Mimpi Pemetik Teh Hancur Akibat Krisis Ekonomi Sri Lanka

Bayaran yang didapat pemetik teh di tengah krisis tak mencukupi untuk sehari-hari.

ANTARA/Wahdi Septiawan
Pemetik teh (ilustrasi). Industri teh yang mendukung ratusan ribu orang menderita akibat keputusan pemerintah Sri Lanka yang melarang pupuk kimia. Produksi teh kuartal pertama turun 15 persen pada tahun ini ke level terendah sejak 2009.
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BOGAWANTALAWA -- Perkebunan yang rimbun di Sri Lanka, Arulappan Ideijody cekatan memetik ujung setiap semak teh, melemparkannya ke atas bahu masuk dalam keranjang terbuka di punggungnya. Setelah sebulan memetik lebih dari 18 kg daun teh seperti itu setiap hari, dia dan suaminya, sesama pemetik daun teh Michael Colin hanya menerima menerima sekitar 30.000 rupee atau 80 dolar AS.

Baca Juga

"Uang itu tidak dekat dengan kata cukup," kata Arulappan tentang penghasilan pasangan pemetik teh itu yang harus menghidupi tiga anak dan ibu mertuanya yang sudah lanjut usia.

"Dulu kami makan dua jenis sayuran, sekarang kami hanya mampu membeli satu," ujarnya.

Perempuan berusia 42 tahun ini adalah satu dari jutaan warga Sri Lanka yang terhuyung-huyung dari krisis ekonomi terburuk di pulau itu dalam beberapa dasawarsa. Pandemi Covid-19 memutuskan jalur kehidupan pariwisata negara Samudra Hindia yang sudah kekurangan pendapatan setelah pemotongan pajak yang tajam oleh pemerintah.

Pekerja perkebunan seperti Arulappan, yang sebagian besar berasal dari minoritas Tamil di pulau itu, terkena dampak lebih dari kebanyakan warga Sri Lanka lainnya. Mereka tidak memiliki tanah untuk menahan kenaikan harga pangan.

Warga Sri Lanka duduk di dekat pagar kantor presiden selama protes yang sedang berlangsung menuntut presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri, di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 29 April 2022. Gotabaya telah setuju untuk menggantikan kakak laki-lakinya sebagai perdana menteri dalam pemerintahan sementara yang diusulkan untuk memecahkan kebuntuan politik yang disebabkan oleh krisis ekonomi terburuk negara itu dalam beberapa dasawarsa, seorang anggota parlemen terkemuka mengatakan pada hari Jumat. Spanduk bertuliskan Usir pemerintah, Ubah sistem. - (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Sri Lanka pernah mencapai PDB dua kali lipat hampir dua kali lipat dari negara tetangga India pada 2020. Hasil tersebut didukung oleh industri pariwisata yang berkembang pesat dan ekspor barang-barang seperti garmen dan produk perkebunan seperti teh, karet, dan kayu manis.

Arulappan meninggalkan sekolah pada usia 14 tahun dan bekerja di pabrik garmen sebelum menikah dan pindah ke perkebunan di Bogawantalawa, sebuah lembah di dataran tinggi tengah yang terkenal dengan tehnya yang enak. Dia harus berkendara sekitar empat jam ke timur Kolombo, ibu kota komersial.

Jam kerja yang fleksibel memungkinkan Arulappan untuk merawat anak-anaknya dan memulai usaha kecil menjual sayuran kepada pekerja lain secara kredit. Namun, pandemi adalah kemunduran bagi keluarganya dan negara, menutup ekonomi selama berbulan-bulan dan memotong sektor pariwisata yang menjadi penghasil utama devisa.

"Ada hari-hari di mana kami hanya makan nasi," kata Arulappan.

Industri teh yang mendukung ratusan ribu orang juga menderita akibat keputusan pemerintah yang kontroversial tahun lalu. Sri Lanka melarang pupuk kimia sebagai tindakan kesehatan. Meskipun kemudian dibatalkan, larangan tersebut membuat pasokan pupuk menjadi terbatas.

Produksi teh kuartal pertama turun 15 persen pada tahun ini ke level terendah sejak 2009. Dewan Teh Sri Lanka mengatakan cuaca kering telah memakan korban semak-semak yang menerima pupuk yang tidak mencukupi setelah larangan tersebut.

 

Kondisi semakin buruk dengan pemadaman listrik yang lama, kekurangan bahan bakar, dan inflasi yang melonjak. Juru bicara Asosiasi Perkebunan Roshan Rajadurai mengatakan, faktor tersebut membantu mendorong industri untuk mendekati kerusakan total.

Krisis telah membuat Arulappan tidak dapat melakukan pembayaran dua bulan terakhir atas serangkaian pinjaman berbunga tinggi yang diambil untuk memulai bisnisnya, membiayai biaya pernikahan keluarga, dan melunasi hutang lainnya. Inflasi makanan mendekati 50 persen pada tahun ini, dengan biaya transportasi hampir 70 persen lebih mahal, meskipun dalam praktiknya angkanya bahkan lebih tinggi.

Harga tepung naik dua kali lipat selama setahun terakhir, membuat banyak pekerja perkebunan tidak dapat menjangkau roti pipih berisi kelapa yang mereka gigit sambil memetik teh. "Kami harus beralih makan nasi. Tapi itupun sekarang sangat mahal," kata Arulappan.

Seorang wanita membawa biji kopi yang dipanen di kepalanya di perkebunan kopi di Gunung Gorongosa, Mozambik Minggu, 3 Agustus 2019. - (AP Photo/Tsvangirayi Mukwazhi)

Biaya perjalanan bus dua kilometer ke sekolah untuk dua anaknya juga meningkat lebih dari dua kali lipat dalam beberapa bulan terakhir. Namun pasangan itu terus membayar uang sekolah swasta untuk memastikan kehidupan mereka lebih baik.

"Saya tidak pernah ingin melihat anak-anak saya bekerja di perkebunan," kata Michael.

Namun, krisis telah menghancurkan rencana pendidikan lanjutan untuk putra sulung mereka, Akshon Ray. Keluarga itu menabung selama dua tahun untuk sebuah laptop yang dijanjikan kepada anak tertua yang berusia 22 tahun jika mendapat hasil bagus pada ujian akhirnya.

 

Hanya saja, di atas lemari besi keluarga itu terdapat sebuah map yang berisi brosur kampus yang awalnya direncanakan untuk anak sulung melanjutkan kuliah. Namun, beban keuangan terlalu banyak. "Kamu harus menghidupi keluarga," kata Arulappan kepada putranya sesaat sebelum dia pergi bekerja di pabrik sapu di Kolombo.

 
Berita Terpopuler