Statistik Mencengangkan Kasus Penembakan Massal di AS Selama 2022

Tiada pekan pada 2022 di AS terlewatkan tanpa kasus penembakan massal.

AP/Jae C. Hong
Rekaman TKP mengelilingi Robb Elementary School setelah penembakan massal di Uvalde, Texas, 25 Mei 2022. Kasus penembakan massal di AS mengalami tren peningkatan pada 2022. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira, Kamran Dikrama, Lintar Satria Zulfikar, AP, Reuters

Baca Juga

Penembakan massal seperti tak ada hentinya di Amerika Serikat (AS). Terakhir pada tengah malam Sabtu (4/6/2022) waktu setempat penembakan terjadi di Philadelphia yang menewaskan tiga orang dan 11 lainnya luka-luka.

Insiden penembakan terjadi di daerah South Street yang paling sibuk di kota terbesar negara bagian Pennsylvania itu. Sebab terdapat banyak bar dan restoran terlebih pada akhir pekan yang selalu ramai. 

Philadelphia Inquirer, Ahad (5/6/2022) melaporkan, bahwa korban meninggal berusia 22, 27 dan 34 tahun, sedangkan usia orang yang terluka berkisar antara 17 hingga 69 tahun.

Video yang diduga berasal dari kamera pengawas menunjukkan orang-orang berlarian panik setelah sejumlah tembakan dilepas. Tidak terdapat audio dalam video tersebut.

"Ada ratusan orang yang hanya menikmati South Street, seperti yang mereka lakukan setiap akhir pekan ketika penembakan ini terjadi," kata Inspektur Polisi Philadelphia, D F Pace.

Dua pistol ditemukan di tempat kejadian, termasuk satu dengan magasin yang diperpanjang. Belum ada penangkapan lebih jauh hingga berita ini dimuat oleh Reuters.

Insiden penembakan Philadelphia menyusul penembakan baru-baru ini di sejumlah tempat di AS. Pertama di sebuah toko kelontong di Buffalo, New York, di sebuah sekolah dasar di Uvalde, Texas, dan di sebuah gedung medis di Tulsa, Oklahoma.

Sebelum seorang pria membunuh setidaknya empat orang di sebuah RS di Tulsa, pada Rabu pekan lalu, seperti dilaporkan Washington Post mengutip Gun Violence Archive, Senin (6/6/2022), tercatat sudah terjadi 232 kasus penembakan massal di AS pada 2022. 

Kasus penembakan massal, di mana empat atau lebih orang (tidak termasuk pelaku penembakan) terbunuh atau luka-luka, jika dirata-ratakan mencapai satu kasus per hari pada tahun ini. Tidak ada pekan pada 2022 di AS yang terlewatkan tanpa ada setidaknya tiga kasus penembakan massal.

Kasus penembakan massal di AS mengalami tren peningkatan beberapa tahun terkahir. Pada 2021, sekitar 700 kasus terjadi, dibandingkan dengan 611 kasus pada 2020, dan 417 kasus pada 2019. Sebelum itu, kasus penembakan massal tidak pernah mencapai 400 kasus setahunnya sejak Gun Violence Archive mulai melakukan pelacakan data pada 2014.

Jumlah korban akibat penembakan juga meningkat. Kasus penembakan massal telah menewaskan 256 orang dan melukai lebih dari 1.010 jiwa hingga akhir Mei.

 

 

“Kita perlu melarang senjata serbu dan magasin berkapasitas tinggi. Jika kita tidak bisa melarang senjata serbu, maka kita harus menaikkan usia untuk membelinya dari 18 (tahun) menjadi 21 (tahun),” kata Presiden AS Joe Biden dalam pidatonya di Gedung Putih pada Kamis (2/6/2022) malam, dikutip the Guardian.

Biden menjelaskan, pada 1994, AS sebenarnya telah mengesahkan undang-undang (UU) pelarangan senjata serbu yang memperoleh dukungan bipartisan di Kongres. Sembilan kategori senjata semi-otomatis termasuk dalam larangan, seperti AK-47 dan AR-15.

 

Menurut Biden, selama UU itu berlaku, kasus penembakan massal di AS menurun. Namun dia menyayangkan, Partai Republik kemudian membiarkan UU tersebut berakhir pada 2004.

“Setelah Partai Republik membiarkan undang-undang itu berakhir pada 2004 dan senjata-senjata diizinkan untuk dijual lagi, penembakan massal meningkat tiga kali lipat. Itulah fakta-faktanya,” katanya.

 

Dalam situasi saat ini, Biden mendesak agar pemeriksaan latar belakang individu yang ingin memiliki senjata diperluas. Hal itu agar senjata-senjata tak jatuh ke tangan orang yang keliru, seperti penjahat, buronan, dan orang-orang di bawah perintah penahanan.

"Ada terlalu banyak sekolah lain, terlalu banyak tempat hari lain yang telah menjadi ladang pembantaian, medan perang, di sini, di Amerika,” ujarnya.

Biden menegaskan, saat ini saatnya Senat AS mengambil tindakan. Biden pun mendesak 10 senator Partai Republik turut serta dalam upaya pengetatan kepemilikan senjata api.

“Fakta bahwa mayoritas Senat Republik tidak ingin proposal ini diperdebatkan atau diajukan untuk pemungutan suara, menurut saya tidak masuk akal. Kita tidak bisa mengecewakan rakyat Amerika lagi,” kata Biden.

Komite House of Representative AS saat ini sedang mengerjakan rancangan undang-undang yang memperketat undang-undang senjata api. Meskipun, kecil kemungkinan legislasi itu akan diloloskan oleh Senat.

Sebagian besar pemilih AS baik dari Partai Republik maupun Demokrat sebenarnya mendukung undang-undang senjata api yang lebih ketat. Tetapi, politisi Partai Republik di Kongres dan sejumlah politisi Demokrat selalu menghalangi langkah pengetatan kepemilikan senjata api selama bertahun-tahun.

Seusai kasus penembakan massal di Texas, Biden menyerang kelompok lobi pro-senjata api yang mendukung para politisi yang menolak rancangan undang-undang tersebut. Sementara, Senat terpecah menjadi dua kelompok, 50 anggota Demokrat dan 50 Partai Republik.

Perlu 60 suara untuk mengatasi manuver politik yang dikenal sebagai filibuster, yang artinya sebuah undang-undang perlu dukungan bipartisan atau dari kedua belah pihak.

 

"Satu-satunya ruang di Amerika di mana anda tidak bisa menemukan dukungan 60 persen lebih banyak pada pemeriksaan latar belakang universal adalah di ruang Senat AS," kata wakil presiden kelompok anti-kekerasan senjata api, Christian Heyne.

 

NRA Jegal Pembatasan Senjata di AS - (BBC/Aljazirah/Reuters)

 

 

 
Berita Terpopuler