The Fed Resmi Naikkan Suku Bunga AS 50 Basis Poin

Kebijakan menaikkan suku bunga 50 basis poin yang paling tinggi dilakukan The Fed

AP Photo/Richard Drew
Televisi di New York Stock Exchange menunjukkan Ketua Federal Reserve Jerome Powel. Bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), mengumumkan pada Rabu (4/5) menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin atau sebesar 0,5 persen sebagai upaya mengendalikan tingginya inflasi. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak 22 tahun terakhir.
Rep: Retno Wulandhari/Novita Intan Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), mengumumkan pada Rabu (4/5) menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin atau sebesar 0,5 persen sebagai upaya mengendalikan tingginya inflasi. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak 22 tahun terakhir. 

The Fed menaikkan suku bunga ke kisaran target 0,75 persen dan 1 persen di masa mendatang. Pada pertemuan selanjutnya di bulan Juni dan Juli, pembuat kebijakan the Fed siap untuk menaikkan kembali suku bunga hingga 50 poin.

Ketua the Fed, Jerome Powell mengakui, kenaikan suku bunga ini akan menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat. Kebijakan ini memaksa warga Amerika membayar lebih banyak untuk hipotek rumah, pinjaman mobil hingga berpotensi mengurangi aset. 

"Kebijakan ini sangat tidak menyenangkan. Kami memahami rasa sakit yang dialami masyarakat," kata Jerome dilansir Reuters, (5/5).

Meski demikian, Powell menegaskan, inflasi yang tinggi juga membutuhkan respons yang kuat dari the Fed. Sebabnya, menurut Powell, lonjakan inflasi yang tidak terkendali dalam setahun terakhir berpotensi membawa ekonomi AS masuk dalam resesi. 

The Fed juga mengatakan akan mengurangi simpanan aset sekitar 9 triliun dolar AS mulai bulan depan. Pengurangan aset ini juga sebagai upaya untuk memerangi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kebijakan ini cara lain untuk mengendalikan inflasi.

Powell dan rekan-rekannya di the Fed bertekad untuk memulihkan stabilitas harga meskipun langkah tersebut mengarah pada investasi bisnis dan pengeluaran rumah tangga yang lebih rendah dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Menurutnya, implikasi dari inflasi yang tidak terkendali lebih buruk.

Namun, Powell menilai ekonomi AS berkinerja baik dan cukup kuat untuk menahan kenaikan suku bunga yang akan datang. Meskipun terjadi penurunan produk domestik bruto (PDB) selama tiga bulan pertama tahun ini, pengeluaran rumah tangga, investasi bisnis serta peningkatan lapangan kerja tetap kuat.

Pada Maret 2022 kenaikan year on year (yoy) inflasi AS telah mencapai 8,4 persen atau rekor tertinggi dalam 41 tahun terakhir sejak Desember 1981. Sebagai upaya lanjutan, selain kenaikan suku bunga The Fed juga berencana menyusutkan neraca gemuk mereka yang sudah menyentuh sembilan triliun dolar AS mulai 1 Juni 2022 mendatang.

Adapun progres akan dimulai secara bertahap. Pada batas 30 miliar dolar AS per bulan dalam bentuk treasuries dan 17,5 dolar AS miliar per bulan dalam bentuk sekuritas berbasis hipotek pada Juni sampai Agustus 2022.

Pada September batasnya akan dinaikkan menjadi maksimal 60 miliar dolar AS per bulan khusus treasuries dan 35 miliar dolar AS per bulan khusus sekuritas berbasis hipotek.

The Fed menyiratkan jika langkah lebih agresif tersebut tidak jadi ditempuh mengingat sejumlah indikator di luar inflasi masih menunjukkan secercah harapan. "Peningkatan lapangan kerja sangat pesat dalam beberapa bulan terakhir, dan tingkat pengangguran telah turun secara substansial,” tulis The Fed.

Sebenarnya, kenaikan suku bunga 50 basis poin yang akhirnya ditempuh The Fed sejalan dengan konsensus analis dalam beberapa hari belakangan. Akan tetapi, sejumlah pakar menyatakan bahwa kesesuaian tersebut tidak lantas menghapus potensi risiko yang ada termasuk kemungkinan dampaknya terhadap peluang resesi Negeri Paman Sam tahun depan.

"Ini tetap langkah yang cepat, dan sudah sepantasnya membuat konsumen dan pelaku pasar lebih berhati-hati," ujar asisten profesor keuangan Columbia Business School Yiming Ma.

The Fed pun seolah tidak berkilah dari peringatan para pakar tersebut. Dalam pernyataan resmi, mereka membenarkan bahwa saat ini masih ada banyak ketidakpastian.

Dampak perang yang melibatkan Rusia-Ukraina diakui menimbulkan tekanan bagi perekonomian AS. Di samping itu, The Fed juga enggan menutup mata terhadap potensi kedatangan gelombang pandemi susulan seiring kembali terjadinya penularan wabah di China.

 

"Invasi dan kejadian-kejadian terkait menyebabkan tekanan lanjutan terhadap inflasi dan tampaknya memperberat aktivitas ekonomi,” tulis The Fed. 

 
Berita Terpopuler