Serikat Pekerja Sri Lanka Tuntut Reformasi 

Pekerja akan melakukan demonstrasi di tempat kerja mereka di seluruh Sri Lanka.

AP Photo/Eranga Jayawardena
Pendukung pemerintah Sri Lanka bersorak setelah merusak lokasi protes anti-pemerintah di luar kediaman perdana menteri di Kolombo, Sri Lanka, Senin, 9 Mei 2022.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Serikat-serikat pekerja di Sri Lanka memulai “Pekan Protes” untuk menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa, Senin (9/5/2022). Saat ini negara tersebut tengah dibekap krisis ekonomi akut.

Baca Juga

Aktivis serikat pekerja Saman Rathnapriya mengungkapkan, aksi protes dan demonstrasi akan digelar sepanjang pekan ini. Dia mengatakan, terdapat lebih dari 1.000 serikat pekerja yang telah bergabung dalam gerakan Pekan Protes. Mereka mewakili bidang kesehatan, pelabuhan, pendidikan, dan sektor jasa utama lainnya.

Rathnapriya mengatakan, selama sepekan, para pekerja akan melakukan demonstrasi di tempat kerja mereka masing-masing di seluruh negeri. Sementara pada akhir pekan, mereka akan menggelar unjuk rasa besar-besaran di gedung parlemen, menuntut pencopotan Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kabinet barunya.

Saat ini Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi akut. Selama beberapa bulan terakhir, warga di sana harus mengantre berjam-jam untuk membeli bahan bakar minyak, gas untuk memasak, bahan makan, serta obat-obatan yang sebagian besar diimpor. Kurangnya mata uang keras telah menghambat Sri Lanka mengimpor bahan mentah untuk manufaktur. Inflasi memburuk dan melonjak menjadi 18,7 persen pada Maret lalu.

Kondisi tersebut mendorong warga Sri Lanka turun ke jalan dan menggelar demonstrasi besar-besaran sejak Maret. Bulan itu, harga barang-barang di sana naik 19 persen atau merupakan yang tercepat di Asia. Dalam aksinya, warga menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan keluarganya yang memegang posisi strategis di pemerintahan untuk mundur dari jabatannya. Posisi perdana menteri di Sri Lanka diketahui dijabat kakak laki-laki Gotabaya, yakni Mahinda Rajapaksa.

Sekelompok warga telah mendirikan tenda-tenda di seberang kediaman Mahinda. Mereka turut mendesaknya untuk mundur. Warga Sri Lanka menghendaki tak ada lagi unsur Rajapaksa di pemerintahan. Sejauh ini, Rajapaksa bersaudara menolak seruan untuk mundur.

Kendati demikian, tiga dari lima anggota keluarga Rajapaksa yang duduk di parlemen telah mengundurkan diri pada April lalu. Baru-baru ini Kementerian Keuangan Sri Lanka mengumumkan bahwa cadangan devisa yang dapat digunakan telah anjlok di bawah 50 juta dolar AS.

 

Kondisi tersebut mencemaskan karena stok bahan bakar minyak di negara tersebut menipis. Sementara harga minyak sedang melonjak karena dipengaruhi konflik Rusia-Ukraina. Otoritas Sri Lanka telah mengumumkan bahwa pemadaman listrik di seluruh negeri akan meningkat menjadi sekitar empat hari. Hal itu karena mereka tak dapat memasok bahan bakar yang cukup ke pembangkit listrik.

Bulan lalu Sri Lanka telah memutuskan menangguhkan pembayaran utang luar negerinya. Secara total negara tersebut memiliki utang 25 miliar dolar AS. “Sudah sampai pada titik bahwa melakukan pembayaran utang itu menantang dan tidak mungkin. Tindakan terbaik yang dapat diambil adalah merestrukturisasi utang dan menghindari default yang sulit," kata Gubernur Bank Sentral Sri Lanka P. Nandalal Weerasinghe kepada awak media pada 12 April lalu. 

Duta Besar Sri Lanka untuk China Palitha Kohona telah menyampaikan, negaranya sedang berusaha meminjam 1 miliar dolar AS kepada Negeri Tirai Bambu. Nantinya dana tersebut akan digunakan untuk membayar kembali pinjaman Beijing yang jatuh tempo pada Juli mendatang. Pada saat bersamaan, Sri Lanka pun berupaya meminta jalur kredit senilai 1,5 miliar dolar AS kepada China.

 

Dari jalur kredit itu, Sri Lanka hendak membeli barang-barang asal China, seperti tekstil untuk mendukung industri ekspor pakaian jadi. Kohona mengungkapkan, proses pengajuan pinjaman itu kemungkinan akan memakan waktu berminggu-minggu. Namun dia tak memberikan kerangka waktu yang tepat dan tidak mengungkap persyaratan pendanaan. “Mengingat keadaan saat ini, tidak banyak negara yang bisa melangkah ke lapangan dan melakukan sesuatu. China adalah salah satu negara yang dapat melakukan sesuatu dengan cepat,” kata Kohona pada 11 April lalu.

 
Berita Terpopuler