggi dan depresiasi mata uang, Sri Lanka tidak mampu membayar impor bahan bakar dan kebutuhan lainnya. Hal ini mengakibatkan protes anti-pemerintah yang meluas.  Kurangnya bahan bakar untuk pembangkit listrik juga mengakibatkan pemadaman listrik yang konstan. Pemerintah meminta pegawai negeri telah untuk bekerja dari rumah, sementara sekolah diliburkan.

Ribuan pengunjuk rasa menyerbu kediaman resmi presiden pada Sabtu (9/7/2022). Mereka menuntut agar presiden segera mengundurkan diri. Ketua Parlemen Sri Lanka, Mahinda Yapa Abeywardena, mengumumkan, Presiden Gotabaya Rajapaksa akan mengundurkan diri pada 13 Juli.

Saat massa menerobos kediaman resmi presiden, Rajapaksa telah dievakuasi ke tempat yang aman. Namun keberadaan Rajapaksa saat ini tidak diketahui. Kantor presiden mengatakan, Rajapaksa tetap memberi perintah untuk segera mendistribusikan gas elpiji kepada publik. 

Para pemimpin gerakan protes mengatakan, massa akan terus menduduki kediaman presiden dan perdana menteri di Kolombo sampai keduanya mundur dari jabatannya. Polisi tidak dapat menahan gelombang massa yang hadir dari seluruh penjuru Sri Lanka.

"Kami tidak akan pergi ke mana pun sampai presiden mundur, dan kami memiliki pemerintahan yang dapat diterima oleh rakyat," kata Jude Hansana (31 tahun), yang telah berada di lokasi protes di luar kediaman sejak awal April.

"Perjuangan rakyat adalah untuk reformasi politik yang lebih luas. Bukan hanya presiden yang pergi. Ini baru permulaan," kata Hansana menambahkan.

Pengunjuk rasa lainnya, Dushantha Gunasinghe, mengatakan, dia menempuh perjalanan dengan berjalan kaki ke Kolombo yang terletak sejauh 130 kilometer dari tempat tinggalnya. Dia sampai di Kolombo pada Senin pagi.  

 

"Saya sangat lelah sehingga saya hampir tidak bisa berbicara," kata pria berusia 28 tahun itu sambil duduk di kursi plastik di luar kantor presiden.  

"Saya datang sendirian sejauh ini karena saya yakin kita perlu menyelesaikan ini. Pemerintah ini harus bubar dan kita membutuhkan pemimpin yang lebih baik," kata Gunasinghe menambahkan.

Rajapaksa dan Wickremesinghe tidak berada di kediaman mereka ketika para pengunjuk rasa menyerbu ke dalam gedung. Kedunya juga tidak terlihat di depan umum sejak Jumat (8/7/2022). Hingga saat ini keberadaan mereka tidak diketahui. Rumah pribadi Wickremesinghe di pinggiran Kolombo  dibakar oleh pengunjuk rasa. Polisi telah menangkap tiga tersangka.

Pakar konstitusi mengatakan, ketika presiden dan perdana menteri secara resmi mengundurkan diri, langkah selanjutnya adalah penunjukan penjabat presiden. Parlemen memilih presiden baru dalam waktu 30 hari untuk menyelesaikan masa jabatan Rajapaksa yang akan berakhir pada 2024.  

Sebagian besar warga Sri Lanka terutama menyalahkan pemerintahan Rajapaksa atas krisis ekonomi. Krisis semakin diperparah oleh pandemi Covid-19. 

Keuangan pemerintah dilumpuhkan oleh hutang yang menumpuk dan potongan pajak oleh rezim Rajapaksa. Cadangan devisa negara habis karena harga minyak naik.

 

Sri Lanka hampir tidak memiliki dolar yang tersisa untuk mengimpor bahan bakar. Antrian panjang mengular di depan toko-toko yang menjual gas elpiji. Bulan lalu, Sri Lanka mencatat inflasi sebesar 54,6 persen. Bank sentral telah memperingatkan bahwa inflasi bisa naik mencapai 70 persen dalam beberapa bulan mendatang.

 
Berita Terpopuler