SEANUTS II: 1 di Antara 3,5 Anak di Jawa-Sumatra Alami Stunting

Prevalensi anak stunting di Jawa-Sumatra sebesar 28,4 persen.

ANTARA/Ardiansyah
Petugas mengukur tinggi badan balita saat pelaksanan Pos Pelayanan Terpadu (posyandu) di Kedaton, Bandar Lampung, Lampung, Senin (21/3/2022). Kegiatan posyandu tersebut dilakukan untuk menghindari kasus gizi buruk atau stunting pada anak dengan memberikan vitamin A dan suntikan imunisasi.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian terbaru dari South East Asian Nutrition Surveys kedua (SEANUTS II) mendapati prevalensi anak stunting dan anemia, khususnya di antara anak-anak usia di bawah lima tahun di Indonesia, masih tinggi. Sebagian anak Indonesia yang menjadi bagian dari penelitian mengenai status gizi, asupan gizi, perilaku dan gaya hidup di empat negara Asia (Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam) itu juga belum terpenuhi rata-rata asupan vitamin dan mineral yang direkomendasikan untuk tumbuh kembangnya.

SEANUTS II merupakan lanjutan SEANUTS I yang dipublikasikan pada2013. Penelitian skala besar ini dilakukan oleh FrieslandCampina, dalam rentang waktu antara 2019 dan 2021, bekerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian terkemuka di Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam.

Studi ini melibatkan hampir 14 ribu anak antara usia enam bulan hingga 12 tahun, khusus menyoroti triple burden of malnutrition yang terdiri dari kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro, dan kelebihan berat badan atau obesitas. Ketiga masalah ini sering kali terjadi berdampingan di suatu negara dan bahkan bisa terjadi dalam satu rumah tangga.

Baca Juga

Stunting adalah salah satu bentuk dari kekurangan gizi di Indonesia yang masih menjadi isu yang perlu diperhatikan. Peneliti Utama SEANUTS II di Indonesia, Prof Rini Sekartini, menjelaskan bahwa kasus stunting masih banyak ditemukan pada anak di wilayah Jawa-Sumatra dengan prevalensi sebesar 28,4 persen.

Ini artinya, satu di antara 3,5 anak berperawakan pendek. Adapun prevalensi anemia adalah 25,8 persen pada anak di bawah lima tahun. Sementara hampir 15 persen anak usia tujuh hingga 12 tahun memiliki kelebihan berat badan atau obesitas.

"Secara keseluruhan, SEANUTS II menunjukkan bahwa permasalahan stunted atau berperawakan pendek dan anemia masih ada, terutama pada anak-anak usia dini. Namun, untuk anak yang berusia lebih tua, tingkat prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi," kata Prof Rini dalam paparannya di Jakarta, Selasa (21/6/2022).

Selain itu, sebagian besar anak-anak tidak memenuhi kebutuhan rata-rata asupan kalsium dan vitamin D. Hasil pengecekan biokimia darah juga menunjukkan dadanya ketidakcukupan vitamin D pada sebagian besar anak.

"Situasi ini menuntut perhatian yang lebih serius dari berbagai pihak untuk meningkatkan akses yang lebih besar terhadap gizi yang lebih baik, yang dibutuhkan anak-anak Indonesia mencapai tumbuh kembang yang optimal dengan pendekatan perilaku dan gaya hidup sehat juga aktif," kata Prof Rini.

Hasil penelitian SEANUTS II ini, menurut Prof Rini, menunjukkan bahwa permasalahan stunting atau perawakan pendek, anemia, dan asupan makanan perlu mendapatkan perhatian lebih serius dari berbagai pihak. Ia mengatakan, sudah saatnya meningkatkan ketahanan pangan dan ketersediaan makanan yang bisa memberikan asupan gizi yang seimbang agar akses anak kepada sumber gizi yang sehat meningkat dan tumbuh kembangnya berlangsung secara optimal.

"Kami harapkan data temuan ini bisa menjadi acuan tenaga medis, pemerintah, bahkan orang tua untuk menanggulangi malnutrisi di Indonesia," kata Prof Rini.

Studi ini, menurut Prof Rini, juga menunjukkan adanya urgensi yang besar untuk memitigasi permasalahan gizi dengan langkah-langkah kolaboratif dan strategis. Tujuannya untuk memberikan anak-anak Indonesia akses yang lebih besar terhadap gizi yang lebih baik dan menurunkan angka malanutrisi serta permasalahan gizi anak lainnya.

 
Berita Terpopuler